SERINGKALI kuibaratkan ingatan sebagai tumpukan berkas sebagaimana yang ada di kantor kelurahan. Tumpukan kertas serupa menara memenuhi beberapa meja di dalam kantor itu, menghabiskan ruang dan menghalangi wajah petugas kelurahan yang saban hari duduk di hadapan laptopnya untuk mengurus surat-surat permohonan dari warga setempat. Terkadang, kertas yang bertumpuk-tumpuk itu ada yang terjatuh, entah tersenggol atau tertiup angin dari kipas angin yang dipasang di langit-langit kantor. Begitu kertas itu terjatuh, fokus si petugas akan terpusat kepadanya sejenak sehingga dia perlu mencermatinya sebentar sebelum kemudian meletakkannya kembali ke tumpukan kertas serupa menara itu. Setidaknya, begitulah yang kubayangkan ketika ingatan tentang seorang perempuan dari SMA yang sama denganku berpuluh-puluh tahun lalu, yang berpapasan denganku di depan kantin sekolah, ketika muncul kembali ke permukaan ingatanku.
Seingatku, dia mendekap sebuah buku bersampul hijau dengan gambar bercak darah yang tidak beraturan. Sebuah buku roman yang menjadi bacaan wajib mahasiswa Sastra Indonesia, setidaknya ketika aku masih kuliah dulu, yakni roman Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Perempuan itu mendekapnya dengan sepenuh hati, seolah buku itu adalah sebuah artefak yang begitu berharga dan akan pecah berkeping-keping ketika jatuh ke lantai. Dia berjalan sambil tersenyum di samping sahabatnya atau perempuan yang kusangka sahabatnya. Aku, saat itu, berjalan ke selatan dan dia berjalan ke utara. Kami berpapasan. Tidak saling menyapa karena memang kami tidak saling mengenal. Itu adalah pertemuan yang benar-benar singkat. Hanya terjadi sekali sepanjang aku bersekolah di sana. Bahkan, sepanjang hidupku sampai hari ini, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Meskipun ada kemungkinan bahwa aku berpapasan dengannya di jalan ketika aku berjalan-jalan di kota atau di sebuah toko buku atau di mana pun, aku tetap yakin bahwa aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Ada satu perasaan tertentu yang kurasakan ketika berpapasan dengannya, dan hal itu tidak pernah kurasakan lagi setiap kali berjumpa dengan orang lain. Ini bukan rasa cinta atau hal semacam itu. Aku tidak tahu, rasanya sulit untuk menjelaskannya.
Sulit untuk mengingat wajahnya, baik sekarang atau bahkan beberapa detik setelah kami berpapasan. Aku tidak sungguh-sungguh melihat wajahnya saat itu. Perhatianku tersita sepenuhnya oleh roman Atheis yang dia dekap dengan sepenuh hati itu. Aku juga tidak tahu dari kelas berapa dia, emblem penanda kelas di lengannya terhalang oleh kerudung putihnya yang memanjang ke bawah yang kira-kira sampai sikunya. Dia bertubuh tinggi dan ramping, mungkin sedikit lebih tinggi dariku yang hanya sekitar seratus enam puluh sentimeter saat itu.
Setelah pertemuan sekilas itu (kalau hal itu benar-benar dapat disebut sebagai pertemuan), aku sesekali coba berjalan melalui tempat itu sekali lagi dengan harapan dapat berjumpa dengannya sekali lagi dan mungkin saat berjumpa dengannya lagi, aku bisa berbicara dengannya. Hanya berbicara dan coba menjalin pertemanan. Sungguh, hanya pertemanan. Aku tidak pernah mengharapkan yang lebih dari hal itu. Barangkali kami bisa bersama-sama membicarakan roman Atheis, kami bisa membicarakan tokoh Hasan yang terombang-ambing di antara berbagai isme yang dia pelajari secara setengah-setengah dan betapa berbahayanya sikap seperti itu. Mungkin, obrolan akan berlanjut kepada buku-buku lain yang telah kami baca. Mungkin, kami juga akan bertukar buku dan saling merekomendasikan buku yang menurut masing-masing dari kami bagus dan layak dibaca minimal sekali sebelum ajal menjemput. Mungkin.
Namun, hal semacam itu tidak pernah terjadi. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Informasi yang kumiliki tentang perempuan yang mendekap roman Atheis terlalu sedikit. Tidak mungkin untuk mendatangi setiap kelas dan bertanya kepada siapa pun yang ada di dekat pintu, “Hai, apakah di kelas ini ada perempuan yang membaca roman Atheis karya Achdiat K. Mihardja?” Jika aku melakukannya, mungkin aku akan menjadi beken di sekolah. Ada siswa yang mencari siswi yang membaca roman Atheis, begitu kira-kira. Paling buruk, aku mungkin akan mendapatkan julukan pengutit. Sekolah itu, bagaimanapun, memiliki jumlah siswa yang begitu banyak. Siswa di setiap angkatan kira-kira berjumlah tiga ratus lebih. Kira-kira, jika dijumlahkan seluruhnya, terdapat sekitar seribuan siswa di sekolah itu. Mencari perempuan yang mendekap roman Atheis di antara seribuan siswa, sebagaimana sebuah perumpamaan yang klise, sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Bukan mustahil, tapi membutuhkan usaha lebih banyak. Saat itu, tidak banyak waktu luang yang kumiliki. Kuserahkan semuanya kepada takdir.
Aku lulus dari sekolah itu dan masuk perguruan tinggi. Saat itu, kubayangkan dia menghilang tertelan kabut yang turun dari perbukitan di waktu subuh. Aku tidak melihatnya lagi sejak saat itu. Atau, jangan-jangan yang kulihat saat itu adalah sosok hantu yang bergentayangan di sekolah bahkan di siang bolong? Sulit mengonfirmasinya. Aku tidak pernah bertanya kepada teman-temanku yang bersamaku saat aku berpapasan dengannya. Tapi, kurasa menganggapnya hantu adalah perbuatan yang keterlaluan. Aku yakin, dengan segenap jiwaku, bahwa dia adalah manusia berdarah daging, kedua kakinya berpijak pada lantai, dan tubuhnya tidak tembus pandang. Aku sangat yakin. Lagi pula, aku bukan seseorang yang dikaruniai penglihatan gaib semacam itu.
***
Semenjak saat itu aku telah bertemu dengan berbagai jenis orang. Beberapa dari mereka ada yang pernah membaca roman Atheis, ada juga yang baru membacanya setelah kuceritakan tentang roman itu. Semenjak saat itu juga aku telah membaca buku-buku lain, karya pengarang dalam negeri dan karya pengarang luar negeri melalui edisi bahasa Indonesianya. Kartu perpustakaanku penuh dengan daftar buku yang kupinjam dan kukembalikan. Sesekali aku harus membayar denda karena terlambat mengembalikan buku, tapi aku tidak pernah menghilangkan atau merusak koleksi perpustakaan. Aku cukup tahu diri untuk tidak melakukan dua hal tercela itu.
Orang-orang yang bertemu dan menjalin hubungan denganku biasanya tidak berlangsung lama. Kadang ada rasa sedih juga ketika memikirkannya. Tapi lama-lama aku semakin terbiasa. Aku mulai menjaga jarak agar tidak terlibat sepenuhnya dengan mereka. Biasanya, mereka akan menghilang begitu saja seperti tidak pernah ada sama sekali ketika urusan mereka denganku selesai. Aku tidak coba menyalahkan mereka, mungkin aku sendiri yang tidak cukup pandai menjalin hubungan. Tapi ada satu orang perempuan yang berhubungan cukup lama denganku meskipun kami hanya sebatas teman, setidaknya sampai lima belas tahun yang lalu.
Perempuan itu termasuk ke golongan orang-orang yang sudah membaca roman Atheis sebelum bertemu denganku. Tentu, aku yakin, dia bukan perempuan yang mendekap roman Atheis yang kutemui ketika masih SMA. Dia berasal dari tempat yang berbeda denganku dan tidak pernah tinggal di tempatku berasal, bahkan singgah pun tidak. Bahkan dia baru mendengar ada sebuah kota bernama M… di negeri ini. Dia terlihat cerdas, sorot matanya tajam dan menusuk. Kata-katanya terdengar begitu jelas. Dia tidak berbicara dengan tergagap-gagap seperti halnya diriku. Dia adalah perempuan yang begitu percaya diri. Ketika kami sudah cukup akrab, aku bercerita kepadanya tentang pertemuanku dengan perempuan yang mendekap roman Atheis ketika aku masih SMA. Dia tertawa mendengarnya, aku tidak keberatan.
“Pasti itu sesuatu yang berkesan bagimu. Maksudku, orang lain pasti tidak akan peduli apakah mereka pernah bertemu dengan perempuan yang mendekap sebuah buku tebal dari Dostoyevski atau tidak. Apakah kau begitu menyukai Achdiat?”
“Sebenarnya, roman Atheis adalah satu-satunya karyanya yang kubaca.”
“Aku juga.”
Kami benar-benar cukup akrab sampai maut memisahkan kami. Tidak ada penyebab khusus. Tubuhnya sehat sepenuhnya. Tiba-tiba saja pada suatu pagi dia tidak bangun lagi. Aku pergi seorang diri ke rumahnya untuk melayat. Dia dibaringkan di sebuah peti mati dengan mengenakan gaun putih. Wajahnya terlihat lebih cerah dibandingkan ketika dia masih hidup. Ada begitu banyak karangan bunga di sekitar rumahnya, bahkan ada nama-nama besar yang mengirimkan karangan bunga. Dia anak orang kaya, itu bukan suatu hal yang benar-benar penting untuk dikenang. Aku tidak bisa ikut sampai penguburan karena suatu pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Seminggu setelah kematiannya, seseorang yang mengaku sebagai tunangan temanku itu ingin bertemu denganku, dia menghubungi melalui telepon. Entah dari mana dia dapat nomor telepon rumahku. Mungkin dia melihat catatan yang menyerupai buku harian yang ditulis oleh perempuan itu. Aku memenuhi permintaannya. Kami bertemu di sebuah kafe yang berada di dekat jalan besar.
“Maaf mengganggu kesibukan Anda,” dia begitu sopan dan rapi. Dia mengenakan kemeja putih berlengan pendek yang dimasukkan ke celana kain hitamnya. Rambutnya disisir rapi ke samping. Entah mengapa aku teringat foto Hitler di buku pelajar sekolah ketika melihat gaya rambutnya. Mungkin, jika memiliki kumis kotak, pasti dia benar-benar seperti penjahat perang itu.
“Tidak apa-apa,” kataku. “Omong-omong, saya turut berduka cita.”
“Kita berdua adalah dua orang yang sama-sama kehilangan.”
“Saya rasa benar. Tapi Anda adalah orang yang lebih kehilangan daripada saya.”
“Siapa tahu?”
“Ada apa sampai harus menemui saya?”
“Oh.” Dia segera membuka tasnya, tas yang biasa digunakan oleh pegawai kantoran. Dia mengeluarkan sebuah buku yang tidak mungkin tidak familiar bagiku, roman Atheis. “Saya menemukan sebuah catatan yang bertanda namanya dan berisi bahwa dia ingin memberikan buku ini kepada Anda dan menyumbangkan seluruh bukunya yang lain ke panti asuhan.”
Dia menyodorkan buku itu ke arahku. Aku membiarkannya berada di sana untuk beberapa saat. Yang kulakukan hanyalah memandanginya. Lalu, aku melihat ke arahnya lagi. Dia meminum jus alpukatnya melalui sedotan dengan begitu perlahan. Dia memegangi gelasnya dengan kedua tangannya seolah benda itu tidak sanggup ditopangnya dengan hanya satu tangan.
“Saya harap Anda bersedia menerimanya,” katanya setelah melepaskan mulutnya dari sedotan dan meletakkan gelasnya ke atas meja, tapi dengan tetap memeganginya. “Mungkin saja itu permintaan terakhirnya. Sebagai yang masih hidup, sudah sepatutnya kita memenuhi keinginannya selama keinginannya itu tidak bertentangan dengan hukum apa pun.”
“Tentu,” kataku. “Saya akan menerimanya dengan senang hati.”
Sebenarnya, aku sudah memiliki buku itu sejak bertahun-tahun lalu. Tapi aku tidak bisa menolaknya. Sangat tidak elok jika aku menolaknya. Aku kemudian meminum jus jambuku.
“Boleh saya bertanya sesuatu?” katanya. Dia mengeluarkan sebuah sapu tangan dan menyeka area sekitar leher, pipi, dan keningnya. “Saya harap Anda tidak tersinggung dan menjawabnya secara jujur. Saya tidak keberatan.”
Suasana sedikit tegang. Aku merasakan sesuatu yang aneh dari pernyataannya.
“Silakan.”
Sebelum mengajukan pertanyaannya, dia meminum sekali lagi jus alpukatnya, masih dengan cara yang sama seperti tadi.
“Apa Anda mencintainya?”
Itu pertanyaan yang cukup menggelikan, hampir saja aku tertawa keras-keras. Aku menatap kepadanya sebentar, melihat sorot matanya. Dia tidak sedang berolok-olok, dia sedang serius. Dia bahkan tidak memejamkan matanya atau mengalihkan pandangannya ketika aku melihatnya.
“Tidak,” jawabku kemudian. Rupanya, jawaban itu membuatnya heran. Dia pasti ingin berkata mengapa, maka aku memberikan jawaban lanjutan, “baik saya maupun dia tidak pernah saling mencintai. Kami hanya berteman. Terdengar mustahil bagi orang normal. Maksud saya, mereka bilang bahwa tidak ada persahabatan murni antara lelaki dan perempuan. Sebenarnya, kami sedang memberontak pada anggapan itu. Kami memang tidak pernah membahas hal ini. Tapi saya yakin, kami tidak saling mencintai atau satu di antara kami jatuh cinta kepada yang lain. Kami hanya berteman, membicarakan buku di sela-sela kuliah, sesekali pergi ke bioskop untuk melihat film—yang kebanyakan buruk—adaptasi dari karya sastra dalam negeri. Hanya itu. Selebihnya saya sudah tahu—sebenarnya dia yang memberitahu—bahwa dia mencinta seorang lelaki yang begitu baik. Itu pasti Anda.”
Dia tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Dia tertegun, terdiam untuk beberapa saat.
Setelah tertegun untuk beberapa saat dia mengambil gelasnya sekali lagi. Masih sama seperti tadi, tapi gelasnya telah tandas sepenuhnya.
“Terima kasih,” katanya kemudian. “Omong-omong, apakah kita bisa terus bersahabat mulai dari sekarang?”
“Boleh. Saya senang mendapatkan teman baru.”
“Rasanya begitu berat ketika kehilangan seseorang.”
“Mungkin saya masih belum pantas untuk berbicara seperti ini, tapi Anda harus menerima setiap peristiwa yang terjadi.”
“Anda benar. Apakah Anda sudah menikah?”
“Hampir.”
“Selamat kalau begitu.”
“Kalau begitu, mungkin saya akan menambahkan satu nama lagi di daftar tamu undangan.”
“Saya merasa senang mendengarnya.”
Kami kemudian berpisah setelah membicarakan beberapa hal lain.
Aku pulang sambil membawa roman Atheis itu. Sesampainya di rumah, aku meletakkannya di rak, di samping buku Atheis koleksi pribadiku sendiri. Dua buku itu berjajar berdampingan di tengah-tengah deretan buku yang lain.
Suatu hari dia meneleponku untuk meminta maaf karena mungkin tidak akan bisa datang ke pernikahanku. Dia dimutasi ke luar Jawa minggu depan. Aku berkata kepadanya bahwa tidak perlu sungkan. Lalu dia memintaku menemaninya mengunjungi makam perempuan itu.
“Saya adalah bekas tunangannya dan Anda adalah temannya, mungkin teman terbaiknya. Dia pasti senang karena kita kunjungi. Saya juga ingin berpamitan kepadanya.”
“Baiklah. Kapan?”
“Hari Selasa?”
“Sore?”
“Ya. Pagi saya harus mengurus berkas-berkas kepindahan.”
“Baik. Kita bertemu di permakaman.”
Kami bertemu di makam di jam yang dijanjikan. Dia datang dengan pakaian yang sejenis seperti waktu pertama kali kami bertemu. Kami berjalan bersama menuju makam. Ada sebuah salib putih yang menancap di sana. Makam itu, dibandingkan dengan makam-makam lain di sekitar sana, terlampau sederhana. Tapi makam itu terlihat begitu bersahaja dan membuat seseorang terharu. Mungkin itu karena aku mengenal seseorang yang dipendam di dalam sana. Mungkin juga tidak.
Lelaki itu berkata ini itu kepada perempuan itu. Aku mengatakan beberapa patah kata. Setelah itu kami berpisah lagi, mungkin untuk selamanya karena masing-masing dari kami tidak tahu apakah dia akan kembali ke Jawa atau menetap di sana.
***
Aku tidak tahu, tidak pernah tahu, keberadaan perempuan yang mendekap roman Atheis yang kutemui ketika masih SMA dulu. Mungkin dia sudah menikah dengan seorang lelaki dan memiliki beberapa anak. Dia masih akan menyimpan roman Atheis dan meletakkannya di rak paling atas. Dengan suatu alasan, dia begitu menyukai buku itu. Atau bahkan dia tidak memerlukan satu alasan pun untuk menyukainya?
Aku mengetahui perempuan yang kukenal ketika kuliah dan yang juga begitu menyukai roman Atheis. Tapi sekarang dia telah terbaring di peti matinya. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk hal itu.
Mojokerto, 24 April—28 Juni 2022