KABAR kedatangan presiden ke kabupaten kami untuk yang kedua kalinya benar-benar menjadi kenyataan. Orang-orang, yang kebetulan rumahnya berada di pinggir jalan yang menjadi salah satu jalur yang akan dilewati oleh presiden dan rombongannya, pagi-pagi sudah mempersiapkan diri. Mereka ingin menghentikan mobil presiden, sekadar meraih salam darinya atau berfoto bersama, dan sebagian berharap mendapatkan kaos dari presiden. Beberapa orang menyiapkan poster bertuliskan keluhan-keluhan dengan harapan presiden akan membaca. Mereka tak gentar meski seminggu sebelumnya ada seorang peternak unggas yang ditangkap polisi karena membentangkan poster berisi keluhan soal harga jagung di kabupaten lain.
Tetapi, pada saat mobil rombongan presiden melintas, apa yang sudah mereka rencanakan gagal total. Belum apa-apa, mereka sudah dihadang oleh polisi dan tentara yang berjaga di sepanjang jalur yang dilewati presiden. Para polisi dan tentara itu berjaga-jaga dengan senjata dan tameng. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari yang dibayangkan.
Aku sendiri cukup beruntung. Berkat kebohongan ayahku, aku diajak oleh presiden naik mobil bersama pengawalnya ke ibukota kabupaten.
Ceritanya begini. Aku sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah, membonceng ayahku naik sepeda motor. Dalam perjalanan, aku melihat seekor pokemon (kita sebut saja dengan sebutan seekor, ya) sedang menyeberang jalan. Pokemon yang kulihat adalah Pikachu. Kuminta ayahku berhenti karena aku ingin menangkap pokemon itu. Ayah langsung menepi. Bukan untuk membiarkanku menangkap pokemon itu, ayah berhenti karena rombongan presiden akan lewat. Aku pun menangis meraung-raung.
Di depan jalan di ujung kelokan, polisi, tentara, dan petugas dinas perhubungan mencegat setiap pengendara yang lewat, dan menyuruh mereka untuk memutar balik dan mencari jalan yang lain. Ayah menggerutu melihat rombongan presiden. Aku masih mengesot-ngesot di aspal. Lalu tiba-tiba mobil presiden berhenti. Presiden turun dari mobilnya.
“Lho, kenapa ini? Kenapa menangis?”
Presiden menghampiri ayah dan aku. Ayah tergagap, wajahnya pucat. Dilihatnya presiden jongkok tepat di depannya. Di belakang presiden berdiri dua pengawal, berbadan tegap dan bertampang sangar. Di belakang mereka lagi, berjejer polisi dengan senapan laras panjang.
Lalu Ayah menjawab spontan.
“Maaf, Pak, anak saya kepengin sekali ketemu Pak Presiden. Makanya saya nekat lewat sini. Maafkan saya, Pak. Maafkan saya sudah lancang. Sejak tadi pagi di rumah anak saya ini terus merengek minta ketemu Pak Presiden.”
“O begitu. Ya sudah, ayo ikut saya.”
Presiden memegang tanganku, menuntunku ke dalam mobilnya. Dari kaca mobil, kulihat wajah Ayah bengong. Ia tampak bingung. Sempat kulihat ia hendak mengikutiku, namun ia dihentikan oleh para polisi yang ditugaskan untuk mengosongkan jalan.
“Nanti anakmu dipulangkan,” kata salah seorang polisi kepada ayah.
Di dalam mobil presiden, aku masih memikirkan pokemon yang tadi kulihat.
“Pak Presiden…”
“Ya?”
“Tadi saya melihat pokemon.”
“Pokemon?”
Presiden tertawa terpingkal-pingkal. Para pengawalnya pun ikut-ikutan tertawa.
“Aku melihatnya di jalan yang tadi. Tempat Pak Presiden turun tadi.”
“O ya? Kenapa tidak kamu tangkap kalau begitu?”
“Dilarang sama Ayah.”
“Jelas itu. Bahaya main-main di jalan.”
Mata presiden terus mengarah ke depan, tak sabar ingin cepat sampai. Mobil yang kutumpangi melaju dengan sangat kencang. Jalan memang lengang, sangat lengang. Tidak ada satupun kendaraan orang biasa yang lewat di sepanjang jalan yang kami lewati. Sejumlah ruas jalan yang biasanya banyak lubang di sana-sini, tahu-tahu sudah mulus seperti disulap.
Setengah jam berlalu di dalam mobil presiden. Di gang-gang kecil di sisi kiri dan kanan jalan yang kami lewati, aku melihat banyak pokemon. Mereka meloncat-loncat, melayang-layang dan terbang dengan cepat dari atap ke atap, seakan-akan mengejar kami. Aku dapat melihat pokemon-pokemon itu tanpa memindai mereka dengan ponselku. Mereka terlihat dengan kasat mata, mereka tampak di dunia nyata.
“Pak Presiden! Pak Presiden!”
“Ya!” Presiden kaget karena aku terlalu bersemangat.
“Lihat! Itu pokemonnya! Itu!”
“Mana?”
“Itu! Itu!”
Presiden akhirnya bisa melihat.
“Kok bisa ada, ya,” kata presiden terheran-heran, masih tak percaya.
Dua pengawal presiden yang duduk di bangku depan tampak tertarik juga untuk melihat.
“Yang itu, yang serupa tupai itu, namanya Rattata!” ujarku, sambil menjelaskan kepada mereka satu per satu pokemon yang terlihat.
“Kalau yang itu?” tanya Presiden menunjuk yang berbentuk burung.
“Kalau itu namanya Spearow!”
“Nah, yang dinosaurus itu, namanya Charmander!”
***
“Kita sudah sampai, Pak,” pengawal yang menyetir mobil memberitahu.
“Wah, ramai sekali ini,” presiden berkata sambil merapikan jasnya, bersiap-siap turun.
Para pengawal presiden dengan sigap mengosongkan lajur bagi presiden untuk berjalan menuju ke dalam hotel tempat acara digelar. Sesaat sebelum masuk ke dalam ruangan acara, protokoler mengarahkan hadirin supaya berdiri untuk memberi hormat kepada presiden.
“Kita sambut yang mulia Bapak Presiden kita! Beri tepuk tangan yang meriah!”
Di antara gerak langkah Presiden menuju tempat duduk para hadirin, seorang pengawal berbisik kepada pengawal yang lain.
“Anak ini bagaimana?”
Kawannya mengangkat bahu. Lalu seorang dari mereka bergegas berbisik ke presiden.
“Biarkan dia ikut saya,” perintah presiden.
Presiden menyempatkan diri menyalami beberapa hadirin yang dikenalnya sebelum naik ke atas podium. Mereka semua berpakaian rapi dan berambut klimis. Dari wajah mengkilap mereka aku menduga mereka orang-orang kaya.
Ketika presiden sedang menyampaikan rencana-rencananya lima tahun ke depan, kulihat beberapa pokemon bersembunyi di balik alat-alat pengeras suara dan di sekitar kerumunan para hadirin. Rupanya pokemon-pokemon itu mengikuti kami. Tapi, tampaknya tak ada orang lain selain aku yang menyadari keberadaan mereka, termasuk para pengawal presiden. Aku menahan diri untuk tidak mengejar mereka.
Sementara itu, para pengawal presiden berdiri di hampir setiap titik lajur yang memungkinkan setiap orang untuk mendekati presiden. Mereka bersedekap seperti patung, tetapi begitu ada orang yang mencoba mendekat ke arah panggung, mereka dengan cekatan menghadang. Para pewarta foto yang ingin memotret presiden dari jarak yang lebih dekat pun tak luput dari penghalauan.
Ketika Presiden menyelesaikan paparan mengenai visi dan misinya lima tahun ke depan dan turun dari panggung untuk kembali ke mobilnya, pokemon-pokemon itu keluar dari persembunyian, menangkap dan menggelitiki para pengawal yang hendak menghadang orang-orang yang ingin mendekati presiden. Para pengawal itu tak kuasa menahan geli. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Lantas orang-orang langsung menyerbu presiden, mengajak berfoto bersama.
Setelah beberapa saat, salah satu pokemon, Charmander, mengangkut presiden dari tengah-tengah kerumunan orang dan membawanya ke dalam mobil. Di dalam, sudah ada Pikachu yang duduk di bangku sopir. Aku berhasil mengejar mobil itu sebelum pergi. Kali ini kami disopiri oleh Pikachu. Hanya ada aku, presiden, Pikachu dan Charmander di dalam mobil itu. Para pokemon yang lain mengikuti kami dengan terbang.
“Mau kalian bawa ke mana saya?”
“Tenang, Pak Presiden,” kata Pikachu, “kami akan bawa bapak ke tempat yang menyenangkan.”
“Ke mana ya?”
“Bapak sudah pernah meninjau ke sana setahun yang lalu. Dan tadi juga bapak sampaikan dalam pemaparan.”
Setelah berpikir sejenak, barulah presiden menyadari tempat yang dimaksud Pikachu.
Tempat yang dituju Pikachu letaknya sekitar 30 menit dari kampung kami, atau satu jam dari ibukota kabupaten, tempat acara tadi. Tahun lalu, presiden dan sejumlah orang penting datang ke kampung ini. Kampung ini terkenal dengan bebukitannya yang permai. Pohon-pohonnya rindang dan beragam. Sungai jernih mengalir di bawah bebukitan.
Beberapa menit kemudian, kami pun tiba. Presiden terpesona menyaksikan bentangan alam yang tersaji. Di kanan kirinya terdapat aliran sungai yang terbelah oleh jalan kecil tempat mobilnya diparkirkan. Di ujung sungai terbentang perbukitan dengan kabut tipis di atasnya. Di seberang sungai, warga sudah menantinya. Mereka memanggil-manggil namanya sekeras-kerasnya sambil melambai-lambaikan tangan dan meneriakkan keluhan mereka.
Presiden membalas lambaian tangan mereka seraya menulikan telinga terhadap apa yang mereka keluhkan. Dengan sebuah sampan kayu yang sudah disiapkan, presiden menyeberangi sungai itu untuk menemui mereka. Charmander mendayung sampan itu, sementara presiden tinggal duduk enak di badan sampan.
“Tolong ambilkan foto saya ya, dari seberang sana,” pinta presiden kepada Pikachu, seraya menyerahkan ponselnya.
Pikachu pun terbang ke seberang sungai untuk memotret presiden. Sebelum dipotret, Presiden meminjam sebentar dayung sampan dari Charmander dan berlagak seperti sedang mendayung.
Cekrek. Cekrek!
Foto itu kemudian diunggah presiden beberapa jam kemudian di akun media sosialnya.
“Berjuang menyeberangi sungai dengan sampan kayu demi bertemu warga. Ditemani para pokemon yang baik hati. Di kampung inilah tambang batu bara raksasa akan dibangun. Warga menyambut dengan antusias pembangunan tambang batu bara ini karena dengan demikian, lapangan pekerjaan akan terbuka seluas-luasnya. Anak-anak muda di kampung ini saya pastikan tidak akan ada yang menjadi penganggur sampai bergenerasi-generasi berikutnya. Hidup warga kampung ini akan sejahtera,” tulis presiden pada keterangan unggahan fotonya itu.
Presiden menyembunyikan fakta bahwa dalam kunjungannya itu, warga menyampaikan keluhan untuk yang kesekian kalinya, bahwa mereka menolak pembangunan tambang itu karena akan membunuh mereka secara perlahan. Keluhan yang sebenarnya sudah sering ia dengar dari para bawahannya. (*)