Цыпленок и Утенок dan Cerita Anak Kita

TIGA tahun lalu, Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Dewan Jakarta tahun 2019  tidak menetapkan satu pemenang pun. Berikut saya kutipkan paragraf pertama naskah yang dipublikasikan di laman dkj.or.id tersebut.

“Anak-anak penting bagi banyak orang, dan bagi banyak kepentingan, kecuali bagi para penulis. Para penulis bagus yang kita miliki, atau setidaknya nama-nama yang dikenal sebagai penulis bagus, hampir tidak ada yang menulis buku cerita anak-anak. Mereka merelakan penulisan buku anak-anak kepada orang-orang yang bukan penulis. Mereka mengikhlaskan anak-anak menjalani masa kanak-kanak mereka, yang disebut-sebut sebagai masa emas pertumbuhan, untuk menggeluti buku-buku yang rata-rata ditulis dengan kecakapan seadanya.”

Singkat kata, juri yang terdiri dari A.S. Laksana, Hamid Basyaib, dan Reda Gaudiamo itu memutuskan hasil akhir ajang itu tanpa juara pertama, kedua, dan ketiga.

Apa yang diutarakan juri di atas adalah realitas yang mengkhawatirkan. Secara umum, sayembara itu mengonfirmasi bahwa tidak banyak—atau sangat sedikit—naskah yang layak disebut cerita anak yang bagus. Para penulis cerita anak sangat mungkin kebakaran jenggot, tapi cerita anak karena ditulis serampangan (baca secara lengkap naskah pertanggungjawaban juri di laman resmi DKJ), tak terkecuali di Indonesia hari ini, memang tak bisa dinafikan.

Cerita Anak, Bias Definisi

Cerita anak adalah genre bias definisi. Sampai hari ini kita bisa menyebut buku bergambar untuk PAUD yang kerap berwujud fabel sebagai cerita anak, sebagaimana menyebut buku seri Lima Sekawan-nya Enyd Blyton yang menghadirkan tokoh para remaja juga dalam kelompok yang sama. Bahkan cerita putri-putrian seperti Cinderella, Frozen, dan Sofia, juga kerap disebut cerita anak padahal mengandung skena romantika, sebagaimana serial komik Conan yang menampilkan percakapan-percakapan tingkat tinggi khas orang dewasa, seakan-akan tiap cerita bergambar yang menghadirkan anak-anak sebagai tokohnya adalah cocok untuk anak, seakan-akan cerita yang menghadirkan binatang yang bisa bicara adalah bagus untuk anak.

Ya, meskipun dalam buku cerita anak dikenal penjenjangan pembaca, tapi publik—termasuk orangtua atau bahkan guru PAUD yang biasa menangani anak-anak—tidak tahu atau tidak peduli karena bagi mereka cerita anak adalah cerita bergambar atau yang menghadirkan binatang/hewan yang bisa bicara dan berlakon layaknya manusia.

Realitas berikutnya adalah cerita anak yang katanya untuk dibaca anak-anak itu, sebagian besar (untuk tidak menyebut hampir semua), ditulis orang dewasa. Mulanya hal ini dianggap wajar karena orang dewasa sudah melalui masa kanak sehingga bisa memilah ingatan dan pembelajaran untuk dibagikan kepada anak-anak (yang dipakai penulis dewasa yang menulis cerita anak ini, sebagaimana habit cerita anak umumnya, adalah menghadirkan karakter rekaan yang berwarna, imut, dan tentu saja termasuk hewan yang bisa bicara). Tapi, dalam perjalanan dan kenyataannya, kerap kali ditemukan orang dewasa gagal menjadi anak-anak dalam sejumlah cerita anak, termasuk fabel.

Tidak usah jauh-jauh, ceklah khazanah cerita lokal kita yang populer hari ini. Penggampangan, nirimajinasi, dan tidak mampu memadu-madankan cerita dan moral secara ciamik adalah persoalan dasar yang masih kerap dan terus berulang.

Meski secara umum fabel dianggap sebagai karya fiksi yang menceritakan kehidupan hewan/binatang yang berperilaku menyerupai manusia, tapi membuat anak-anak yang masih polos untuk percaya bahwa ada hewan/binatang yang bisa bicara dan berperilaku layaknya manusia bukanlah perkara gampang. Apalagi, ketika penulis menganggap bahwa salah satu di antara cerita dan pesan moral dalam fabel adalah lebih penting daripada yang lain, cerita itu akan menjelma menjadi teks karikatural atau sekadar cerita yang ada gambarnya. Tidak lebih.

Sebagai pembaca cerita anak, paling tidak saya melakukannya secara intens delapan tahun belakangan ketika rumah tangga menghadiahi kami buah hati yang senang menyimak cerita, saya merasakan hal itu. Kegelisahan serupa juga membayangi rekan-rekan saya yang memiliki pandangan yang sama bahwa: fabel yang baik adalah cerita yang membuat anak-anak percaya kalau itu ditulis oleh “teman-teman mereka”, oleh anak-anak juga.

Ya, penulis dewasa dalam berbagai khazanah fabel, kerap merasa paling berhak menggembleng anak-anak dengan cerita yang penuh keseruan dan pelajaran, sehingga cerita yang sampai pun hitam-putih tanpa peduli bahwa kekayaan yang harus ada dalam karya bahasa adalah imajinasi itu sendiri. Sebagaimana prinsip karya kreatif, karya yang mengasah imajinasi penulis sekaligus merangsang dan mengayakan imajinasi pembacanya adalah karya yang baik. Tanpa salah satunya, misalnya si penulis yang peduli pada imajinasinya semata, karya itu gugur disebut sebagai karya tulis kreatif.

Dalam cerita Si Kancil, seri fabel lokal yang sangat populer, kita dapat melihatnya dengan sangat terang dan gamblang. Bagaimana mudahnya sosok kancil mengelabui buaya-buaya agar berbaris mengapungkan punggung mereka untuk membentuk barisan jembatan sehingga si Kancil tiba di seberang dengan selamat. Kemudahan serupa pun hadir dalam seri Kancil dan Harimau atau bahkan seri Kancil Mencuri Mentimun. 

Saya pernah diminta anak-anak saya untuk membacakan serial Si Kancil karena di sekolah mereka cerita anak itu sangat populer. “Kata si A cerita kancil itu seru karena dia pintar!” begitu celetuk Dinda yang kala itu baru berumur 7 tahun. “Aunty juga nyeritain cerita itu,” lanjut Dkayla yang terpaut satu tahun dari sang kakak.

“Kalian suka?” tanya saya. Saya tentu penasaran respons mereka terhadap cerita Si Kancil yang sudah lama saya “hapus” dalam bacaan anak di keluarga kami, sebagaimana saya menggeser cerita Timun (E)Mas dalam daftar cerita anak yang layak dibaca untuk anak-anak.

Mereka tidak merespons. Tapi, hal itu membuat saya makin tak sabar menceritakan cerita itu kepada mereka meskipun kami tak punya bukunya. Hari itu saya mendapatkan salah satu seri cerita Si Kancil di lapak yang digelar bebas di salah satu halaman PAUD. Dan ndilala, respons kedua putri saya ternyata sama dengan respons ketika mereka dulu menyimak pembacaan Timun (E)Mas. “Jadi, kita boleh berbohong?”

Ya, layaknya protagonik, sang ibu yang begitu menyayangi putrinya yang tumbuh remaja, dalam cerita Timun (E)Mas yang menolak menepati janjinya—untuk menyerahkan si anak kepada Raksasa—ketika si anak tumbuh remaja, Kancil juga membohongi binatang/binatang di hutan demi lancar dan tercapainya urusannya.

Sampai titik ini, suara orang dewasa dalam fabel kita, tidakkah membuat kita berseru: “Oh, alangkah kentara dan dominannya!” Bagaimana mungkin anak-anak langsung dijejal-ajarkan dengan cerita yang mengandung moral yang oksimoron bahwa berbohong demi kepentingan diri sendiri itu adalah sesuatu yang sah dan dianjurkan karena didukung dan dilegitimasi dalam karya teks yang disebut jendela dunia.

Bagaimana anak-anak bisa percaya kalau suara mereka diwakili oleh nalar moral yang bahkan mereka sendiri tidak mengerti mengapa berbohong itu perlu atau bahkan diajarkan buat mereka. Kalau mereka hidup dalam pendidikan dan lingkungan yang mengajarkan karakterisasi yang beradab, mereka akan bingung sebab tabrakan itu sedang berlansung dalam kepala mereka atas cerita anak lokal tersebut. Sampai pada realitas ini, bahkan cerita-cerita fabel jenis di atas sudah gagal tampil sebagai cerita yang seru sebagaimana karakter premis atau embrio cerita secara pijakan. Nah, kalau keseruan itu gagal diproduksi karena tidak ada hambatan yang si Kancil temui, bagaimana cerita itu bisa memikat anak-anak? Kalaupun akhirnya cerita ini tertanam ke dalam benak anak-anak, hal itu karena begitu seringnya ia diceritakan-ulang. Ah, alangkah mengenaskannya asupan literasi mereka di usia dini ….

Sampai di sini, wahai penulis bagus (sebagaimana “panggilan” ketiga dewan juri di Sayembara Cerita Anak DKJ di atas), ke mana saja Anda?

Cerita A dan Cerita B

Dalam tulisan fiksi, selalu ada argumentasi nilai (value-argument) yang menyertai cerita yang tampak di permukaan atau dalam bahasa populer disebut keseruan. Argumentasi ini dirasakan dan ditangkap pembaca setelah mereka menyelesaikan bacaannya. Seperti ketika usai membaca cerita Cinderella, kalau pembaca mengatakan bahwa ia baru saja membaca cerita tentang pangeran dan gadis desa yang beruntung artinya ia sedang menceritakan Cerita A alias keseruan yang diproduksi oleh Premis A. Tapi kalau ia mengatakan bahwa Cinderella adalah cerita tentang takdir baik hanya akan menimpa orang baik berarti ia membaca Cerita B-nya yang tentu saja, tanpa pembaca—dan atau bahkan penulisnya sendiri sadari—diproduksi oleh Premis B.

Dalam formula Save the Cats-nya Blake Snyder yang merupakan penulis cerita produktif era modern, Jessica Brody yang pernah merasakan hebatnya rumusan itu bekerja dalam kelas Snyder yang ia ikuti, merilis buku di bawah judul yang sama. Dalam Save the Cats-nya Brody, penulis The Geography of Lost Things (Bulu Emas) itu membagi cerita menjadi dua: Cerita A dan Cerita B. Sebagaimana yang diterakan dalam contoh di atas, tiap cerita memiliki premis masing-masing. 

Cerita A adalah keseruan yang dialami karakter-karakter, khususnya protagonik. Sementara Cerita B mengandung argumentasi nilai atau moral yang berada di layar bawah cerita. Sekali lagi, keduanya memiliki premis dan logika cerita yang dijaga dan dipelihara sepanjang cerita. Bedanya, Premis A sesuatu yang bisa langsung “disaksikan” pembaca karena keseruannya, sementara Premis B adalah sesuatu yang “dirasakan” pembaca karena ia berada di bawah selimut Cerita A. Premis B melahirkan renungan dan metaforisme yang, tanpa disadari, akan menyusup pelan-pelan ke alam bawah sadar pembaca. 

Dalam kasus seri fabel Si Kancil kita akan mendapatkan Premis A sebagai kecerdikan Kancil menghadapi binatang-binatang di hutan. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan di atas, Premis A yang harusnya seru (karena memang bernama keseruan!) malah berjalan lempang karena Kancil dapat menaklukkan tiap urusan dengan mudah. Nyaris tak ada konflik. Karya cerita tanpa tabrakan alias tanpa konflik, sebagaimana yang diutarakan Budi Darma, bukanlah cerita! 

Tapi, apa pun itu, begitulah Premis A dalam sejumlah seri Si Kancil. Lalu bagaimana Premis B atau nilai yang hendak disusupkan ke kepala pembaca? 

Di sinilah, logika moral cerita ini tidak berjalan. Anak-anak tidak akan menangkap bahwa “menjadi cerdik” adalah perlu agar niat baik terwujud dengan mudah dan lancar. Tidak. Itu adalah sudut pandang orang dewasa. Premis B yang potensial ditangkap anak-anak adalah: kancil hewan yang cerdik, sedangkan buaya dan harimau tidak; Kancil lebih layak diidolakan daripada binatang lainnya karena binatang-binatang lain diposisikan sebagai antagonik; Kancil berhasil mengelabui binatang-binatang lainnya agar tujuannya tercapai, tak peduli apakah binatang-binatang lain itu menderita atau terzalimi; Kancil mementingkan diri sendiri; egois itu boleh—atau bahkan harus!—karena kancil adalah protagonik dalam cerita; jadi … silakan Anda lanjutkan sendiri …..

Pemahaman tentang Cerita atau Premis A dan B ini, seyogyanya, sudah mengaliri darah penulis-penulis yang bagus, tak terkecuali penulis dewasa yang ketika menulis sudah “tidak perlu lagi berpikir” saking kemampuan menulisnya menjelma keahlian yang mendarah daging (daily craftmanship). Hanya saja, karena berurusan dengan daya interpretasi yang masih terbatas—tapi dikaruniai imajinasi yang sedang tumbuh subur, anak-anak membaca cerita yang ditata sedemikian rupa agar cocok dengan karakter tersebut. Di sinilah, kesadaran dan kerendah-hatian dan kelapang-dadaan penulis dewasa diperlukan. 

Mereka harus mengondisikan diri menjadi anak-anak ketika menulis. Pengondisian ini membutuhkan kesadaran. Dan kesadaran hanya milik mereka yang memahami bahwa teks memiliki dua lapis cerita (A dan B) dan tidak ada cara terbaik untuk memaksimalkan kerja tiap lapisannya selain menjadikan diri mereka sebagai anak-anak: suara, kata-kata, tingkah laku, dan kecenderungan karakter-karakternya.

Dalam penggarapan fabel, penulis dewasa sudah sangat terbantu dengan kecenderungan anak-anak menyukai mainan yang menyerupai binatang atau hewan. Misalkan, anak laki-laki umumnya menyukai mainan dinosaurus, singa, gajah, macan, atau binatang yang mewakili maskulinitas; sementara anak perempuan anggaplah menyukai kelinci, bebek, atau boneka-boneka kucing (hello kitty) atau tikus (mickey mouse) yang dianggap lebih lucu dan imut. Kalau Anda terganggu dengan pengelompokan citra binatang kesukaan berdasarkan gender, kita tak bisa menafikan kalau mainan dalam wujud binatang atau hewan disukai anak-anak. 

Mereka pun biasa bermain dengan binatang-binatangan itu, ngobrol dan bercanda dengan mereka, atau bahkan menciptakan keseruan dalam wujud “keributan dan perdebatan”. Ketika bermain, anak-anak menganggap binatang-binatangan itu punya suara, suara yang mereka ciptakan lalu mereka pahami sendiri. Suara mereka. Suara anak-anak.

Jadi, ketika mereka akhirnya membaca fabel. Sebenarnya mereka sedang bertemu dengan pembaca yang sudah mengenal hewan atau binatang itu. Kondisi ini bisa menyebabkan dua hal. 

Pertama, penulis dewasa terbantu. Jadi, konsentrasi penulis bisa alokasikan pada kekuatan cerita, dialog, dan argumentasi nilai. Perkenalan karakter fisik dan bawaan dasar para karakter tidak akan memakan ruang eksplorasi yang besar. Ia baru diperlukan kalau penulis menciptakan anomali dalam citra umum binatang, misalkan gajah yang dicitrakan gagah ternyata memiliki sifat pemalu atau gagak yang diidentikkan dengan kabar duka ternyata berbulu putih. Dan itu … tidak masalah. Selama ada penjelasan masuk akal dengan memperhatikan aspek daya tangkap target pembaca, boleh-boleh saja.

Kelebihan dan kemudahan ini seharusnya juga dirasakan oleh pembaca apabila penulis menitipkan suara anak-anak ke dalam karakter fabel sehingga pembaca anak-anak tidak bingung sebab sejatinya mereka hanya sedang melanjutkan keasyikan bermain dengan binatang-binatangan di rumah ke media baru: cerita di atas kertas.

Kedua, kedekatan anak-anak dengan mainan binatang-binatangan itu bisa saja mempersulit pembaca mengakrabi cerita. Hal ini terjadi kalau penulis berprinsip bahwa orang dewasalah yang paling mengerti anak-anak sehingga mereka menjelma menjadi pengajar atau penceramah atau kakak senior yang memperlakukan karakter-karakter dalam fabel tak lebih sebagai hewan-hewanan, benda mati menyerupai binatang, yang diembuskan nyawa buatan oleh baterai yang bernama kata-kata dan tindakan. Alih-alih menampilkan moral atau argumentasi nilainya, karakter akan jadi artifisial dan bahkan robotik sehingga fabel akan kesulitan menghasilkan keseruan,

Apakah ada contoh fabel yang mampu menampikan keseruan sekaligus nilai-nilai secara maksimal?

Tentu saja ada.

Цыпленок и Утенок atawa the Chick and the Duckling

Saya tidak tahu jumlah persisnya. Tapi, tentu saja cerita anak yang baik itu ada. Baik yang pernah saya dan anak-anak baca atau pun yang kami lewatkan. Sepembacaan saya, salah satu fabel yang hingga hari ini menjadi model saya menulis cerita yang baik, baik sebagai teks, gambar,  atau gabungan keduanya, hingga mencakup keseruan dan moral yang diketengahkannya, adalah The Chick and Duckling alias Anak Ayam dan Anak Bebek yang ditulis oleh V. Suteev dalam bahasa Rusia dengan judul asli цыпленок и утенок.

Versi terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Mirra Ginsburg dan digambar oleh kolaborasi dua ilustrator—Jose Aruego dan Ariane Dewei (Catat: ketiga kreator itu bukan anak-anak, melainkan orang dewasa!)—tak kalah memukau. Selain alasan keterbacaan, karena saya membaca cerita ini pertama kali dalam edisi bahasa Inggris, saya akan menyebut judul cerita ini dalam bahasa Inggris, bukan Rusia.

Teh Chick and the Duckling bercerita tentang anak ayam dan anak bebek dari dua telur telantar yang menetas bersamaan di sebuah daratan. Mereka menjalankan aktivitas yang sama bersama-sama. Anak bebek mengais tanah untuk mencari cacing, ayam juga. Anak bebek menangkap kupu-kupu, ayam juga. Singkat cerita, apa saja yang dilakukan anak bebek, ayam juga menirunya. Hingga suatu hari anak bebek ingin berenang. Sebagaimana biasa, anak ayam pun mengikutinya. Sudah bisa ditebak, anak bebek nyebur dan berenang dengan gembira, sedangkan anak ayam nyebur dan kesulitan bernapas di dalam air karena memang pada dasarnya ayam tidak bisa berenang. Meskipun begitu, anak bebek membantu anak ayam ke darat hingga akhirnya anak ayam yang pingsan karena perutnya kembung oleh air yang masuk lewat hidung dan mulut itu siuman. Di akhir cerita, anak bebek kembali mengatakan kalau ia ingin berenang, dan anak ayam menyahut kalau ia tidak akan mengikutinya.

Anda benar, cerita di atas adalah fabel yang sederhana. Tapi Anda juga jangan lupa bahwa cerita terbaik untuk anak-anak adalah cerita yang sederhana, tak terkecuali untuk fabel. 

Teh Chick and the Duckling menampilkan fabel tanpa mengingkari sifat-sifat hewaniah karakter cerita: keduanya gemar mengais tanah dan makan cacing; dan bebek bisa berenang, sementara ayam tidak. Keduanya juga mampu merefleksikan sifat anak-anak yang riang, gemar bermain, mencoba hal baru, sekaligus belajar dari pengalaman dan kesalahan. Refleksi tersebut tak lain tak bukan, dalam khazanah cerita fiksi, adalah Premis atau Cerita B-nya.

Kesederhanaan The Chick and the Duckling menghasilkan keseruan yang sangat kanak-kanak. Akhir cerita yang menunjukkan kalau anak ayam belajar dari kesalahannya menunjukkan kepada pembacanya bahwa ia bukanlah antagonik, melainkan melainkan kembar protagonik si anak bebek. Aksi anak bebek yang membantu anak ayam yang keluar dari telaga menguar nilai-nilai kesetiakawanan, sportivitas, dan tepat memilih teman, tanpa harus mengorbankan kesenangan sebagai anak (bebek). 

Cerita Anak, Suara Anak

Di tengah maraknya isu tentang pentingnya suara anak dalam cerita anak hari ini, The Chick and the Duckling memberikan sorotan bahwa poin isu itu adalah seberhasil apa cerita anak menyuaraka suara anak, terlepas anak-anak atau orang dewasa yang menulisnya.

Yang dilakukan oleh Suteev, Ginsburg, ataupun Arugeo dan Dewey melalui Anak Ayam dan Anak Bebek adalah bukan hanya belajar, memahami, dan menyuarakan suara anak-anak, melainkan menjadi anak-anak itu sendiri. 

Jadi, istilah “penulis bagus” dalam imbauan dewan juri Sayembara Cerita Anak tahun 2019 itu sebaiknya dilengkapi dengan penulis bagus yang mau menjadi anak-anak, termasuk anak-anak yang merupa hewan atau binatang.***







Bagikan:

Penulis →

Benny Arnas

Lahir, besar, dan berdikari di Lubuklinggau. Telah menulis 27 buku. Pada 2018, Halimah dan Bainai, novel anak karya Desy Arisandi yang disuntingnya, memenangkan Sayembara Menulis Novel Anak Kemdikbud. De Mauraisyah lahir di Lubuklinggau, 26 September 2017. Lewat lukisan-lukisannya di bawah judul “Kelinci dan Hewan Lucu, the Series” menjadikannya sebagai pelukis termuda di Pameran Seni Rupa Anak “Children Art Festival”, Yogyakarta 2022.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *