Sebongkah Kenangan

BETAPA setiap perempuan di kota itu menunggu kedatangan seorang tukang rongsok. Ia akan lewat selepas tengah hari, saat mereka bangun dari tidur siang. Mereka berharap-harap cemas, takut kalau pemulung itu tidak datang. Mereka duduk di serambi rumah, dan mata mereka membelalak setiap kali mendengar bunyi klakson. Namun mereka kecewa ketika mendapati klakson itu hanya berasal dari orang yang lewat.

Tukang rongsok itu memiliki penampilan yang hampir sama dengan tukang rongsok yang lain. Bajunya lusuh belaka, celananya komprang, dan ia memakai topi untuk menutupi kepalanya dari terik matahari. Ketika ia datang, ia akan membunyikan klakson, dan berteriak lirih, rongsok, rongsok. Rongsok, rongsok. Bedanya dengan tukang rongsok yang lain, suaranya begitu merdu dan indah, Seperti memiliki irama yang mendatangkan kedamaian bagi setiap orang yang mendengarnya. Maka setiap kali tukang rongsok itu datang, para perempuan telah duduk di teras atau serambi rumah. Terkadang mereka sambil mengobrol dengan tetangga yang dibatasi tembok, membicarakan tukang rongsok itu. Apalagi jika tukang rongsok itu telah datang berhari-hari.

Semula hanya satu perempuan yang menjadi langganan tukang rongsok itu. Bu Ningsih namanya, yang menjadi orang pertama memanggilnya. Selain penasaran karena tukang rongsok itu bersuara sebegitu merdu, dan juga banyak barang di gudang yang telah menumpuk, Bu Ningsih memanggilnya. Betapa Bu Ningsih melihat wajah tukang rongsok itu bercahaya. Ia tersenyum, dan senyuman itu membawa kedamaian yang tak terkatakan. Seperti telaga bening yang dirindukan.

Bu Ningsih kesulitan membawa barang-barang bekasnya. Maka ia menyuruh tukang rongsok itu masuk ke gudangnya, dan mengangkut sendiri barang-barang rongsokan itu. Sepeda yang telah reot, kipas angin rusak, dan berbagai barang macam lain yang memenuhi gudangnya. Betapa tukang rongsok itu berbahagia, dengan binar mata yang memancarkan kesejukan. Pergerakannya cepat, tetapi ada sesuatu yang membuat Bu Ningsih seperti ingin menatap lelaki itu. Bajunya basah dipenuhi keringat. Dan angin semilir membawa aroma keringatnya ke hidung Bu Ningsih. Keringat yang tak biasa. Bu Ningsih menghirup aroma keringat itu dalam-dalam. Tidak kecut, tidak wangi. Namun semacam memberikan warna lain ke dalam pikirannya.

“Sudah selesai, Bu.”

Tukang rongsok itu telah menyelesaikan pekerjaannya. Dan Bu Ningsih seperti tak rela jika tukang rongsok itu pergi.

“Apakah kau hanya menerima barang bekas? Mungkin kau bisa membawa perasaan perempuan yang sedang koyak,” kata Bu Ningsih.

Bu Ningsih kaget dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Bagaimana mungkin ia mengucapkan hal semacam itu, dan ia mengatakannya pada orang asing yang tak dikenalnya sama sekali?

Namun lelaki itu tersenyum.

“Aku juga menerima hati yang terluka, Bu. Dan aku membawa kenangan indah pada setiap hati yang koyak dan luka.”

Ia membuka bongkaran tumpukan kardus di gerobaknya. Ia membongkar sebuah kenangan. Tukang rongsok itu memperlihatkan sebongkah kenangan pada Bu Ningsih. Sebongkah kenangan yang berkilauan yang akan membuat takjub setiap orang yang memandangnya.

“Setiap orang yang memiliki kenangan buruk, akan menjadi bahagia, dengan menyelipkan sedikit dari bagian sebongkah kenangan ini ke dalam hidupnya. Sebongkah kenangan yang kuterima dari seorang yang berpenampilan pengemis. Ini bisa membantu menyembuhkan segala penyakit yang bisa ditimbulkan oleh kenangan yang buruk meski hanya sementara.”

Maka tukang rongsok itu mengambil secuil dari bagian sebongkah kenangan itu dan memberikannya kepada Bu Ningsih. Bu Ningsih ragu-ragu. Kemudian ia menyelipkan secuil kenangan itu ke dalam kepalanya, dan kemudian dadanya menjadi bergemuruh. Rona wajahnya berubah ceria. Ia sejenak mampu melupakan hari-hari yang buruk di dalam rumahnya.

Secuil kenangan itu memberikan pengalaman yang tak terduga dari yang sebelumnya. Bu Ningsih untuk sementara tidak mengingat tentang suaminya yang suka membentak dan main tangan. Tak suka dengan tubuhnya yang semakin melebar. Entah sejak kapan, suaminya yang sebelum pernikahan hingga awal pernikahan begitu romantis, mendadak menjadi pemarah. Dulu suaminya akan memaklumi jika masakannya asin. Namun, sekarang, sedikit saja tak sesuai dengan lidahnya, suaminya akan langsung menyiramkan segala masakan yang dimasaknya ke wajahnya disertai umpatan dan makian. Yang bisa dilakukan Bu Ningsih hanya meringkuk sambil menahan tangis. Dan secuil kenangan itu, menghadirkan masa-masa yang begitu indah, saat ia dan suaminya bertemu kembali. Bahkan ia bisa menghadirkan sosok suami yang lebih penyayang dibandingkan dengan suaminya yang ia miliki. Ia hanya perlu duduk manis, dan segala pekerjaan akan tuntas. Suaminya dalam secuil kenangan itu tak membiarkannya berkeringat, tak membiarkan peluhnya bercucuran. Dan ia teramat bahagia.

Bahkan saking bahagianya, ia telah lupa bahwa tukang rongsok itu hendak berpamitan. Maka tanpa sepengetahuan Bu Ningsih, lelaki itu pergi. Membuka pagar, dan kembali mengendarai motor yang telah ia modifikasi sedemikian rupa, menjadi gerobak untuk mengumpulkan barang-barang bekas.

Begitu tukang rongsok itu pergi, Bu Ningsih kembali seperti sedia kala. Kenangan itu melenyap bersamaan dengan perginya tukang rongsok itu. Ia berusaha memanggil dengan keras dan rasanya ia masih membutuhkan secuil kenangan untuk membahagiakan hidupnya. Namun meski ia berteriak sedemikian keras, tukang rongsok itu telah lenyap dari pandangan. Dari sanalah semuanya bermula. Banyak tetangga Bu Ningsih keluar rumah demi mendengar teriakan Bu Ningsih yang teramat keras. Mereka pun bermunculan dan menanyakan apa yang terjadi. Bu Ningsih menceritakan apa yang terjadi. Tentang bagaimana tukang rongsok itu datang, suaranya begitu lirih, dan aroma keringatnya berbeda dari kebanyakan orang, dan yang paling penting ia memiliki secuil kenangan yang bisa membuatnya bahagia barang sejenak. 

Seketika para ibu berkumpul, dan dalam hati mereka menganggap Bu Ningsih gila dan pembual belaka. Cuih! Secuil kenangan. Kebahagiaan macam apa yang telah diberikan secuil kenangan dari tukang rongsok itu sehingga membuat Bu Ningsih demikian antusias dalam bercerita. Seolah Bu Ningsih tidak pernah merasakan kebahagiaan yang demikian itu.

Karena dilanda rasa penasaran yang teramat sangat, pada saat kedatangannya lagi seminggu kemudian, Bu Narti, tetangga Bu Ningsih memanggilnya. Dan tukang rongsok pun berhenti, memberikan senyum yang teramat menawan. Bu Narti demikian terpesona dengan sosok tukang rongsok itu. Bukan hanya karena kesederhanaan yang ditampilkan, tetapi juga karena tukang rongsok itu memberikan semacam keteduhan yang belum pernah ia rasakan. Sebagaimana Bu Ningsih, ia pun mencium keringat laki-laki itu. Bu Ningsih tidak berdusta. Aromanya lain, memberikan suasana kesegaran. Dan seluruh tubuhnya seperti bercahaya, berkilau jika sinar matahari menerpa kulitnya. Selesai mengangkati semua barang bekas, Bu Narti pun menanyai tentang secuil kenangan itu. Laki-laki tukang rongsok itu tersenyum dan memperlihatkan sebongkah kenangan. Seketika ia mencuilnya sebagaimana yang Bu Ningsih meminta.

Bu Narti telah lupa dengan segala yang terjadi dalam rumah tangganya. Suaminya yang gemar mendatangi panti pijat, tidur dengan perempuan-perempuan lain. Dan jika Bu Narti menegurnya, ia mendapatkan tamparan dan makian. Ia pun tak bisa bercerai begitu saja, selain karena alasan anak-anak juga karena keluarga besar. Perceraian adalah aib, dan setiap perceraian dari keluarga besarnya, selalu pihak perempuan yang disalahkan. Mengapa suami selingkuh dan tidur dengan perempuan lain? Dikarenakan istri tak bisa memberikan kepuasan yang layak kepada suaminya. Namun itu bohong belaka. Ia telah memberikan segalanya terhadap suaminya, termasuk segala keanehan di dalam bercinta. Dan tetap saja, ia mendapati percakapan mesra di ponsel suaminya. Ia juga mendapati suaminya sedang berfoto dengan seorang perempuan dengan hanya mengenakan sebuah selimut. Betapa hatinya remuk, dan ia sudah kebal dengan segala perselingkuhan dengan yang dilakukan suaminya. Sudah muak, tetapi tidak bisa bercerai begitu saja. Ia memilih bertahan, dengan kesunyian yang memenjarakan dirinya.

Dan secuil kenangan itu memberikan kebahagiaan yang tidak terkira. Bu Narti begitu terpesona dengan efek yang ditimbulkan secuil kenangan. Sebagaimana Bu Ningsih, ia pun tidak mendengar ketika tukang rongsok itu berpamitan. Tukang rongsok itu kemudian menutup pagar dan pergi. Ia kembali bersenandung lirih, rongsok, rongsok. Rongsok, rongsok. Dan ketika sampai di batas keluar perumahan itu, ia berhenti sejenak. Menyeka keringatnya, meneguk segelas air putih, kemudian pergi. Dan Bu Narti baru sadar saat tukang rongsok itu benar-benar tidak ada. Dan ia kembali kecewa ketika ia harus kembali pada dunia nyata yang dihadapinya.

Tukang rongsok itu datang tak tentu. Dan dari dua orang yang pernah memanggilnya, hampir setiap kali ia lewat, ia dipanggil hampir di setiap rumah di komplek perumahan itu. Setiap perempuan menghentikannya. Ia menjadi perbincangan hangat di majelis majelis taklim jamaah perempuan, juga menjadi perbincangan hangat di antara ibu-ibu yang sedang membeli sayur. Dan sayup-sayup suami-suami mereka pun tahu, dan mereka memilih tak acuh dengan keanehan semacam itu. Mereka menganggap istri-istri mereka sebagai perempuan tolol. Dibodohi begitu rupa oleh tukang rongsok.

Dan ketika berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan hingga berbulan-bulan tukang rongsok itu tidak datang, para perempuan penghuni komplek perumahan itu menunggu dengan gelisah. Mereka tidak lagi tidur siang, karena mereka takut terlewat dari kedatangan tukang rongsok itu.

Hingga pada sore yang muram, tukang rongsok itu datang, dan para perempuan berteriak serempak memanggilnya. Hampir setiap rumah menyuruhnya untuk mampir. Namun lelaki itu tahu belaka, dan ia bisa memastikan siapa yang memanggilnya pertama kali, kemudian berurutan ia mendatangi rumah-rumah itu.

Mereka meminta dibawakan kenangan asli yang tidak bisa dihapus lagi, atau setidaknya kenangan asli yang baru, yang tidak terikat dengan mimpi dan angan-angan. Namun lelaki itu tidak bisa memberinya, karena itu artinya ia akan membiarkan para perempuan itu hidup dalam kenyataan yang lain. Maka ia tak mau, memberikannnya. Ia membiarkan mereka rasa bahagia untuk sementara, dan ketika ia pergi, kebahagiaan itu telah lenyap.

Ia dipercaya sebagai murid Khidir. Bagaimana mungkin, seorang tukang rongsok, bisa memiliki sebongkah kenangan, dan meski berapa kali pun dibagikan sebongkah kenangan itu tidak pernah habis, terus dibagikan secuil demi secuil.

Hingga beberapa lamanya, tukang rongsok itu tak pernah muncul lagi. Berbulan-bulan mereka menunggu. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, tukang rongsok itu tak pernah datang. Mereka merindukan suaranya yang lirih, teramat khas, dan mengundang iba pada setiap orang yang mendengar teriakannya.

Dan sore itu, setelah tiga tahun lamanya, seorang tukang rongsok muncul. Sebagaimana yang dilakukan oleh tukang rongsok, ia pun berteriak lirih. Namun meski suaranya memekakkan, para perempuan di ruangan itu, yang menunggu tukang rongsok sambil terkantuk-kantuk, segera bergegas membuka pintu. Mereka kecewa ketika melihat tukang rongsok yang lain, bukan tukang rongsok yang biasanya lewat. Suaranya teramat cempreng, dan aroma tubuhnya berbau keringat tak sedap. Ketika tukang rongsok itu turun dan berbahagia ketika mendengar setiap rumah berteriak, “Rongsoook!” hampir bersamaan.

Ia turun dari motornya, kemudian menyandarkannya. Namun begitu mereka melihatnya, seketika mereka menutup pintu dan pagar kembali. Mereka kembali ke dalam rumah. Dan tukang rongsok itu pun berteriak-teriak.

Ia kembali menyalakan motornya. Dan tak ada satu pun rumah yang terbuka memberikan barang rongsokan. Hingga ia keluar dari komplek perumahan itu, dan tak seorang pun memanggil.

Berhari-hari ia memasuki komplek perumahan itu, dan tetap, tak seorang pun memanggilnya. Hingga ia memutuskan untuk tidak datang lagi ke sana. Ia hanya heran, kenapa perempuan-perempuan komplek perumahan itu membuka pintu dan berteriak serentak dan menutup pintu kembali ketika kedatangannya yang pertama. Ia hanya kaget belaka,

Sementara para perempuan penghuni komplek itu selalu menunggu dengan cemas. Suami-suami mereka telah bertindak melebihi batas kewajaran. Kadang-kadang suara tukang rongsok itu menggema dalam telinga mereka sendiri.


Ciputat, 25 Agustus 2021






Bagikan:

Penulis →

Rumadi

lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat beberapa media cetak dan daring. Buku pertamanya berjudul Melepaskan Belenggu diterbitkan oleh Jagat Litera.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *