PERJALANANKU dalam mencari Mustafa harus berakhir di kampung ini. Dia ternyata telah mati bertahun-tahun lalu. Walaupun begitu, cerita tentangnya tak akan pernah mati di kampung ini.
Entah sebagai legenda, mitos, atau pesakitan, nama Mustafa jadi sosok yang terus-menerus diingat oleh orang kampung ini. Penyebabnya jelas, drama pada hari kematiannya yang ganjil telah menyihir orang-orang untuk terus mempertahankan sosok tua itu dalam ingatan.
“Aku tak terlalu mengenalinya, tapi permintaan anehnya sebelum meninggal dan mimpi separuh warga kampung ini mustahil bisa terhapus,” ujar beberapa warga kepadaku.
“Apa orang di sini percaya bahwa mimpi itu nyata?” tanyaku pada orang-orang.
Jawabannya beragam.
“Ah, mimpi kan cuman bunga tidur, aku tak terlalu memandang itu serius. Tapi memang aneh.”
Namun ada juga yang memandang itu serius.
“Aku yakin mimpi itu nyata. Coba bayangkan, lebih dari separuh warga mendapati mimpi yang sama pada malam yang sama. Itu bukan lagi suatu kebetulan, apa itu bukan suatu pertanda?”
Maka, selama tinggal di kampung ini, aku sibuk mendengarkan cerita itu. Lalu aku tuliskan apa adanya kepadamu.
***
Sebelum aku masuk dalam cerita tentang mimpi itu, ada baiknya aku sedikit ceritakan kebiasaan Mustafa berdasarkan apa yang aku dengar dari sekumpulan lelaki di warung kopi pada suatu sore pada hari ketiga setelah aku sampai ke kampung ini. Kesimpulannya, Mustafa sudah bertingkah aneh, jauh sebelum malaikat maut mencabut nyawanya.
Keanehan itu bermula beberapa bulan sebelum ia meninggal, Mustafa sering meminta kepada orang-orang, agar kelak, ketika ia mati, ia ingin dikuburkan bersama buku-buku. “Cukup sepuluh buku saja. Tiga di antaranya buku tulisanku sendiri, sisanya buku-buku terbaik yang pernah kubaca.” Permintaan serupa itu yang kabarnya sering diulang-ulang Mustafa.
Saat orang mengatakan itu tidak masuk akal, Mustafa katanya dengan santai berucap, “Bukannya kita tidak tahu kapan kiamat akan datang? Jika kiamat tiba tidak terlampau jauh dari jarak aku meninggal, aku tak bakalan menunggu lama. Tapi kalau seandainya kiamat itu masih jauh, aku akan sangat merasa kesepian. Apalagi kata kebanyakan ulama, satu hari di akhirat itu sama dengan seribu tahun di dunia. Coba kalian bayangkan, betapa lamanya aku menunggu. Itulah mengapa aku butuh buku-buku itu di dalam kubur.”
Saat aku mendengar cerita itu diulang, aku cuma menggeleng-geleng sambil tertawa. Aku kira, aku akan bersepakat dengan semua orang di sini, bahwa itu hanyalah ungkapan frustrasi dari seorang penulis tua yang satu dekade lagi akan berusia seabad penuh. Penulis gaek yang tak lagi laku. Tulisannya dianggap telah kedaluwarsa. Tak lagi tampil di media-media ternama. Alih-alih menawarkan kesegaran dan kebaruan, tulisannya malah dinilai sudah kuno. Padahal dulunya Mustafa merupakan penulis hebat pada masanya. Dulu dia memakai nama pena Tuan T. Tentu saja orang kampung ini tak akan tahu. Dulu, naskahnya pernah memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Satu buku lainnya yang terbit, pernah pula masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa. Dua ajang yang dianggap prestisius dalam jagat kesusastraan tanah air.
Namun aku mafhum, ketika semua orang cuma menanggapi omongan Mustafa dengan ejekan. Menjadikan itu sebagai lelucon dan hiburan di warung kopi, disela hempasan batu domino yang berdengkang-dengkang. Bahkan setelah kematiannya pun, lelucon itu masih sering diulang-ulang.
“Mungkin dia mengira malaikat itu bisa disogok dengan buku.”
“Jangan-jangan malaikat yang menanyai Mustafa di liang kubur juga seorang penulis.”
Begitulah, tawa-tawa pun berderai. Mereka tak ambil pusing dengan permintaan tak masuk akal Mustafa. Itu hanya akan menambah beban. Hidup, bagi mereka sudah merupakan kumpulan kesialan, tak perlu lagi ditambah-tambah.
“Sejak permintaan itu, keanehan dan Mustafa semacam sulit dipisahkan,” seorang bapak berkopiah hitam mengatakan begitu padaku di warung itu. “taruhlah jari telunjuk ini kita ibaratkan sebagai Mustafa, lalu jari tengah ini kita anggap sebagai keanehan,” ujarnya sambil mengangkat dua jari yang ia sebutkan, dan menurunkan tiga jari lain yang tak disebut pada tangan kanannya. “Begitulah kedekatan keduanya.”
Aku mengangguk, menyetujui perumpamaannya.
Di warung itu pula aku tahu apa yang terjadi pada hari kematian Mustafa. Aku mendengarnya antara percaya dan heran.
“Disaat nafasnya tinggal sisa-sisa, bukannya malah menuruti kalimat syahadat dari seorang ustaz di sampingnya, Mustafa justru terbata-bata mengucapkan permintaan aneh itu. ‘sertakan buku-buku itu dalam kuburku’.” Begitu awalan ceritanya.
Maka perdebatan pun mulai bergulir, menggelinding dan meruncing tiap menit yang terlewat. Matahari telah meninggi, namun kata sepakat belum tercapai. Suara dari orang kampung jadi terbelah. Ada yang setuju dengan permintaan aneh Mustafa, ada pula yang mengharamkan.
“Jika telah mati anak Adam, maka putuslah amalannya, kecuali tiga perkara. Tak ada dari tiga perkara itu yang menyatakan buku harus dibawa mati ke dalam kubur.” Kelompok yang tidak setuju langsung berfatwa. Lebih lanjut mereka menjelaskan, bahwa tak berhak seorang muslim membawa harta apa pun ke dalam kubur selain kain kafan.
“Ini bukan masalah amalan. Ini perihal permintaan mayat. Katakanlah semacam wasiat, bagaimana mungkin kita mengabaikannya begitu saja. Lagi pula kita juga harus menghargai Pak Mustafa sebagai seorang manusia,” jawab orang-orang yang bersetuju.
Persoalan makin susah, karena Mustafa pada intinya tak punya keluarga dekat di kampung ini. Cuma ada beberapa orang dari keluarga istrinya yang telah lama meninggal. Keluarganya sendiri jangan ditanya. Bahkan tak ada yang tahu dari mana Mustafa itu berasal. Padahal seyogianya, suara dari keluargalah yang paling menentukan dalam kondisi begini.
Pada akhirnya, setelah debat yang berbelit-belit itu tak berkesudahan dan membuahkan hasil. Beberapa orang yang dianggap memiliki kedekatan dengan Mustafa mengambil kesimpulan. Dan entah setan mana yang memengaruhi mereka, atau barangkali mereka tidak ingin ribet, suara-suara itu sepakat akan menyertakan buku-buku itu di dalam kubur. “Buku-buku ini semasa hidup bagaikan nyawa kedua bagi Mustafa.”
Bisik-bisik pun kembali berdengung. Keesokannya paginya lebih berisik, setelah kemunculan mimpi itu. Berikut kuceritakan padamu.
***
Suara menyeramkan langsung membangunkan Mustafa dari tidur yang serasa sangat panjang. Suara itu keras dan menakutkan, mengagetkan dan membikin Mustafa tergagap-gagap. Apalagi setelah dilihatnya dua sosok asing dengan keseraman yang paripurna telah berada di hadapannya. Yang satu memiliki gigi taring hitam yang besar, satu lagi memiliki ciri khas lidah panjang yang menjijikkan.
“Sudah siapkah kau berumah di neraka, Pak Tua?” si Gigi Taring langsung menyapa.
Suaranya menggelegar. Mustafa yang masih gelagapan berusaha menenangkan diri. Dipandanginya sekeliling, tak ada cahaya sama sekali. Gelap di mana-mana. Namun anehnya, penampakan dua makhluk asing itu amat jelas.
“Hai, Pak Tua, apa kau sudah siap berangkat ke neraka?” kali ini si Lidah Panjang yang mengulang pertanyaan rekannya barusan.
Pertanyaan lain susul-menyusul, yang kebanyakan tak Mustafa ketahui apa maksudnya. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Mustafa perlahan-lahan baru menyadari. Tentu saja yang pertama melintas dalam pikirannya kedua makhluk ini pastilah malaikat Munkar dan Nakir. Perlahan dia pun ingat, dalam tidurnya sebelum kedua makhluk ini membangunkannya, ia pun merasa ada yang membisikkan di telinganya sederet pertanyaan. Tapi pertanyaan itu tidak sama.
Mustafa mencoba meraba-raba apa yang ada di sekelilingnya. Kebanyakan cuma hampa. Tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan benar-benar telah merasukinya. Sebelum akhirnya tangannya mengenai tumpukan buku yang berserakan. Sepersekian detik ia ingat, Itulah buku-buku yang dimintanya untuk dimasukkan dalam kubur. Seketika, buku itu memberi energi kepadanya. Keberaniannya sedikit-sedikit mulai muncul.
“Tunggu, apa kalian berdua malaikat Munkar dan Nakir yang diutus Tuhan untuk menanyaiku?” Dengan hati-hati Mustafa bertanya.
Jawaban kedua makhluk diawali tawa, “Kami berdua ditugaskan menyeretmu ke alam neraka.”
“Oh, tidak bisa. Setahuku bukan begitu prosedurnya. Seharusnya yang menanyaiku adalah dua malaikat, bukan makhluk menjijikkan macam kalian.” Entah keberanian dari mana, Mustafa mulai menyanggah.
Kedua makhluk itu saling berpandangan, lalu menatap Mustafa dengan nyalang. Sementara Mustafa malah kian menunjukkan keberanian meladeni kedua makhluk asing itu.
“Tak tahukah kalian, bahwa aku ini seorang penulis?” Mustafa memamerkan buku-buku di sekelilingnya. “Oh, aku tahu, pasti Tuhan lupa memberi tahu kalian. Atau kalian terlalu bebal untuk mengetahuinya? Dulu, tulisanku menyebar ke mana-mana. Jadi sudah sepatutnya pernah kalian baca, kecuali kalian makhluk tak beradab yang tak peduli dengan buku-buku.”.
Kedua makhluk itu kian terpancing untuk mengirimkan Mustafa secepatnya ke neraka. Sejenak mereka kelihatan berbisik. “Apa saja yang telah kau tulis sehingga merasa sangat pede bisa menantang kami?”
“Aku ini seorang sastrawan, kalian harus tahu itu. Aku menulis cerpen dan novel, juga sedikit puisi.”
“Haha.. Hahahaha…” Kedua makhluk itu tertawa berbarengan.
“Kenapa kalian tertawa, kalian meremehkanku?”
“Ternyata kau cuman penulis fiksi. Penulis yang menjajakan kebohongan lalu menjualnya. Wajar saja lagakmu sok macam orang hebat.” Tawa kedua makhluk itu belum sepenuhnya reda. Dan itu memuakkan bagi Mustafa.
“Hei! Jangan salah. Sastra itu mulia. Itu perlambang perlawanan. Aku tahu, makhluk bebal seperti kalian ini tak akan pernah paham. Seumur hidup, barangkali kalian cuma sibuk membangkang kepada Tuhan sehingga lupa baca buku. Aku harap dapat menemui Tuhan dan menyarankan kepada-Nya untuk mendirikan pustaka bagi kalian.”
Kembali tawa-tawa renyah dari makhluk itu. Mustafa pun kini kian panas hatinya.
“Bukannya sastra itu isinya hanya kisah cinta belaka? Drama-drama cengeng? Cerita pilu yang dianggap inspirasi? Atau… Apa lagi? Tak ada faedahnya. Pantas saja otakmu tak ada isinya. Amalanmu semasa di dunia kosong semua, sebab terlalu sibuk membaca fiksi.”
“Sudah berapa banyak buku sastra yang kalian baca, hah?! Aku yakin belum sebiji pun. Bagaimana pula kalian bisa mengklaim demikian?”
Kedua makhluk itu kembali mengejek.
“Aku beri tahu ke kalian. Kebetulan aku saat ini membawa lumayan banyak buku. Kalian bacalah, agar kalian tahu seperti apa itu sastra,” ujar Mustafa sambil memilah-milah buku yang tersedia.
“Kau bawa buku sebanyak ini dalam kubur untuk apa?” si Lidah Panjang yang tiba-tiba penasaran melihat buku-buku itu bertanya. Dari puluhan buku itu tampaklah sebuah buku bersampul merah yang menarik minatnya.
“Oh, ini novel,” terang Mustafa menjawab rasa penasaran si Lidah Panjang.
“Novel tentang apa itu?”
“Tentang sebuah kampung yang tak mengenal Tuhan. Di sana Tuhan dijauhi dan berusaha dilupakan.”
“Lalu yang itu?” kali ini giliran makhluk bergigi taring yang bertanya.
“Ini cerita tentang seorang perempuan yang awalnya rajin salat dan beribadah. Namun karena merasa kecewa dengan Tuhan, dia memutuskan diri menjadi pelacur.”
“Yang lain, boleh kau ceritakan?” pintanya lebih lanjut.
Mustafa menarik sebuah buku dari tumpukan, sejenak dia berpikir sebelum menjelaskan, “Kalau ini buku yang menceritakan nabi-nabi di suatu kampung. Uniknya, nabi dalam cerita ini semuanya merupakan perempuan.”
“Haha.. Haha.. Cukup, cukup!” keduanya kembali tertawa, itu tak mengurangi rasa keterkejutannya.. “Tak perlu kau jelaskan lagi satu per satu buku yang kau bawa.”
“Ternyata kau penulis sesat. Orang sepertimu memang layak berada di kerak neraka.”
“Sebaiknya segera hubungi saja malaikat yang asli. Suruh dia mengabari secepatnya malaikat Malik untuk segera membuka gembok neraka agar orang ini bisa dioper ke sana.” Si Gigi Taring bertindak.
“Tidak bisa,” Mustafa protes. “Aku akan mengadukan kalian pada Tuhan. Apa hak kalian mengatur-atur ini semua. Jangan-jangan kalian yang sesungguhnya makhluk sesat, makhluk yang diusir oleh Tuhan. Jika aku masuk neraka tanpa dihisab, itu benar-benar tidak adil.”
“Tidak perlu, urusan orang sepertimu tak perlu Tuhan yang memutuskan. Cukup kami saja.”
Kedua makhluk itu seperti hilang kesabaran, mereka lalu mengeluarkan tongkat sebesar batang kelapa. Mustafa kembali ketakutan.
***
Cuma sampai di situlah mimpi yang diceritakan orang-orang kepadaku. Mungkin kamu bingung dengan mimpi itu. Aku juga. Terlalu banyak ketidakmasukakalan. Anggap sajalah itu semacam halusinasi atau perkara mukjizat. Pada bagian tertentu, aku juga merenung memikirkannya, bahkan aku sempat menjeda cerita itu. Apalagi saat orang-orang mengatakan bahwa Mustafa jadi tenang sesaat setelah bertemu buku-buku itu. Tentu saja amat sulit bagiku mencerna mimpi-mimpi model begini. Namun aku paham, bersama buku-buku Mustafa merasa bisa menaklukkan apa saja. Setidaknya itu yang aku lihat selama aku mengenalinya di dunia, saat ia masih menyebut diri sebagai Tuan T. Dan di dunia lain, rupanya dia pun berprinsip demikian. Maka aku tak lagi heran saat dikatakan ketakutan Mustafa jadi hilang, meski kedua makhluk itu seperti tak sabar menunggu jawabannya.
Begitu pun saat insiden kedua makhluk itu meremehkan sastra. Mustafa memang tak pernah bisa santai jika ada yang meremehkan sastra. Semasa hidup, aku sering kali melihat Mustafa mengumpat dan menyumpahi orang-orang yang dianggapnya sampah dalam dunia sastra. Mustafa amat geram jika sastra dijadikan barang dagangan. Suatu masa, memang banyak keanehan dalam dunia sastra. Ada yang berkoar bisa menulis novel dalam kurun waktu satu jam saja. Keterlaluan sekali memang. Aku bisa menyaksikan, sastrawan macam Mustafa saja butuh waktu bertahun-tahun untuk sekadar riset, belum lagi menuliskannya. Ada pula yang mengaku bisa menulis puisi dengan modal merangkai kata-kata dalam keseharian. Menjijikkan sekali. Bahkan Mustafa pernah melabrak seorang sastrawan senior yang memanfaatkan nama besarnya untuk menipu penulis muda. Terhadap manusia-manusia semacam itu, Mustafa tak akan segan-segan merutukinya. Aku bisa membayangkan, Mustafa pasti menganggap kedua makhluk itu mencari gara-gara dengannya, karena sudah berani menertawakan sastra secara langsung di hadapannya.
Begitulah, kelanjutannya mimpi itu tak lagi jelas, semuanya samar. Ada yang menyatakan bahwa kedua malaikat itu memukulkan tongkat sebesar batang kelapa itu ke kepala Mustafa. Tubuhnya hancur, terbenam. Sesaat kemudian, Mustafa kembali muncul, kembali protes. Kedua makhluk itu memukulnya lagi. Tubuhnya hancur, terbenam, dan seterusnya, dan seterusnya….
Versi lain dari kelanjutan mimpi itu, bahwa Mustafa tak lagi muncul-muncul setelah pukulan ke sebelas dua makhluk aneh itu. Ada yang bilang bahwa Mustafa langsung dilemparkan ke neraka saat kemunculan ke dua puluh lima. Bahkan ada pula suara yang mengatakan, bahwa Mustafa sempat melawan dan menantang keduanya.
Entahlah, aku tak sanggup membayangkan. Seperti kalian, tentu aku juga boleh percaya atau tidak dengan cerita ini. Aku menuliskannya bukan hendak mencari kebenaran, aku merasa itu perlu disebarkan pada banyak orang, sekaligus sebagai penghiburan dan kenang-kenangan terakhir tentang Mustafa.
Aku telah menghabiskan banyak hari untuk mencari Mustafa, memutar jalanan untuk sekadar menanyai jejaknya. Walau ada rasa kecewa, namun aku merasa telah berusaha sebaik-baiknya. Jika boleh, tentu aku ingin bertemu dengannya dalam keadaan sehat walafiat. Berkisah banyak hal tentang sastra sebagaimana kebiasaan kami pada taman kota dulu, ketika dia mengenakan diri sebagai Tuan T.
Tuan T yang misterius. Bahkan sampai kematiannya pun tetap sukar ditakar.***