Hidup yang Terlalu Biasa

PERNAHKAH kalian merasa bosan melihat matahari yang terbit setiap pagi? Atau muak dengan aroma teh yang menguar, aroma roti cokelat di panggangan, atau aroma nasi goreng yang sedang diaduk di atas wajan? Mungkin hanya aku sendiri yang benci dengan semua kegiatan pagi hari. Kegiatan yang lazim dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga, seperti aku.

Jika ada yang bertanya bagaimana hidupku, maka aku akan menjawab hidupku terlalu biasa. Aku seorang ibu rumah tangga biasa. Suamiku adalah pegawai biasa. Anak-anakku pun adalah anak biasa. Tidak ada yang istimewa dalam keluarga kami.

Akhir-akhir ini aku jenuh sekali dengan rutinitas harian yang aku lakukan. Mungkin kalian pun akan bosan membaca cerita ini, tapi baiklah, aku ceritakan saja. Setiap hari aku bangun pukul lima pagi. Setelah ibadah subuh, aku akan memasak sarapan, menyeduh air panas dengan teh dan gula, membuat secangkir kopi hitam, serta menyiapkan dua cangkir susu cokelat. Lalu aku, suamiku, dan kedua anakku duduk mengelilingi meja makan. Kami akan menghabiskan apa saja yang terhidang di atas meja, sambil sesekali mengobrol menceritakan kegiatan masing-masing. Namun, aku biasanya mendengar saja. Tak ada hal menarik yang bisa aku ceritakan kepada mereka. Mereka juga tidak pernah memberi kesempatan untukku bicara.  

Setelah mereka berangkat, aku sibuk berjibaku dengan kebersihan rumah, lalu aku kembali masuk ke dapur untuk menyiapkan hidangan makan siang dan malam. Setelah semua beres, aku akan melakukan pekerjaan lain yang tidak harus dilakukan setiap hari, misalnya menyetrika, mengelap kaca, atau membersihkan lemari pakaian. Menjelang sore anak-anak pulang. Mereka akan berlari memelukku, mencium pipiku, dan bertanya aku masak apa hari ini. Dan seperti biasa juga, aku menyambut mereka dengan wajah riang gembira, membalas pelukan dan ciuman mereka, kemudian menyuruh mereka mandi. Hal yang sama akan terulang saat suamiku pulang. Dia akan memelukku, menciumiku, dan bertanya menu makanan hari ini.

Hidupku berputar di lingkaran yang itu-itu saja. Rumah, anak, dan suami. Rasanya setiap bangun pagi, aku ingin lari jauh-jauh. Menjauh dari aroma-aroma yang memuakkan itu.

Namun bagi seorang ibu rumah tangga yang dituntut untuk menyiapkan semua kebutuhan keluarga, lari itu bukan perkara mudah. Aku tak memiliki kesempatan untuk pergi. Berbulan-bulan, bertahun-tahun, hidupku masih berputar di lingkaran yang sama. Ingin rasanya aku berkata jujur pada lelaki yang telah sepuluh tahun menikahiku itu, bagaimana muaknya aku terkurung di dalam rumah. Lebih gila lagi, aku seolah kehilangan identitas diri, sebab sering kali otakku yang kacau ini menganggap diriku adalah pembantu, bukan seorang ibu.

Media sosial membuatku lebih frustrasi karena di sana aku dapat melihat pencapaian teman-teman masa lalu. Aku ingat, Fika yang semasa sekolah tidak pernah juara, tidak populer, dan tidak pernah memenangkan prestasi apa-apa, sekarang memegang jabatan tinggi di BUMN. Adi, cowok culun berbadan subur dengan wajah penuh jerawat, sekarang sukses menjadi dokter spesialis kulit terkenal di kota ini. Oh, dan jangan lupakan Hani, teman sebangkuku waktu SMA. Dulu dia selalu menyontek saat ulangan, ujian, bahkan tugas harian pun dia tergantung padaku. Sekarang Hani telah menjadi dekan di universitas swasta terbaik di provinsi.

Bagaimana aku tidak semakin membenci hidupku sekarang? Aku yang berprestasi, selalu juara, dan lulus cum laude saat kuliah dulu, sekarang tenggelam dalam hidup yang terlalu biasa. Tidak ada karier gemilang, tidak ada pekerjaan yang mapan.

Waktu bergulir terlalu cepat. Pagi ke siang, siang ke malam. Dan tiba-tiba saja anak-anakku telah tumbuh remaja. Pekerjaan suami pun semakin baik. Hidup kami mungkin berjalan ke depan kecuali hidupku tentu saja. Anak-anak yang mulai menapaki bangku kuliah sedang berjuang mengejar cita-cita mereka, suamiku semakin sibuk dengan pekerjaannya. Hanya aku di rumah ini yang tidak melakukan apa-apa sepanjang hari. Aku tidak mengerjakan hal-hal selain keperluan rumah tangga. Aku tidak bersosialisasi dengan tetangga, aku tidak menghadiri reuni, aku juga menutup semua media sosial yang kumiliki.

Sepanjang hari aku duduk di depan cermin, menatap wajahku yang tampak semakin tua. Entah ke mana diriku yang dulu menjadi idaman banyak lelaki. Yang tersisa hanya tumbuh tua ringkih dengan sorot mata putus asa.

Mungkin lelaki yang berstatus suamiku itu pun sudah muak denganku. Dia masih tampak tampan ketika kecantikanku memudar. Rambutnya masih hitam legam ketika uban memenuhi kepalaku. Dan dia sering kali kecewa karena aku memunggunginya setiap malam. Bukan karena apa, tapi aku memang merasa tak pantas untuk bercumbu dengannya. Aku diam saja saat bujukan-bujukan yang dia lontarkan hanya aku balas dengan gelengan.

Sejak saat itu, suamiku tak pernah mengajakku berbicara. Bagiku tak apa, toh tidak ada hal apa pun yang ingin aku sampaikan padanya. Apa istimewanya dengan hidupku. Hidup yang terlalu biasa, bahkan aku saja bosan menjalaninya.

Akhir-akhir ini aku lihat suamiku yang tampan itu tampak semakin riang. Dia pulang kerja tepat waktu, tetapi dua jam kemudian pergi lagi dengan alasan menjemput tamu ke bandara. Pikirku biarlah, lebih baik dia ada kegiatan di luar rumah daripada membujukku untuk melakukan itu. Aku tidak mampu harus menunjukkan keburukan-keburukan di seluruh tubuhku kepadanya. Dia selalu pulang tengah malam, kadang tidak pulang sama sekali. Alasannya masih sama, menemani tamu perusahaan. Pikirku memang begitu kalau seseorang sudah menduduki jabatan yang tinggi di perusahaan.

Anak-anakku malah terlihat lebih risau menghadapi perubahan sikap ayah mereka. Si Sulung sering memengaruhiku untuk mencari ayahnya, si Bungsu pun sama, dia mengadu bahwa sempat melihat ayahnya memasuki sebuah hotel berbintang di pusat kota bersama seorang perempuan. Meskipun aku sudah meyakinkan bahwa itu bagian dari pekerjaan, mereka tetap bersikeras.

Namun lama-lama mereka bosan juga bicara denganku. Mungkin karena aku lebih banyak menghabiskan waktu di depan cermin. Menghitung kerutan yang setiap hari bertambah. Atau membuka-buka ijazah dan semua sertifikat prestasiku. Sesekali aku membuka seluruh pakaian dan berkaca lalu merasa jijik dengan tubuhku sendiri.

Sekarang anak-anak malah terlihat lebih mencemaskanku, bukan lagi memikirkan ayah mereka. Padahal apa yang perlu dicemaskan? Aku menghabiskan waktu di rumah sepanjang hari, memenuhi kebutuhan mereka, mendengarkan cerita mereka—walaupun akhir-akhir ini aku kurang fokus mendengarkan, malah sibuk dengan bisikan di telinga yang sering terdengar—tentang kampus dan prestasi yang mereka dapatkan.

Suatu hari, ketika isi kepalaku berisik membisikkan betapa buruknya wajah dan tubuhku, suamiku membuka pintu kamar keras-keras. Dia tampak terkejut melihatku berdiri di depan cermin tanpa menggunakan sehelai benang pun di tubuh. Lelaki itu terdiam di depanku, menatapku dengan mata terbelalak, tapi kemudian dia bergegas masuk ke kamar seolah aku ini tak ada di depannya.

Ternyata dia hanya mengambil koper besar di atas lemari, lalu mengisinya dengan pakaian. Semua pakaian miliknya di lemari berpindah ke koper itu. Aku mengejarnya dan bertanya dia hendak ke mana. Tak ada jawaban. Aku hanya melihat perempuan muda dengan perut besar duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

Aku yang masih telanjang hanya bisa diam menatap kepergian mereka. Sempat aku lihat perempuan itu menatapku dengan senyum sinis. Ah, lagi-lagi telingaku berdenging mendengar bisikan-bisikan.

***

Sekarang hidupku jauh lebih menyenangkan. Tidak ada lagi hidup yang terlalu biasa. Tidak ada lagi kegiatan harian yang membosankan. Tidak ada lagi aroma susu, roti bakar, atau nasi goreng.

Di rumah baruku, aku bangun dengan bersantai-santai. Lalu pergi senam dengan teman-teman yang menyenangkan. Setelah itu aku sarapan tanpa harus repot-repot memasaknya. Yang lebih menyenangkan, setelah semua kegiatan itu selesai aku akan dikunjungi oleh lelaki tampan berbaju putih yang suka mengajakku berbicara. Dia akan menanyakan tentang menu sarapanku, perasaanku, bahkan dia juga memastikan aku meminum semua obat yang disediakan adik-adik berseragam putih yang datang ke kamarku tiga kali sehari. Perhatian sekali, kan? Di sini aku tidak perlu bersusah payah mendengarkan, aku yang didengarkan. Bukankah itu menyenangkan? Yang paling penting, di sini tidak ada yang melarangku berkaca sepanjang hari. Meskipun adik-adik berseragam putih itu melarangku membuka pakaian, tapi sesekali aku bisa juga melakukannya. Percayalah, hidup di sini menjadikan hidupku tidak lagi biasa.

Padang, September 2022




Bagikan:

Penulis →

Rinanda Tesniana

Perempuan kelahiran Pekanbaru yang suka membaca dan jalan-jalan. Gemar menulis sejak kecil, dan sekarang bergabung di Kelas Menulis Loker Kata. Sudah menerbitkan empat novel solo dan beberapa antalogi. Baginya, menulis adalah koping stres paling ampuh, sekaligus menjadi jembatan yang mendamaikan harapan dan kenyataan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *