KABUT tipis melayang-layang sepanjang perjalanan kami melewati Wonosobo. Kendaraan kami terpaksa melaju dengan pelan dan berhati-hati. Bukan karena kabut-kabut itu menutupi pandangan, melainkan rute perjalanan yang menanjak, serta jalanan yang berkelok-kelok.
Dari kaca spion tengah, wajah Elisa tampak murung. Ada sesuatu hal yang membuat wajah cerianya padam. Dari keempat orang di dalam mobil, hanya saya dan Elisa yang masih terjaga. Dua di antara tertidur di kursi tengah.
Sementara itu, saya harus berhati-hati dengan tikungan-tikungan maut di sepanjang perjalanan. Kami tidak tahu, kami berada di kecamatan apa, yang jelas, kami masih memasuki wilayah Wonosobo. Jalan yang kami lalui saat berangkat dan pulang tidak sama. Saat pulang, kami melewat Wonosobo. Saat berangkat lewat Magelang. Menurut saya jika melalui rute Wonosobo akan lebih bisa memangkas waktu untuk sampai ke Jogja.
Senyum Elisa seperti sedang tersembunyi. Meskipun, banyak hal yang bisa dia lihat di sepanjang perjalanan. Pemandangan begitu luar biasa indahnya. Gunung Prau tampak begitu besar, dikelilingi oleh kabut-kabut. Dari kejauhan, tampak sebuah pemukiman seperti negeri di atas awan.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi oleh berbagai keindahan alam, ada kebun teh yang luas, ada pula kebun cabai, kebun kol dan masih banyak lagi. Ditambah dengan deretan pohon-pohon cemara yang membuat suasana tampak sejuk dan memberikan ketenangan psikis.
Dari keindahan alam yang kami lewati, ada sebuah kegetiran yang tampak dari raut wajah Elisa. Ada makna di balik matanya yang menggenang membuat raut wajah yang cantik menjadi sayu. Dan hal itu menjadi pertanyaan. Sorotan matanya menembus kaca mobil dengan tatapan kosong, seperti ada kekesalan, kekecewaan yang tertahan.
Saya bisa menebaknya, mengapa Elisa tampak begitu murung. Seolah-olah wajahnya dipenuhi mendung hitam yang sewaktu-waktu bisa hujan.
Sembari menebak, saya tetap fokus menyetir. Beberapa penduduk memakai jaket tebal dan kupluk kepala. Apakah begitu dinginnya kawasan ini? Pikir saya. Rumah-rumah penduduk terletak di lereng-lereng gunung. Ada sebuah masjid yang terlihat samar-samar karena tertutup kabut. Di sudut menaranya sayup-sayup ada suara azan berkumandang.
Ini kali pertama, saya ke Wonosobo, meskipun hanya lewat. Menakjubkan. Udaranya masih sangat segar. Bangunan-bangunan berdiri di atas bukit. Kami datang ke Pemalang dalam rangka menghadiri resepsi pernikahan Rustam, teman kami.
Kami akan menuju Jogja terlebih dahulu untuk mengantarkan kedua teman kami, Fahruddin dan Husni. Setelah itu, saya akan menuju kota Ngawi untuk mengantarkan Elisa pulang, setelah itu, saya akan langsung pulang menuju kota Bojonegoro. Separuh dari kehidupan manusia dihabiskan untuk perjalanan, mengarungi berbagai peristiwa dan cerita.
Saya baru tersadar, kemurungan Elisa pasti ada hubungannya dengan pernikahan Rustam, seorang laki-laki yang diam-diam dicintainya.
Tiba-tiba dia menitikkan air mata. Pipinya tampak basah, kemudian merembes ke kerudung yang dipakainya. Kemudian gadis itu menyeka air mata itu dengan telapak tangannya, sebelum saya menyodorkan tisu. Suara deru mesin mobil dan angin terdengar berbenturan membentuk sebuah desau.
Saya melihat air matanya diseka, air mata patah hati yang sedang dihapusnya perlahan, meskipun tak mungkin dalam sekejap luka itu seketika akan sembuh.
Saya tidak bertanya mengapa dia menangis. Saya hanya diam berusaha untuk melakukan sesuatu sebagai seorang laki-laki. Kemudian dia mengambil beberapa helai tisu untuk diusapkan ke matanya yang dipenuhi oleh genangan cairan kesedihan itu.
Saya menoleh, menatapnya. Tatapannya bersambut dengan tatapan saya. Melihatnya menangis, saya hanya bisa menghela nafas panjang. Untuk sesaat, kami membisu di tengah gempuran suara dua teman kami yang sedang mengorok.
“Aku tahu apa yang kau rasakan saat ini,” ucap saya dengan tatapan lurus, melihat kendaraan di depan.
Dia hanya diam. Meskipun ada bekas-bekas air mata yang menempel, tapi pipi kemerah-merahan itu terlihat tetap berbinar, dengan anggun dia batuk kecil tertahan.
Saya menatapnya kembali dan matanya yang lentik itu juga menatap saya. Dan seketika jantung saya berdebar. Matanya mengandung candu. Matanya menciptakan perasaan gelisah. Dan matanya memantulkan cahaya keindahan. Tatapannya membimbing hati dan mulut saya untuk mengucapkan pujian kepada Tuhan yang telah menciptakan makhluk seperti dirinya.
“Aku sudah tahu, selama bertahun-tahun kau mencintai Rustam,” ungkap saya.
“Aku perempuan, tidak mungkin aku mengutarakan perasaan terlebih dahulu. Perempuan ditakdirkan untuk pandai membohongi mulut dan hatinya sendiri dan menyesalinya, di kemudian hari,” ungkapnya.
“Siti Khadijah menyatakan perasaannya terlebih dahulu dan akhirnya ia melamar Nabi. Hal itu menunjukkan tingginya marwah seorang perempuan. Lalu apa salahnya, perempuan menyatakan cintanya terlebih dahulu?” ungkap saya.
“Ah,, sudahlah. Toh, jika aku menyatakan perasaanku kepada Rustam belum tentu dia akan menerima aku.”
“Nah, memang penuh risiko tetapi setidaknya kamu sudah jujur dengan dirimu sendiri.”
Saya terus mengemudikan kendaraan dengan hati-hati, supaya tidak masuk jurang. Kaca pintu saya buka. Hawa dingin menyusup. Pantas saja, para warga menggunakan jaket tebal untuk melindungi tubuh mereka dari dingin.
Elisa membuang pandangannya ke sebuah kaca, melihat hamparan kebun teh dan kebun kol. Namun, wajahnya tetap pada semula, sendu dan tidak banyak berbicara.
Selama bertahun-tahun, hati Elisa sudah terpaut dengan Rustam, tepatnya di awal-awal semester. Dia memandang Rustam sebagai seorang pemuda yang baik, cerdas dan mampu memimpin. Tentu saja, sebagai seorang pimpinan organisasi, aura maskulinnya terpancar. Hal inilah yang dicari seorang perempuan. Terlebih dari itu, dia pun menyadari bahwa Rustam tidak hanya tampan, namun juga pemuda saleh yang selalu menjaga salatnya, seorang penghafal Al-Qur’an dan lulusan terbaik S2 di Yaman.
Alih-alih tidak mau pacaran, malah banyak gadis yang suka dengannya. Baginya, itu adalah cobaan, dan bagi saya, itu adalah sebuah impian.
Akhirnya, Rustam menikah dengan putri dari seorang kiai, cantik dan solehah, tentunya seorang gadis alim, berakhlak baik, bernasab baik.
Tidak sedikit, teman-temannya merasa iri dengannya. Orang-orang bilang, Rustam sangat beruntung jadi menantu kiai. Dan saya pikir, seorang kiai tidak mungkin asal milih calon menantu. Melihat track record Rustam, saya pikir itu setimpal. Walau bagaimanapun jodoh itu akan memilih takdirnya sendiri. Jika orang baik, maka akan mendapat jodoh yang baik pula.
Sebagaimana seorang pria melihat seorang gadis menangis, tidak mungkin saya tidak melakukan sesuatu. Saya berpikir, ini adalah kesempatan. Dan saya tidak mungkin melakukan kebodohan, semisal saya mengatakan, “Masih banyak laki-laki lain yang suka denganmu, termasuk aku.”
“Tenang. Jodoh, rezeki, ajal sudah ada yang mengatur,” ucap saya, meskipun belum tahu persis penyebab Elisa menangis.
“Memang menurutmu siapa yang mengatur? Bukankah kamu tidak kenal Tuhan?” jawab Elisa.
Untuk beberapa saat, saya gelagapan untuk menjawabnya.
“Saya baru mengenal Tuhan kembali setelah saya menyaksikan pancaran Tuhan di mata kamu,” ucap saya.
“Tentu aku tidak langsung percaya dengan mulut penyair.”
“Mengapa tidak?”
Kemudian dia mengalihkan pandangannya sekilas di sebuah saluran irigasi di seberang jembatan. Matanya jauh menerawang dan dia menemukan kebun cabai dan tomat yang siap panen.
Semenjak bapak dan ibu meninggal, akibat kecelakaan, saya merasa marah dengan Tuhan, karena kebahagiaan saya direnggut. Akibatnya, selama bertahun-tahun saya tidak pernah sembahyang dan selama itu saya sudah jauh dari-Nya. Sejak itulah saya tidak tahu arah dan menyatakan bahwa saya tidak mengenal Tuhan.
Selama bertahun-tahun saya menjalani hidup dengan kegelapan, kehampaan. Tidak ada lagi tumpuan untuk memohon. Saya merasa tidak ada lagi harapan. Yang saya tahu, selagi masih hidup di dunia ini, saya harus bahagia. Namun tidak ada kebahagiaan tanpa bertuhan.
Entah mengapa, saat ini saya menemukan Tuhan kembali setelah Elisa patah hati.
“Bolehkah aku menjadi pengganti Rustam di hatimu?”
Dia hanya terdiam, dan tersenyum kecut. Barangkali dia menganggap itu hanyalah gurauan. Tetapi sejatinya, saya sudah tidak mau lagi menjalani hidup dengan kesemuan. Barangkali, setelah menemukan pendamping hidup, hidup saya akan lebih tenang dan hidup saya akan menjadi baik
“Bagaimana?” ucap saya untuk penegasan.
“Bagaimana apanya?”
“Menjadi istriku!”
Dia menelan ludah, memalingkan pandangannya ke spion samping, melihat kendaraan di belakang.
“Kita sudah dewasa dan sudah lelah dengan pengalaman cinta yang semu. Jika berkenan, bolehkah aku bertemu dengan orang tuamu?” sambung saya.
“Serius?”
Saya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Baiklah,” ucapnya bernada pasrah.
Ada angin puting beliung di dada kami. Ada ludah tersangkut di tenggorokan kami. Ingin sekali ucapan itu kembali terucap dari mulutnya. Sementara itu, hari sudah mulai sore. Udara semakin dingin. Awan pun semakin buram. Kemungkinan sampai ke Prambanan menjelang magrib.
2 Responses
Seharusnya masih ada lanjutannya
– Alur cerita yang keren. Tulisan yang rapi.
– Si saya mengetahui dengan jelas semua detail pemandangan di sepanjang perjalanan, padahal si saya sedang fokus menyetir di jalanan mendaki.
– Pada paragraf ke 2, Elisa terlihat di kaca spion tengah. Artinya Elisa suduk di belakang. Sedangka di paragraf 6 dari bawah, Elisa sepertinya duduk di samping sopir.