Saran Memelihara Kucing

SUDAH tiga kali bel apartemenku berbunyi. Memuakkan! Maksudku, ini hari Senin dan kuharap aku bisa menjalani awal pekan yang begitu tenang; artinya, tanpa perlu bertemu orang lain. Bel pertama dibunyikan oleh Pam(ela) (dia mengirimiku beberapa kue, dia telah membuatnya sejak pagi-pagi sekali dan berpikir bahwa aku harus mencicipnya) dan yang kedua oleh kurir (aku memesan beberapa buku untuk dibaca-baca, buku-buku kuno dalam edisi baru yang belum sempat kubaca ketika masih berusia belasan tahun). Sekarang, bel yang ketiga dibunyikan oleh seorang perempuan beratasan dan berbawahan dan bersepatu high heels berwarna biru. Serba biru. Kurasa Senin adalah hari biru di kantornya. Jika dia mewarnai rambutnya dan memiliki bola mata, atau setidaknya menggunakan lensa kontak, berwarna biru, kurasa semuanya akan sempurna. Dia membawa sebuah tas kertas cokelat yang berisi hasil cetakan dan brosur dan entah apalagi. Perempuan ini adalah satu jenis orang yang paling tidak kusukai sepanjang hidupku: agen asuransi—aku begitu yakin bahwa dia adalah orang semacam itu. Maksudku, tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan ini, ayolah, tinggalkan aku sendirian!

Tapi perempuan ini cantik atau setidaknya manis. Ada sesuatu dari dirinya yang membuatku berpikir seperti itu, meskipun aku tidak tahu apa itu. Beberapa orang dengan selera tertentu akan setuju denganku. Dia tidak begitu tinggi, tapi sepatu high heels-nya tampaknya membuat dirinya cukup percaya diri dengan postur tubuhnya. Rambutnya pendek dan dikuncir rapi ke belakang. Begitu aku membuka pintu, dia sudah tersenyum. Kurasa bagian SDM menempatkan perempuan ini pada posisi yang tepat. Orang di bagian itu pasti tahu cara untuk mengeksploitasi aset yang dimiliki oleh perempuan ini.

“Hai, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” kataku dengan penuh semangat. Tentu aku tidak sesemangat itu. Aku sudah merasa frustrasi sejak dua hari belakangan ini karena sakit punggung yang begitu menyiksa, yang membuatku kesulitan untuk banyak bergerak; tapi aku masih bisa menahan rasa sakit itu. Tahun depan pada bulan Juli aku akan berusia tiga puluh tahun. Tapi itu bukan usia bagi seseorang yang akan menderita sakit punggung. Sungguh, semestinya belum waktunya bagiku untuk mengalami sakit punggung.

“Selamat pagi. Saya dari kantor asuransi J ingin menawarkan produk kami kepada Anda.” Dia merogoh tas kertas di gendongannya, kemudian memilah-milah kertas-kertas itu sebelum kemudian menarik keluar satu lembar brosur asuransi, dan menyodorkannya kepadaku dengan kedua tangannya.

Bisa saja aku segera berkata tidak ketika baru saja melihat wajahnya dan masuk ke apartemenku lagi, lalu mengunci pintu, dan pura-pura tuli jika dia menekan-nekan bel lagi. Tapi aku ingin menunjukkan sedikit rasa hormatku kepadanya, kepada mereka yang bekerja keras. Aku menyukai seorang pekerja keras dan mengutuk seorang pemalas. Kurasa, begitulah cara masyarakat memandang individu dan aku adalah bagian dari masyarakat.

Aku menerima brosur itu, kemudian membacanya sekilas. Aku memang belum memiliki satu pun asuransi dan kurasa aku tidak benar-benar membutuhkan hal semacam itu. Beberapa teman lama pernah menganjurkanku untuk memiliki sebuah asuransi. “Jika kau mati nanti,” kata mereka, “anak istrimu akan mendapatkan untung.” Mereka tertawa sementara aku tidak. Jika mereka menganggap hal itu sebagai lelucon, kurasa mereka payah dalam menciptakan lelucon. Aku tidak ingin duduk terlalu lama dengan seseorang yang tidak mahir membuat lelucon. Kurasa mereka perlu belajar, setidaknya, dari Michael Scott di The Office. Mereka perlu menontonnya seluruh musim dari serial itu.

Aku tidak mengerti sama sekali dengan isi brosur itu. Premi, klaim, dan bla-bla-bla. Entahlah. Semuanya masih sama seperti dulu, aku masih belum merasa perlu hal semacam ini. Tapi pegawai asuransi ini manis, aku ingin mengajaknya minum teh atau semacamnya, lalu mengobrol hal lain yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan asuransi sialan ini. Kurasa, dan aku merasa begitu yakin, dia tidak punya pilihan lain selain menerima pekerjaan itu. Jika bisa memilih, aku jamin seratus persen bahwa dia tidak akan pernah mau menjadi agen asuransi dan mengetuk pintu demi pintu hanya untuk mendapatkan lebih banyak penolakan daripada penerimaan.

“Em,” kataku setelah cukup lama memandangi brosur itu, “sebenarnya saya sedikit tertarik.” Tentu aku berbohong akan hal ini. “Apa bisa Anda menjelaskannya dengan lebih rinci dengan santai?”

Dia terlihat kebingungan, mungkin juga waspada. Aku harus meyakinkannya bahwa aku bukan lelaki semacam itu. Aku tidak akan melecehkan seorang perempuan mana pun dan memang tidak pernah melakukannya sampai detik ini dan, kuharap, seterusnya. Aku tidak akan menghancurkan rekor yang mengagumkan ini. Pihak pencatat rekor mestinya mencatat rekor mulia ini dan bukan mencatat rekor omong kosong seperti berjalan beratus-ratus kilometer hanya untuk bertemu dengan presiden atau hal-hal bodoh lain semacam itu. Tidak pernah kudengar seseorang mendapatkan penghargaan atas rekor yang terkait dengan moralitas yang dimilikinya. Masyarakat perlu sedikit membenahi cara berpikir mereka.

“Saya bisa menyajikan teh atau semacamnya. Saya rasa, dengan cara seperti itu, akan lebih mudah bagi Anda untuk menjelaskan keuntungannya jika saya mengambil asuransi yang Anda tawarkan ini. Saya tidak punya maksud lain. Dan, yah, Anda bisa menjelaskannya tanpa tergesa-gesa.”

Dia tersenyum melihat kekikukanku ketika menjelaskan sesuatu yang kuanggap sebagai kesalahpahaman. Namun, pada akhirnya, dia bersedia untuk masuk ke apartemenku. Perempuan itu melepaskan sepatu high heels-nya dan menatanya serapi mungkin.

Apartemenku begitu sempit. Aku sudah menjual sofaku agar tidak ada tamu yang datang ke sini. Oleh sebab itu, kami duduk di dapur. Aku mengeluarkan beberapa minuman kaleng. Melihat dari keringat di sekitar leher dan kening dan jenis sepatu yang dia gunakan, kurasa minuman isotonik lebih cocok daripada teh. Itu akan membantunya mengembalikan cairan tubuhnya yang hilang. Aku juga menyuguhkan beberapa kue yang dikirimkan oleh Pam tadi pagi. Aku tidak akan sanggup menghabiskannya sendiri. Ini terlalu manis, terlalu banyak gula. Aku tidak mau jika sampai terkena diabetes dan menjalani kehidupan dengan mengonsumsi pil setiap hari.

“Saya rasa minuman isotonik lebih cocok untuk saat ini. Anda punya penyakit tertentu sehingga tidak boleh minum minuman semacam ini?”

“Tidak. Tidak ada penyakit sama sekali. Terima kasih.”

“Bagus.”

Kuletakkan minuman kaleng di meja, kemudian aku duduk di depannya. Dia mulai memperkenalkan diri sekali lagi. Namanya cukup indah: Lily. Itu nama yang sama dengan nama ibu Harry Potter yang mampus di tangan you-know-who; kuharap, dia punya nasib yang lebih baik dari tokoh fiksi itu. Lalu dia menjelaskan lebih lanjut tentang asuransi yang ditawarkannya. Jika mendaftarkan diri, aku akan mendapat bla-bla-bla dan bla-bla-bla. Aku tidak benar-benar mendengarkannya. Sudah kukatakan sejak awal bahwa aku tidak tertarik dengan asuransi atau apa pun itu, melainkan hanya tertarik dengan wajah manis yang dia miliki. Lagi pula, aku tidak akan menikah dan memiliki anak. Tidak akan ada yang akan mengklaim asuransiku ketika aku mampus gantung diri atau dengan cara lain nanti. Malah, aku takut bahwa ada seorang bajingan, dan aku tahu bahwa ada satu orang semacam itu di sekitar kehidupanku, yang akan mengakali asuransi itu nanti. Aku tidak mau hal semacam itu terjadi. Aku tidak akan bisa tenang di alam sana jika sampai hal itu terjadi. Aku akan mewariskan seluruh kekayaanku ke panti asuhan. Kurasa, itu terdengar keren.

Telepon genggamku berdering. Itu menghentikan percakapan kami soal asuransi ini.

“Boleh saya mengangkatnya?” tanyaku sambil tersenyum. Aku merasa tidak enak, tapi sesekali aku memang harus mengangkat telepon yang masuk. Aku bukan tipe orang yang bisa mengabaikan telepon.

“Oh, tentu. Mungkin itu sesuatu yang penting.”

“Sebaliknya, saya harap itu bukan sesuatu yang benar-benar penting. Permisi.”

Aku tersenyum kepadanya, dia membalas senyuman itu. Kurasa sebaiknya aku mengurungkan niat untuk tidak menikah dan mencoba peruntunganku dengan agen asuransi ini.

Aku bangkit dan menghampiri tempat telepon genggamku berada. Itu Pam. Astaga. Dia bahkan baru saja di sini tadi pagi. Mengapa dia harus menelepon sekarang?

Aku menerima panggilan itu.

“Halo, Pam,” kataku. Sesekali aku melihat kepada Lily. Dia memegang sepotong kue yang sudah tergigit separuh sementara kepalanya tertunduk pada brosur yang dia coba jelaskan kepadaku tadi. Mungkin dia menganalisis penjelasan yang baru saja dia berikan kepadaku tadi. Dia, tentunya, ingin memastikan segalanya sudah tepat sesuai brosur. “Kau di sana, Pam?”

“Ya. Aku di sini, Leo.” Apa kau percaya bahwa kedua orang tuaku menamaiku Leo karena menyesuaikannya dengan horoskop yang kumiliki? Aku tidak percaya mereka melakukan hal semacam itu. Setidaknya, mereka tidak boleh melakukannya sebelum bertanya kepadaku dan meminta pertimbanganku. Terakhir, aku benci horoskop dan setiap orang yang mempercayai. Maksudku, mengapa seseorang harus menggantungkan kehidupannya pada susunan rasi bintang di kejauhan sana?

“Ada apa?”

“Kucingku terlindas truk.” Dia tidak terdengar sedang bersedih. Dia menggunakan nada datar seperti seseorang yang berkata hai, Leo, siang ini aku makan roti lapis dengan telur.

“Astaga,” kataku, juga tanpa ekspresi.

“Aku telah memakamkannya. Dia terlindas truk ketika aku baru saja pulang dari tempatmu. Itu cukup tragis. Tubuhnya remuk, darah di mana-mana. Aku berduka.”

“Aku turut berduka.”

Aku melirik ke arah agen asuransi itu lagi. Kue di tangannya sudah tandas. Sekarang dia memegang kaleng minuman isotonik. Kepalanya masih tertunduk, menekuri brosur asuransi yang dia tawarkan kepadaku. Mungkin terlalu banyak hal yang membuatnya tidak percaya diri dengan penjelasannya tadi.

“Kurasa, aku akan memilihara kucing lagi.”

“Jangan lakukan itu.”

“Mengapa?”

“Jika kucing itu mati lagi, kau akan meneleponku seperti sekarang. Bisa saja saat itu terjadi nanti aku sedang berada dalam pertemuan penting. Kau tahu maksudku?”

“Kukira kau tidak akan pernah menjadi orang penting sehingga harus menghadiri sebuah pertemuan penting.”

“Dengar, Pam. Semua orang tahu siapa aku. Banyak yang sudah membaca bukuku. Apa kita bisa mengakhiri ini? Jika kau tidak keberatan.” Kukecilkan suaraku, “Sebenarnya, aku sedang menjamu seorang perempuan manis sekarang.”

“Lebih manis dariku?”

“Tentu saja, Pam. Banyak yang lebih manis darimu.”

“Enyahlah.”

Pam mengakhiri sambungan telepon begitu saja. Untuk sejenak, aku memandangi layar telepon genggamku, mengangkat bahu, dan meletakkan benda itu ke tempatnya semula. Aku kembali kepada Lily. Kuharap, dia tidak bosan menunggu. Dia mengangkat mukanya ketika aku duduk kembali di depannya.

“Maaf, gangguan kecil.”

“Tidak apa-apa. Bersyukurlah ketika masih ada orang yang bersedia menelepon Anda.”

“Tentu, saya bersyukur.”

“Sesuatu yang penting? Ah, maaf. Kebiasan buruk.”

“Oh, jangan minta maaf. Aku senang Anda bertanya. Dia mantan pacar saya. Kini, dia bertunangan dengan sahabat baik saya.”

“Hei, saya minta maaf karena mendengarnya.”

“Tidak. Tidak perlu. Saya baik-baik saja. Saya sudah belajar menerima segala peristiwa yang terjadi dalam hidup ini, termasuk sakit punggung yang telah saya derita selama dua hari ini. Sekarang, saya orangnya bisa tahan.”

“Apa yang kalian bicarakan?”

“Kucing. Kucingnya mati lagi, secara mengenaskan lagi. Anda tahu, ini kucing Pam yang keempat. Semua kucing yang dia pelihara selalu mati secara tragis. Saya rasa dia tidak cocok untuk memelihara kucing. Saya menyarankan itu kepadanya. Jika dia masih ngotot untuk memelihara kucing lagi, saya rasa jumlah populasi kucing di kota ini akan berkurang drastis. Omong-omong, Anda suka kucing? Maksud saya, semua perempuan yang saya kenal menyukai dan sebagian besar dari mereka memelihara kucing.”

“Ya. Saya suka kucing. Saya punya satu di apartemen. Dia berwarna hitam. Saya mengurungnya di kandang ketika pergi bekerja. Dia membantu saya mengatasi hari-hari melelahkan yang saya alami selama menjadi agen asuransi. Anda tahu? Itu benar-benar membantu: bulunya yang lembut dan sebuah getaran yang berada tepat di perutnya.”

Semua orang, setidaknya semua orang yang pernah kutemui dan yang memelihara kucing, selalu berkata bahwa hewan berbulu, berkaki empat, bertaring, berkumis, dan sebagainya itu mampu membantu manusia menghadapi masalah dalam kehidupan ini. Meskipun kalimat yang mereka gunakan berbeda-beda, tapi maksud kalimat itu tetap sama. Aku bisa menerka bahwa Lily akan mulai bertanya kepadaku tentang penilaianku atas binatang bernama kucing ini.

“Anda memeliharanya?”

“Tidak. Saya tidak begitu suka binatang.”

Lily menatap lurus kepadaku, kedua tangannya masih memegang kaleng. Segera kemudian dia mengalihkan pandangannya dan meminum isi kaleng itu. Lalu dia meletakkan kaleng itu di atas meja. Suara benturan antara bagian bawah kaleng dan permukaan meja cukup keras dan itu membuatku memerhatikan perempuan di hadapanku ini. Kurasa, dia meminta sebuah atensi dariku; biasanya seseorang akan berdehem untuk hal ini.

“Jujur saja,” katanya kemudian, “aku tahu bahwa kau tidak akan membeli asuransi yang kutawarkan.”

Perubahan atas kata ganti yang dia gunakan membuatku terkejut, tapi aku merasa lebih nyaman menggunakan kata ganti semacam itu.

“Benar.” Tidak ada gunanya untuk berkilah. Sejak awal dia pasti sudah menyadarinya, tapi aku tidak tahu mengapa dia mau berlama-lama di apartemen sempit ini dan menjelaskan panjang lebar soal asuransi kepadaku.

“Aku tidak kesal kepadamu. Jangan salah paham.”

“Baik.”

“Hei, kurasa aku akan mengajukan pengunduran diri besok. Pekerjaan ini menyebalkan. Aku akan mencari pekerjaan lain saja, pekerjaan yang sedikit lebih manusiawi.”

“Semua pekerjaan menyebalkan.”

“Kau tidak bekerja?”

“Aku menulis buku.”

“Apa itu benar-benar sebuah pekerjaan?”

“Kurasa. Setidaknya aku hidup dengan cara ini.”

“Apa kau pernah mengalami stres ketika menulis buku?”

“Seingatku, berulang kali. Terutama di masa-masa awal ketika tulisan-tulisanku terus ditolak. Aku pernah mencoba untuk bunuh diri dengan menggantung leherku sebelum ibuku memergokiku dan memarahiku habis-habisan. Sejak saat itu, aku tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku lagi.”

“Mungkin kau perlu coba untuk memelihara seekor kucing. Stres bisa datang kapan saja, bahkan ketika kau sudah berhasil sekali pun. Cobalah untuk memelihara seekor.”

“Akan kupertimbangkan.”

Lalu dia mulai berkeluh kesah, aku senang mendengar keluh kesah orang lain. Aku berharap bisa memberi mereka semacam masukan, meskipun aku tidak yakin apakah masukan itu bakal cocok atau tidak.

Pada intinya, Lily merasa frustrasi dengan pekerjaannya. Sebelumnya, dia cukup mudah untuk menjual asuransi. Tapi kian hari kian sulit. Sudah hampir sebulan dia tidak menjual satu pun asuransi dan itu berarti masalah untuk perusahaan tempatnya bekerja. Atasannya menegurnya berulang kali, tiap apel pagi. Rekan-rekan kerjanya juga menyindirnya, membanding-bandingkannya dengan seorang pegawai baru yang berhasil menjual setidaknya lima asuransi dalam sehari. Segera anak baru itu menjadi pegawai teladan dan primadona kantor. Atasan memujinya setinggi langit, menjadikannya contoh pegawai teladan sementara Lily menjadi contoh pegawai yang buruk: pemalas dan tidak memiliki dedikasi pada pekerjaan.

“Berkali-kali aku berpikir untuk menuangkan kopiku ke atas komputer milik atasanku ketika dia sedang menggunakannya,” kata Lily sambil melepaskan ikat rambutnya. Rambutnya terurai dan aroma sampo berbau melon masuk ke hidungku.

“Kau akan segera dipecat setelah itu,” kataku sambil tersenyum.

“Itu yang kuharapkan.”

“Kau akan berkeliling lagi hari ini?”

“Kau bercanda?”

Kami tertawa.

Kemudian, Lily bercerita tentang kucingnya. (Mungkin cukup terlambat untuk menghadirkan kucing dalam cerita ini.) Kucing itu berwarna abu-abu, dengan belang hitam tipis dan hampir samar. Kaki depannya lebih pendek daripada kaki belakangnya. Kucing itu, jika berdiri tegap, terlihat seperti sedang menungging.

“Kucingku jarang mengeong,” katanya. “Dia tidak bisu. Dia hanya jarang sekali mengeong. Dia cukup pendiam. Itu mengingatkanku dengan teman semeja ketika masih SMA. Dia anak yang pendiam, kemudian tiba-tiba saja ada berita bahwa dia mati bunuh diri. Apa mungkin dia bereinkarnasi menjadi seekor kucing yang kemudian kupelihara?”

“Siapa tahu?”

“Ketika berada di apartemen, aku membuka pintu kurungannya. Dia sering naik ke tempat tidur dan aku mulai bercerita banyak hal kepadanya seperti: ‘Bos hari ini menepuk pantatku. Aku ingin melaporkannya ke polisi, tapi tidak punya bukti,’ atau ‘Hei, tiba-tiba, ketika sedang mengunjungi sebuah rumah untuk menawarkan asuransi, aku bertemu seorang lelaki yang wajahnya mirip anak itu. Tapi dia sudah mati. Mustahil itu dia. Pasti orang lain.’”

“Kau tidak menganggapku sebagai seekor kucing, bukan?” Karena obrolan menjadi muram, aku coba melemparkan sebuah lelucon ringan.

“Kau tidak mau menjadi seekor kucing?” Lily mencondongkan wajahnya kepadaku.

“Kurasa, menjadi manusia tampak lebih baik daripada menjadi seekor kucing.”

“Tapi bisa saja seekor kucing lebih bahagia dari manusia paling bahagia sekali pun.”

Dia lanjut menceritakan tentang kucingnya. Setiap malam dia tidur dengan kucing itu, memeluknya seperti sebuah boneka, tapi tidak terlalu erat karena khawatir kucing itu kehabisan napas. Dia terdengar benar-benar suka mendekap seekor kucing. Namun, begitu pagi tiba, kucing itu sudah tidak berada di dekapannya lagi. Kadang kucing itu naik ke jendela atau kembali ke kandangnya atau meringkuk di bantal duduk di depan televisi. Lily tidak bisa memungkiri bahwa dirinya benar-benar kesepian, tidak ada seorang pun di dekatnya.

Obrolan kami berlangsung selama kira-kira dua jam. Kami membicarakan banyak hal, juga bertukar nomor telepon.

Lily kemudian meminta izin kepadaku untuk tetap tinggal sampai sore atau setidaknya sampai jam kerja selesai. Aku tidak keberatan. Tempat ini memang sesekali menjadi tempat pelarian bagi para pekerja yang frustrasi dengan pekerjaan mereka. Beberapa orang teman pernah membolos dari kantor untuk datang ke tempatku hanya untuk sekadar duduk, merokok, dan melepaskan penat. Sebagai tuan rumah, aku tidak keberatan menyuguhkan berbagai jenis minuman kepada mereka. Terkadang, mereka membawa camilan sendiri dan berbagi denganku. Mereka berkata kepadaku bahwa apartemenku mampu membuat mereka menjadi diri sendiri. “Ada sesuatu yang magis di tempatmu, Leo.” Kurasa, Lily juga merasakan hal yang sama. Sayangnya, aku tidak bisa membuat Lily mendekap seekor kucing untuk meredakan stresnya karena memang tidak ada kucing di sini.

31 Oktober—3 November 2022

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *