Huruf-huruf Seperti Dadu


Setelah Hujan Reda


adakah sesuatu yang baru di dunia ini? mungkin ada, mungkin juga tidak.

jika ada sesuatu yang baru di dunia ini, adakah yang mencatat dan merekamnya supaya tetap bisa hadir di masa yang akan datang? mungkin ada, mungkin juga tidak.

jika ada yang mencatat atau merekam sesuatu yang baru di dunia ini supaya tetap hadir di masa yang akan datang, adakah lagi yang akan menciptakan sesuatu yang baru di dunia ini? mungkin ada, mungkin juga tidak.

adakah sesuatu yang baru itu adalah lingkaran yang takpernah menemukan ujung dan seolah kembali pada titik semula? mungkin demikian.

seperti tepian cangkir yang kau simpan di atas meja adalah sesuatu yang baru bagiku. hangat menyentuh bibirku.

semua itu kubayangkan setelah hujan reda. menggenang pada gelombang kopi panas.

Samarinda, 2021




Jeda

ini malam penuh akustik. namun, seberapa jauh setiap lagu yang kaunyanyikan, menelusup dalam endapan kopi, mengambang pada alun asap batang sigaret, mengerut di atas mangkuk saus, berkelit di antara kata demi kata, lalu terbang bersama setiap buncah ludah?

tidak di sini, tapi barangkali akan datang masa ketika pertemuan demi pertemuan terasa biasa saja. tak ada lagi kecemasan yang membikin sesiapa sanggup membuka telinga dan mendengarkan lagi, dan lagi, lagumu itu.

kemudian jeda. tiba-tiba nadamu meninggi seperti suara kereta yang melintas meninggalkan masa lalu yang hibuk. lalu tak ada ruang tersisa di sela-sela embus nafas pekat kelabu, menerobos rimbun daun dan belantara ingatan.

jaring laba-laba yang berkilatan di batang-batang pohon membiarkanmu terperangkap dalam dekap laron-laron. cahaya menerpa jalan raya yang basah. lampu itu indah ketika setiap orang berjalan dan menciptakan bayangannya masing-masing di sana.

dan kau menjelma tubuh-tubuh berbaris dalam gerimis. entah siapa. entah menuju ke mana.

2019  



Scrabble
:Lydia Apriliani

kau lemparkan huruf-huruf itu seperti dadu. lalu mereka jungkir balik di atas meja dan menari-nari pada alismu, pada matamu, pada hidungmu, pada bibirmu, pada dagumu, pada lehermu, pada bahu dan tanganmu. juga pada selembar foto dan sebaris caption yang menjadi headline media online hari ini. 

diam-diam, huruf-huruf itu merenung dan memeras seluruh pengetahuan dan pengalamannya. lalu menyusun siasatnya sendiri, menata kata dan maknanya sendiri, mengatur ritme dan kalimatnya sendiri, membangun benteng dan perlawanannya sendiri. 

mereka mengepung setiap kepala, melubanginya hingga ke ceruk terdalam dari pikirannya, dan membongkar satu demi satu apa yang mereka percaya. lalu meninggalkan bekas tendangan dan pukulan dari dua jurus berbahaya sebuah kanal berita.

kau pun bertanya, “siapa mampu menampiknya?”

lalu kau menamainya: ghibah dan riya. tapi huruf-huruf itu malah berkata, “welcome to the club!” sambil bertepuk dada.

belakangan, huruf-huruf itu telah mematangkan jurus-jurusnya hanya demi ribuan ketukan pada layar sentuh atau sekeping cuan digital. diam-diam, huruf-huruf itu menyimpan jurus pamungkas yang lebih berbahaya.

yaitu kecemasan.

yang menjalar dari setiap larik, setiap bait, setiap titik dan koma. yang menyelundup pada kemungkinan-kemungkinan, mencoba berkelit dari takdir, lalu bersalin rupa seolah menjadi kenyataan.

“itu teka-teki yang berhasil dicungkil berkat investigasi,” kau setengah berbisik dan menjadikannya kisah-kisah menarik yang membuka makan malam di sebuah kafe ngak ngak ngik ngik.

bad news is a good news, katamu. 

bad news is a bad news. good news is a good news,” kata huruf-huruf itu yang kau hamburkan lagi dari  genggamanmu.

Samarinda, Juni2021




Yang tak Pernah Terucapkan Padamu

nelayan pulang. burung terbang menuju sarang. paras air seperti ribuan tangan yang melambai. hari akan segera buta. di ujung garis itu tak ada lagi yang bertegak kepala. sedikit ikan terbantun pada sampan: hanya 2 kilo ikan batu, 4 ekor cumi bening, ikan putih setelapak tangan, bawis juga ikan-ikan blombong sekelingking bayi.

suara mesin ketinting melengking, beradu nyaring dengan air asin yang tergunting. kapal menjauh dari belat. menjauh dari nasib. menjauh dari sebuah hari yang telah melarikan ikan-ikan ke palung lain.

pada keranjangnya, ikan-ikan barangkali seharga beras 1 kilo, 3 liter solar, dan sebungkus rokok. sungguh tak cukup buat ongkos dan jajan anaknya pergi sekolah dan mengaji. itu belum tuntas. pengumpul ikan yang menunggu di samping rumah akan pula minta jatah, memotong hasil jual ikan-ikannya, dan berkata, utang masih berlapis. artinya tak ada bagi hasil yang manis.

hari makin buta. saat tiba di pengumpul ikan, dipilahnya mana yang layak dijual dan mana yang akan menjadi lauk makan malam bersama istri dan anaknya. ia pilah mana ikan yang punya size, yang populer, atau yang lezat. namun, yang berarti buatnya, adalah ikan dengan berat dan ukuran. sebab itu yang berharga bagi pengumpul. sebab itu yang mereka mau. himpun ikan yang terkumpul.

musim sedang tak ramah. bulan kuning bulat baru lewat. ia paham, ikan sedang pesiar ke lain tempat, ke rimbun terumbu yang masih utuh, ke dasar samudra yang lebih nyaman, ke dalam lautan yang hangat dan berarus ringan, mencumbu renik melimpah tanpa racun dan limbah.  

nelayan itu pulang ke rumah. hanya memikul nasib yang mulai lumrah, dan sekeranjang resah.

Samarinda, 2021  




Memorabilia

di belakangmu
mendung makin kelam

lumut dan waktu bekerja
memungkas segala

kau pun mengelus dada
di antara tiang-tiang pusara

Samarinda, Juli 2021




Bagikan:

Penulis →

Dwi Hendro Basuki

Lahir di Bandung, 8 Februari. Pernah belajar di Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Bandung. Kini menetap di Samarinda, Kalimantan Timur, menjalani kerja jurnalistik di media siber kliksamarinda.com, dan menggiatkan diri dalam Kelompok Belajar Sastra Direct Message (Kabel Sastra DM) serta Kelompok Baca Buku Tetangga (Kebbut).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *