ENTAH kenapa aku suka berada di sudut ruangan. Aku merasa, di sana aku bisa menyempitkan sejuta gemerlap dunia. Hanya satu cahaya lampu pelita, di balik bilik dinding bambu.
Entah kenapa leluhur membawa kami ke sudut kota. Terhindar dari gemerlap dunia di dalam sana. Suara ribut mereka dalam berebutan makanan di meja saji membumbung tinggi mengurung kota dengan selimut awan hitam tebal. Entah apa yang ada di balik gemuruh pekat itu. Hujan yang membawa aroma musim panen, ataukah bencana air bah yang mematikan.
Rumahku berada di tepi kampung. Penghuninya adalah ayah, ibu, aku dan kakak perempuanku. Kami baru kembali ke kampung ini setelah berpuluh-puluh tahun hidup di tanah Timor tempat matahari terbit. Ketika warganya merdeka melalui proses referendum, kami memutuskan untuk pulang. Di Alor, kampung halamanku, kami memulai hidup baru. Semuanya di mulai dari titik nol. Di sudut kota ini.
Pada suatu sore yang khusyuk, ibu mengajakku ke atas pegunungan. Kami berjalan menaiki bukit yang dikelilingi petak-petak perkebunan. Tempat yang kami tuju adalah area perkebunan jagung milik masyarakat kampung. Di sini ada beberapa gubuk yang dibangun pemiliknya untuk berkebun. Mereka biasanya tinggal di sini untuk bertani dan menggembala kambing. Di tengah kota sana mereka juga memiliki rumah. Biasanya anak-anak mereka tinggal di sana untuk hidup bermasyarakat sebagai mahluk sosial. Sedang para orang tua sejak subuh kala hingga senja datang mereka habiskan waktu di kebun. Bila mereka tidur dan bermalam maka anak-anak mereka akan mengantar makan malam sebelum magrib datang. Di sini, bila malam tiba semua orang harus berada di rumah. Gelap selalu miliki dunia sendiri. Dunia mistis yang menakutkan. Hanya beberapa keluarga yang tinggal menetap di sini, termasuk kami dan rumah yang akan kami tuju. Entah mereka siapa. Menurut ibu mereka adalah keluarga kami dari jalur ibu.
Ini adalah bentuk silaturahmi. Orang-orang di kampung selalu mengelu-elukan kehadiran kami setiap kali berkunjung ke rumah mereka. Selama ini wajah kami hilang ditelan lautan yang memisahkan kami dengan mereka, namun kini kami telah tinggal berdekatan dan berkeluarga. Kehidupan di desa penuh dengan aroma alamiahnya yang khas. Ini seperti dunia dongeng yang nyata. Kehidupan di kota telah memanipulasi segala sisi hidup manusia. Hidup hanyalah seperti permainan sandiwara belaka. Di kota hari-hari dipenuhi kerja keras demi mengejar materi belaka sedang di kampung hari-hari kami hidup bersahaja bersama alam dan pentas kehidupannya yang terbatas. Di tengah kota gemerlapan lampunya terlalu silau dan menghipnotis seperti monster Arambora, seekor gurita raksasa yang suka naik ke permukaan dan menggoda para pelaut. Di sudut kampung kami hidup di bilik bambu dengan satu cahaya lampu pelita.
Setelah berbasa basi dengan pemilik rumah, kami akhirnya pulang. Sang tuan rumah memberiku dua ekor kambing yang masih kecil. Satu jantan dan yang satunya betina. Ibu lalu menggendong kambing betina sedang aku menggendong yang jantan. Kami lalu berjalan hati-hati menuruni bukit. Karena masih kecil aku tidak membuat kandang untuk mereka. Tiap malam mereka tidur di dalam rumah sedangkan saat siang aku menggembalakan mereka di sudut kampung.
Aku akhirnya mendapatkan teman untuk bermain. Kedua kambing itu sangat akrab denganku. Yang jantan berwarna hitam kuberi nama “Si Hitam”, sedang yang betina berwarna keemasan kuberi nama “Si Merah”. Bila pagi tiba kami mengembara menelusuri bukit-bukit menuju hutan. Bila berada di padang rumput aku membiarkan mereka makan dengan bebas sedang aku berteduh di bawah pohon.
Kampungku Alor berada di ujung barat Semenanjung Kumbang. Daratannya miring dari tepi pantai hingga pegunungan. Pemukiman dusun kecil kami berada di batas timur, sedang pusat keramaian berada di tengah hingga ujung semenanjung Alor. Bila berada di atas pegunungan terlihat pemandangan kampung di bawah sana. Rumah-rumah berjejer menuju bukit sedang suara riak riuh manusia menggema di angkasa.
Di kampung dalam sunyi hutan terdengar bisikan halus. Sebuah alur kisah kehidupan yang menghipnotis. Di sini setiap orang akan terbang dalam imajinasi kisah. Setiap lekukan alam dan apa yang tersembunyi di balik tabir gaib bermain-main dalam nyanyian dan tutur masyarakat. Malam-malam yang sunyi berkisah dongeng-dongeng yang melimpah di bawah temaram lentera. Kisah-kisah itu terbawa hingga mimpi dan terbit bersama mentari.
Berada di tepi batas kota aku merasa nyaman. Di sini aku bisa merenungi segalanya. Segala kekhusyuan hidup yang dijalani masyarakat tradisional. Hal yang paling menonjol di Alor adalah pemandangan pegunungan dan lautannya yang indah. Dua garis alam itu menciptakan kesatuan harmoni kehidupan. Bila air laut telah surut di saat malam buta, orang-orang akan membawa obor yang menyala sebagai penerang jalan dari rumah-rumah mereka yang merupakan deretan perkampungan di pegunungan dan pesisir yang terlihat ramai kerlap kerlip di tepi pantai. Mereka seperti berada di pasar mencari segala yang bisa diberikan laut untuk dimakan. Dan ketika air laut telah pasang, orang-orang itu akan berjalan pulang dan terlihat deretan obor-obor yang berbaris rapi berliuk-liuk berjalan menuju gunung. Di seberang sana, di sana sini terlihat bercahaya seperti musim kunang-kunang.
Apa yang tergambar dari pemandangan air surut di malam hari itu sama seperti apa yang nampak di pasar-pasar tradisional. Di sini uang tidak ada nilai tukarnya. Orang orang masih menggunakan sistem barter. Ikan-ikan di laut akan ditukar dengan hasil kebun atau hutan orang-orang gunung. Kegiatan jual beli yang kuno itu tidak pernah membuat mereka kelaparan.
Aku suka warna hidup di desa. Aku suka kehidupan saat ini di batas tepi bersama kedua ekor kambing yang telah beranjak dewasa dan mulai saling kawin. Para tetanggaku merasa heran dengan pertumbuhan kedua kambingku yang sangat cepat padahal mereka juga memiliki kambing namun terlihat kurus dan tidak subur melahirkan. Sedangkan kambingku yang baru akhirnya melahirkan dua ekor anaknya yang semuanya betina. Yang satu berwarna putih kuberi nama “Si Putih” sedang yang satunya berwarna campuran kuberi nama “Si Belang”. Dengan bertambahnya mereka, kehidupanku menjadi bertambah seru dan kami selalu bersorak riang di bukit-bukit. Karena bertambah banyak, ayah akhirnya membuatkan mereka rumah di samping tempat kami tinggal. Namun hanya kambing dewasa yang terkurung dalam kandang tersebut bila malam tiba, sedang anak-anak mereka tetap bermain denganku di dalam rumah. Biasanya, setelah selesai makan malam, kami –aku dan dua anak kambing tersebut– duduk di depan teras rumah melihat perahu nelayan dan kapal motor yang hilir mudik di depan teluk dan suara mesin dieselnya yang meletup-letup. Angin malam berhembus sangat dingin dan menusuk tulang-tulang membuat mata bertambah berat. Sedang suara gemuruh ombak mulut kumbang yang menggema dalam lorong-lorong bumi merindingkan bulu kuduk dan memaksa kami untuk masuk rumah dan tidur.
Waktu berjalan begitu indah dan khusyuk. Kambingku yang awalnya hanya dua ekor berkembang biak menjadi dua belas ekor. Setiap kali ia melahirkan selalu beranak dua dan hal itu membuat warga heran dan memujiku. Kata mereka aku adalah seorang penggembala yang subur. Tidak jarang ada sebagian keluarga yang ingin menitipkan kambing-kambing mereka untuk aku pelihara, namun aku menolaknya. Bagiku, keluargaku hanya dua belas ekor dan hanya merekalah yang setiap pagi dan malam menemaniku sepanjang tepi ini.
Tanpa sadar sudah setahun berlalu dan aku akhirnya lulus dari sekolah menengah pertama. Di sekolah dan di kampung para orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit sedang aku merasa tidak berselera dengan sekolah. Aku hanya ingin hidup di tepi kampung dan mengurusi kambing-kambingku. Namun sebuah badai kehidupan datang merampas kebebasan: bahwa setiap orang harus bersekolah untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga. Setiap orang harus berpendidikan dan berseragam agar dapat memposisikan dirinya sebagai manusia terhormat, bukan budak miskin yang terhina. Badai gelap itu datang menerpa dan menerbangkan rumah-rumah dan membuat penghuninya berhamburan mencari perlindungan. Hampir setiap teman dan keluarga mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah ke ibu kota propinsi yang berada di seberang timur matahari terbenam. Dan akhirnya akupun terseret arus badai tersebut. Sebuah keputusan dibuat demi masa depanku. Anak lelaki satu-satunya yang menjadi pewaris keluarga harus sukses menjadi “manusia”.
Entahlah, aku tidak mengerti. Dari sisa-sisa waktu itu aku mengais-ngais kenangan bersama kambing-kambingku di batas kota. Kami merajuk seharian dan pulang agak malam. Aku tahu bahwa semua kenangan setahun ini akan berakhir esok ketika fajar mulai terbit.
Aku tidak tahu apa yang membuat seseorang bersedih. Dalam sebuah perpisahan orang-orang akan meneteskan airmata untuk orang tuanya, saudara kandungnya, dan keluarga-keluarganya. Namun bagiku kesedihan itu bukan karena hal-hal tersebut tetapi aku harus berpisah dengan kambing-kambing yang menemaniku selama ini. Lingkungan batas kota yang aku sukai dan kekhusyuan hidup di kampung yang sangat alamiah. Di akhir-akhir keberangkatan itu aku merasa gelisah. Dan akhirnya waktu yang memberatkan itu tiba. Ketika dua belas kambingku meronta-ronta dalam kandang untuk ingin lepas dan menemuiku, sedang ayah menenangkanku dengan mengatakan ialah yang akan menggantiku menggembalakan mereka. Jantungku berdegup kencang dan tangan ibu menarikku untuk berangkat. Aku pergi dengan tubuh kaku. Pikiranku terbang mengitari bukit-bukit tepi kampung. Saat kapal melaju tepat di ujung Semenanjung Kumbang, aku berdiri di geladak luar menatap jauh ke arah rumah. Airmataku menetes ketika kusadari bahwa ayah dan kambing-kambingku sedang berada di teras rumah dan menatap ke arahku. Aku menangis tersedu-sedu dan pikiranku diselimuti kesedihan yang dalam. Kapal terus melaju menjauh dari Alor dan orang-orang kembali ke dalam kabin kapal. Sedang aku terus berdiri di geladak luar menatap jauh ke arah kampung yang hilang jejak. Saat kapal merapat ke kota dan orang-orang berhamburan keluar mengurusi diri mereka masing-masing, aku merasa tenggelam oleh gemerlap lampu hias yang mempesona. Tatapanku yang sedih mulai terang dan terkesima. Aku merasa silau dan jantungku berdegup kencang. Rasa takut terus memburu. Namun di tanganku aku membawa sebuah pelita yang terus terjaga. Lentera kecil yang berada di bilik bambu di batas tepi. Setiap kali kota merayuku untuk tenggelam dalam kegelapannya, aku selalu berlindung pada cahaya pelita itu.