Orang Sekarang, Kejiwaan, dan Sertifikat


Hidup dengan segala yang serba cepat mendegradasi interpretasi dan ingatan orang sekarang, tumbuh dan kembang di lingkungan julid memaksa kita memilih ragam model yang menyimpang dan menderita karena dasarnya tidak lain adalah memenuhi ke-julid-annya sendiri. Tiada yang benar. Tapi berusaha mengelak.

Generasi terus muncul. Sudikah kita yang lahir oleh tempaan peradaban lama, lalu kemudian dibuat sedemikian ruwet dengan hadirnya ragam soal juga ambisinya? Persepsi orang, dalam membingkai makna perjalanan hidup tidak serta-merta dapat dilampaui oleh nalar belaka apalagi di era media seperti sekarang. Sering kali kita menukil apa pun itu yang sejalan dengan target dan impian, tanpa ragu memuatnya di akun sosial media yang sangat utopis dan cenderung tamak.

Peradaban kini, segalanya diubah dan diserap oleh teknologi algoritma. Semua aktifitas dasar rumah tangga hingga urusan di sekolah terjadi atas dasar kebutuhan, mana yang lebih mudah dan murah untuk dijangkau.

Karena adanya akselesari media serta perangkatnya yang kian bergerak cepat membantu orang sekarang mampu menilai dan mudah untuk menemukan jawaban dari realitas hidup yang dinamis atas pertanyaan masa depan. Di mana kita yang sekarang ini lebih memilih untuk berkomentar di jejaring media ketimbang melakukan verifikasi fakta kepada yang bersangkutan untuk menimbang benar dan tidaknya. Ini pula yang menandai hadirnya grup-grup pesan pada sebuah aplikasi yang mudah diakses.

Segalanya dibentuk dalam ruang dan waktu yang singkat. Sikap menyingkat ini yang kerap dialami orang sekarang sebagai suatu ketergesaan dari apa yang ia alami. Orang mudah terbuai dalam naungan harga, merk, dan jam terbang pada sebuah akun. Ia tersandera atas jumlah view yang dicipta dengan kecantikan kamuflase tanpa menelurkan daya kritis dalam menentukan sikap hidupnya. Hidup dengan segala yang serba cepat mendegradasi interpretasi dan ingatan orang sekarang, tumbuh dan kembang di lingkungan julid memaksa kita memilih ragam model yang menyimpang dan menderita karena dasarnya tidak lain adalah memenuhi ke-julid-annya sendiri. Tiada yang benar. Tapi berusaha mengelak.

Kecelakaan besar umat manusia kini ditandai oleh pasifnya keyakinan dari interpretasi mandiri atau belief perseverance effect, di mana fakta tidak melulu atau selalu kuat untuk dapat kita cerna, maka dari itu kenyataan sosial yang sedang dan akan terjadi semestinya dapat dipola ke dalam draf ingatan manusia untuk sekiranya dapat mendisain jalan tikus atau shortcut yang praktis di tengah arus utama yang semakin edan. Kondisinya dapat dirasakan sekarang, di mana hubungan antar-tetangga diritme-kan pada area trend-kuno, branded-lokal, rongsokan-baru, restoran-warkop, dan banyak lagi.

Kecelakaan hidup telah mengakibatkan luka dalam. Ia mengendap ke organ lain di kehidupan. Banyak yang tidak sadar, terlena ‘omongan-cacian’ di masa lalu dan mengkhawatirkan masa esok, persetan menginjak hak orang, yang penting kesohor, perang status dimuat dari menit ke menit, melalui foto yang bebas tafsir, entah ada di kafe atau sedang di dalam mobil sambil pamer.

Kejiwaan
Ada sebuah kalimat yang mengatakan bahwa al-insanu hayawanun naatiq manusia itu hewan yang berpikir. Manusia juga disebut sebagai mahkluk yang sempurna dari yang lainnya (memiliki yang tidak dimiliki makhluk lain). Karakter yang dinamis, pengetahuan yang mapan, pergaulan lintas-budaya, merupakan nilai lebih yang meliputi kehidupan manusia. Anda dapat membaca dan mengomentari tulisan ini adalah suatu anugerah yang maha dahsyat yang tak kunjung dimiliki oleh macan atau monyet di hutan.

Proses berpikir manusia untuk menemukan jiwanya pertama kali dipraktikkan melalui tingkah laku, lewat panca indra mulai dari menyentuh, merasa, dan meraba. Fungsi ini mengilhami derita dan melapetaka manusia modern kita. Kadang terlihat mapan di muka Instagram dan TV tapi tidak pada jiwanya.

Cara berpikir yang kacau dengan penafsiran hanya sebatas mata dan kuping membawa kerugian batin yang destruktif, ini awal mula penghancuran esensi hidup sepanjang hayat. Di mana orang kekinian menempuh tujuan dengan rela dilabeli gila, stres, dan nir-moral. Kepada siapa ia belajar akan menentukan bagaimana implikasinya terhadap tetangga sebelahnya.

Eric Fromm pernah bilang bahwa orang kini hidup bukan lagi didasari oleh norma-norma dan moral yang telah tersedia, melainkan ditekan oleh otoritas anonim seperti pendapat publik. Orang sekarang merasa diinjak harga dirinya jika ditanya-tanya kapan targetnya tercapai. Stres pun datang sampai jam tidur dijadikan tumbal. Pergi ke Apotek untuk beli suplemen agar dijauhkan dari sakit merupakan rutinitas konyol yang tidak dapat dilarang. Pergi ke psikiater yang berbayar lebih dipercaya daripada bercerita pada suami/istrinya. Orang sekarang juga begitu maniak pergi ke berbagai tempat wisata untuk berlibur yang baru sekarang dibilang healing bukan holiday padahal kata healing diperuntukkan bagi mereka yang sedang akan bangkit dari sakit artinya dalam masa penyembuhan.

Identitas Soal Sertifikat
Jalan hidup yang sarat pada ‘keahlian’ menyempurnakan makna hidup itu sendiri. Sarjana baru yang berkumpul di ruang Twitter begitu panik menemukan takdirnya di masa depan, merasa belum jinak jika menjadi pengangguran karena juga ditekan tuntutan uangnya semasa kuliah dapat segera kembali, seperti kalah judi berkali-kali tapi diakhir pertandingan punya kartu joker. Seperti menyimpan dendam setelah dihajar tugas penelitian yang menyita hidupnya.

Menjalar dan menggurita adalah dua kata yang cukup klop pada segi pertumbuhan dan ledakan pengangguran. Algoritma memegang peranan penting untuk menyulap bahwa orang hanya cukup rebahan di rumah lalu digaji. Tuntutan untuk bisa ini-itu di era sekarang dibawa ke dalam kesadaran manusia bahwa hidup enak harus berguling-guling dulu, model kerja otot akan ditendang, digantikan oleh mesin dan digital, pasar tenaga kerja bakal dilumeri skill penunjang yang pada gilirannya akan mengundang banyak toko kursus, tentu dimensinya telah berbeda karena tidak lagi memahami bahwa tempat adalah cost yang utama tapi cukup bikin selebaran kemudian bisa belajar atau mengajar di rumah kapan dan di mana pun di muka gadged.

Sertifikasi dan legitimasi bagi orang modern saat ini adalah bukti kuat untuk tidak insecure karena akan terus berjumpa pada para pesaing handal. Sadar atau pun tidak bahwa semakin kekinian manusia justru dibelenggu kebebasan meskipun menyadari akan ada banyak hantu di masa depan, karena sejatinya kebebasan dan kesadaran seharusnya berjalan beriringan serta sepadan dalam menatap rambu-rambu kehidupan jika ingin seimbang begitulah kata Rollo May.

Indentitas yang dibenahi atas dasar tuntutan hidup justru mengganjal kenikmatan hidup itu sendiri untuk terus mengarungi luasnya lintas peradaban. Perkotaan disokong bahan baku melalui desa. Desa ditopang gelontoran uang dari kota. Lintas ini lah yang menjadi ambigu, bahwa yang nikmat tidak harus serba sertifikat, bayangkan jika desa menyetop bahan baku ke kota karena ulah orang kota yang selalu merasa pintar untuk berbuat semaunya terhadap desa karena merasa telah ‘tersertifikasi’. Bagi orang desa tidak ada uang tidaklah mengapa yang penting ada makanan untuk bisa terus bertahan hidup. Kita yang di kota apakah bisa bertahan dengan cara menyekap uang sementara lambung dalam keadaan kosong? (*)




Bagikan:

Penulis →

Ade Novianto

Alumnus Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *