MARI kuceritakan tentang beberapa kisah singkat orang-orang yang pernah singgah ke sini, kepadaku; surau kecil di pinggiran kota.
Aku memang cuma rumah ibadah kecil yang masih berumur dua belas tahun, dan dibangun sebagai prasarana alternatif untuk ibadah warga sekitar dan pengguna jalan yang kebetulan lewat lalu memutuskan berhenti pada jam salat, sembari melepas lelah. Karena butuh satu setengah kilometer untuk menjangkau mesjid besar. Jadi akan lebih mudah salat tepat waktu bagi warga sekitar yang ingin menunaikan ibadah bila langsung datang kepadaku. Apa lagi para pengendara perjalanan jauh, memang mereka lebih sering mampir. Sebab, meski hanya berukuran tujuh meter persegi, aku selalu dirawat dengan baik oleh seorang pria tua rendah hati yang ditugaskan untuk menjadi teman keseharianku, selain pohon belimbing wuluh yang tumbuh menjulang di luar pagar. Dialah yang menciptakan kenyamanan, sementara aku memberi kenyamanan untuk semua orang yang singgah.
Baiklah, aku akan mulai bercerita perihal sejumlah kisah pendek dari begitu banyak kisah yang telah terjadi di sini. Tapi, sebentar, aku akan mulai dari cerita yang paling tidak kusuka namun salah satu yang membuatku terkesan saat cerita ini berakhir. Maka, simak dengan baik kisah-kisah ini.
***
Kisah pertama datang dari seorang perempuan muda yang menghampiriku pada hari Jumat pukul dua dini hari lebih sepuluh menit. Waktu itu hujan sedang menengahi kebisingan kota yang tak pernah mampu tidur nyenyak. Tidak ada pengendara atau pejalan kaki yang lewat pada dini hari yang kuyup itu, kecuali perempuan muda yang datang sendirian sambil membawa sesuatu yang terbungkus kain dan dipeluk erat ke dadanya menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam erat tangkai payung yang oleng saat diterpa angin.
Singkatnya, aku menaruh curiga padanya. Gerak-geriknya tidak rileks. Kepalanya tak berhenti menoleh ke kanan-kiri sementara sepasang matanya tajam dalam keadaan waspada, seakan tatapan itu mampu menebas rinai hujan. Tampak sekali dia betul-betul ingin memastikan bahwa segala sesuatu dalam keadaan aman dan terkendali sesuai dengan keinginannya. Bahkan, dia seperti tidak peduli pada cerita-cerita tentang hantu atau yang lebih realistis; orang-orang jahat yang suka berkeliaran pada malam hari. Sungguh yang kurasakan dari perempuan ini adalah keberaniannya untuk singgah kepadaku pada malam lengang yang sangat basah itu.
Namun, meski aku memuji keberaniannya, itu tidak melemahkan kecurigaanku padanya. Kupikir perempuan itu memang tidak bertujuan untuk numpang berteduh atau barangkali ingin bermalam. Sebab dia tidak membawa barang bawaan lain seperti orang-orang dalam perjalanan, kecuali benda yang terbungkus kain di dadanya. Bahkan dia tidak pula membuka pintu depanku yang tidak pernah dikunci. Perempuan itu justru berjalan ke samping kiri seraya meletakkan payungnya di lantai, lalu melangkah cepat ke toilet yang diperuntukkan untuk pria. Di sanalah perempuan muda itu terlihat lebih sibuk dan buru-buru. Tanpa menyadari sedikit pun bahwa ada yang sedang mengawasinya. Yaitu aku.
Apa yang ingin dia lakukan? pikirku.
Kemudian, masih dalam pantauanku, kulihat dia memindahkan posisi benda terbungkus kain yang sejak awal dalam pelukannya dengan hati-hati ke lengannya. Sepertinya dia sangat pegal memegang benda itu sepanjang perjalanan.
Aku pun sebetulnya ingin bersuara, menanyakan langsung padanya apa yang sedang dia lakukan di toilet pria itu, sementara dia adalah seorang wanita. Akan tetapi baru saja aku hendak berbisik kepadanya, seketika itu pula aku dibuat terkejut ketika dia membuka penutup benda yang digendongnya itu.
Alih-alih tas berisi pakaian, benda itu ternyata bayi kecil berkulit putih yang sedang meringkuk hangat dalam tidur lelapnya.
Perempuan itu akan membuang bayinya di toilet pria! Gumamku sambil terus mengawasi dengan campuran rasa marah dan sedih.
Dan, ya, tentu saja sesuai dugaanku. Perempuan itu kemudian bersimpuh, melipat rapi kain pembungkus tubuh bayinya, lalu mengeluarkan dua helai kain lain yang ternyata dia sembunyikan di balik bajunya agar tidak basah terkena percik hujan. Yang mana kain-kain itu dia gunakan sebagai alas dan selimut bagi bayinya yang rupawan.
Namun anehnya, sebelum buru-buru pergi, sambil terisak dia malah berkata, “Maafkan, Ibu, Nak. Ini bukan keputusan yang baik. Namun, kau pasti akan menemukan seseorang yang mampu memberimu kehidupan yang baik.” Lalu dia segera berlari. Meraih payungnya dan berhambur ke dalam hujan dan kegelapan.
Sungguh aku bahkan belum sempat mencegahnya. Semisal meneriakinya dengan cara yang misterius untuk menghentikan perbuatannya. Namun aku juga tak tahu harus melakukan apa selain hanya menjaga bayi mungil di toilet pria itu sampai teman baikku datang saat Subuh. Aku tidak ingin bayi itu mengalami sesuatu yang buruk. Sebab cuaca memang sedang tidak baik untuk siapa saja berada di luar rumah. Apa lagi itu adalah bayi yang tidak tahu apa-apa, bahkan tidak mengerti bahwa dia baru saja dibuang oleh ibu kandungnya sendiri.
Maka aku coba menenangkannya dengan bersalawat kepada nabi seraya mengirimkan doa-doa pendek kepada ibu bayi mungil itu. Semoga si ibu mengubah perasaan dan sudut pandangnya, lalu kembali menjemput bayinya yang malang.
“Shalaatullah Salaamullah ‘Alaa Thaaha Rasuulillah. Shalaatullah Salamullah ‘Alaa Yaa Siin Habiibillah.”
Dan benar saja, tak lama setelah kusudahi senandung salawatku, tiba-tiba perempuan muda itu muncul kembali. Buru-buru dia berlari ke samping. Terlihat sambil menangis. Aku pun kembali mengawasinya, namun tidak dengan curiga lagi.
“Maafkan Ibu ya, Nak.” Isak perempuan muda itu. “Ibu seharusnya mengerti bahwa kehidupan yang baik adalah tetap bersama Ibu. Tidak apa-apa ayahmu pergi, lari dari tanggung jawabnya. Biar Ibu saja yang bertahan untukmu.” Perempuan muda itu terus menangis seraya memeluk dan mencium pipi bayinya berkali-kali. Barangkali dia sedang melepas rasa sesal yang tidak terbendung. Hingga kemudian dia memutuskan untuk pergi lagi. Meraih payungnya dan mulai melangkah ke luar pagar.
Aku merasa sangat lega dan benar-benar kagum pada keputusan perempuan muda itu. Dia berhasil mengendalikan emosinya untuk sesuatu yang indah. Maka sebagai hadiah, kukirimkan lagi doa kebaikan untuknya, yang sontak tiba-tiba sikapnya malah membuatku terkejut lagi. Seolah perempuan muda itu bisa mendengar bisikanku.
Dia tiba-tiba berhenti, menoleh ke arahku dan berkata, “Terima kasih, surau yang suci, telah menjaga anakku malam ini.” Lalu dia pergi.
Aku tak bisa mengatakan apa-apa selain semakin tersentuh dan sangat bersyukur pada hal baik dalam diri perempuan muda itu.
***
Ya, seperti itulah kisah pertama yang tidak kusukai namun berkesan hingga meresap ke dalam tubuhku. Aku masih berdoa untuk perempuan muda yang tidak pernah kembali itu. Tapi aku yakin kelak dia akan mampir bersama anak kesayangannya, kemari.
Baiklah, aku akan berlanjut pada kisah kedua, yang sama berkesannya, namun lebih pendek. Yang kemungkinan besar juga akan membuat siapa saja bertanya-tanya atau berpikir sendiri apakah ini cerita yang benar-benar terjadi atau hanya fiksi belaka.
***
Jadi begini, pada siang hari yang sibuk, Selasa cerah pukul satu lebih dua puluh dua menit kala itu, terjadi kecelakaan maut tepat di jalan yang ada di hadapanku. Kecelakaan tunggal itu diakibatkan karena sepeda motor yang dikendarai oleh seorang pemuda hilang kendali hingga tergelincir dan menghantam keras undakan bahu jalan dan tiang listrik. Aku melihat dengan jelas tubuh pemuda itu melambung cepat ke udara lalu terjun bebas dan mendarat dengan sangat keras ke sisi jalan yang lain hingga menimbulkan suara gaduh.
Sontak peristiwa tragis itu langsung menjadi pusat perhatian semua orang. Selain karena kejadian seperti itu baru pertama kali terjadi di sini, juga karena pemuda tersebut seketika tak sadarkan diri dengan wajah berdarah. Membuat sebagian besar wanita yang menyaksikan gemetar ketakutan. Sementara itu para pria mencoba menghampiri pemuda tersebut untuk memberi pertolongan. Mereka saling membantu dan berteriak. Sebagian mencari beberapa alat yang bisa digunakan untuk membantu, yang lain bergegas menghubungi puskesmas terdekat. Sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa untuk keselamatan si pemuda malang itu. Semoga dia baik-baik saja.
Sampai tak lama kemudian, tiba-tiba dari arah jalan yang sama, seorang wanita berteriak keras memanggil nama seseorang sambil menangis tersedu-sedu. Wanita itu pun langsung menjadi pusat perhatian.
“Ipung! Ipung! Ya, Allah!” seru wanita itu dan langsung bersimpuh di tubuh pemuda yang masih tergeletak dikerumuni banyak orang. “Dia anak saya, Pak! Tadi saya kejar sampai kemari.”
“Iya, Bu. Sabar ya, Bu. Kami sedang berusaha menolong,” balas seorang pria berkemeja batik.
“Tadi kami bertengkar. Saya bilang, Ipung kamu jangan berjudi terus. Jarang pulang. Kasihan sama Ibu. Tolong Ibu. Dia marah, Pak. Dia banting pintu terus buru-buru naik motor. Saya langsung cemas dan ikut menyusul, naik ojek. Sampai di sini, Ipung malah begini. Bangun, Pung! Ibu sayang sama Ipung, Nak.” Tiba-tiba wanita itu lepas kendali diri dan mulai menceritakan duduk perkara kepada semua orang. Yang langsung membuat semua orang terpaku. Termasuk aku yang juga tidak menyangka kalau peristiwa tersebut memiliki alasan kuat.
Ya, tentu saja. Pemuda itu tersungkup emosi gelap yang membuat dia kurang menghargai ibunya. Sampai akhirnya dia hilang kontrol dan mengalami peristiwa mengerikan dalam hidupnya. Namun aku tidak ingin menilainya sebagai manusia yang buruk. Aku menganggap bahwa Tuhan sedang ingin menghentikan amarah besarnya saja. Maka, aku membisikkan ke telinga semua orang agar mereka mendoakan hal baik untuk si pemuda dan ibunya. Kuajak mereka bertakbir, bertasbih dan bersalawat. Aku yakin Tuhan dan para malaikat menyaksikan ini.
Dan benar saja, belum sampai ambulans ke lokasi kejadian, isak tangis wanita itu pun masih menderu, Ipung si pemuda malang tiba-tiba batuk dan memuntahkan segumpal darah. Perlahan dia membuka mata coba menguasai dirinya. Beberapa jenak kemudian, pada saat dia melihat wajah ibunya yang basah, seketika itu juga Ipung langsung berhambur ke pelukan ibunya. Dia menangis tersedu-sedu seraya mohon maaf dan ampunan. Tidak peduli kalau dirinya sedang menjadi bahan tontonan semua orang, termasuk aku yang mulai tersentuh oleh perbuatannya. Kupikir dia masih layak untuk melanjutkan hidup karena keberaniannya mengakui kesalahan besar pada ibunya di muka umum seperti itu.
Lalu ambulans pun datang dan membawanya pergi untuk lekas mendapat perawatan intensif. Sementara semua orang yang masih menyaksikan tertegun dalam rasa ikut bersyukur. Bagaimana mungkin pemuda itu masih bisa bangun dan terbilang cukup kuat setelah kecelakaan hebat seperti itu. Apakah faktor keberuntungan atau memang takdir baik masih berpihak padanya. Ah, berpikir saja yang baik-baik, bisikku pada mereka. Meski aku juga merasa takjub pada kejadian itu.
Hingga pada suatu pagi, sekitar dua minggu kemudian, pemuda itu muncul kembali melintasi jalan di depanku. Hanya saja saat itu dia tidak mengendarai sepeda motornya lagi. Melainkan berjalan santai dengan agak tertatih dipapah ibunya.
Semula orang-orang tidak begitu mengingat wajahnya. Karena saat kejadian dia berdarah. Namun, dia tetap memberanikan diri menghampiri orang-orang yang pada waktu itu menolongnya. Hendak mengucapkan terima kasih. Barulah setelah ingat, mereka meresponnya dengan takjub dan ikut senang. Aku pun ikut bahagia melihatnya.
Sampai jelang masuk waktu Zuhur dia akhirnya memutuskan mengajak ibunya memasuki halaman depanku. Dia berbisik pada ibunya kalau dia ingin istirahat di ruangan dalam tubuhku. Akan tetapi aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba tertegun sejenak di pintu masuk dengan kaki gemetar. Sampai ketika langkahnya semakin dekat barulah aku bisa merasakan sesuatu dari dirinya. Ipung si pemuda malang itu diliputi kesedihan dan penyesalan yang dalam. Aku memasuki pikirannya dan mendengarkan seluruh kisah yang dituturkan hatinya yang sembunyi.
“Aku menyesal. Aku menyesal sekali. Aku seharusnya berhenti saat ibuku mengejar di belakang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan kengerian hidupku bila yang celaka adalah ibuku sendiri. Aku tidak tahu. Aku benci hidupku. Aku membenci masa laluku. Hingga aku mati suri hari itu. Aku terdampar di pulau penuh api sampai seorang wanita bersimbah air mata datang untuk memadamkannya. Wanita itu adalah ibuku. Ampuni aku, Tuhan.”
Aku terharu. Aku ikut menangis. Lalu kepeluk tubuhnya lewat angin yang berembus. Orang-orang yang bertaubat layak mendapat kesempatan kedua.
***
Demikian kisah kedua yang bisa kututurkan. Semoga bisa menjadi pelajaran berharga untuk siapa saja yang memaknainya.
Namun, aku masih punya satu kisah lagi. Yang juga sama berkesannya tapi cenderung lebih pendek, bahkan sangat singkat. Padahal kisah ini tidak sederhana, bahkan siapa saja mungkin ketakutan bila mengalaminya. Akan tetapi, bisakah semua orang memiliki tingkat kekuatan hati yang sama?
***
Kisah ketiga adalah tentang teman keseharianku. Ya, pria tua yang tak beranak dan beristri itu. Dia baik hati dan jarang mengeluhkan kesedihan kepada siapa pun kecuali pada Tuhan. Aku bangga dan sangat menyayanginya. Dan kisah ini semakin membuatku kagum akan kemuliaan dan kerendahan hatinya.
Mbah Lukman, demikian orang memanggilnya. Teman baikku itu, usianya menginjak 66 tahun dan hanya pernah menikah sekali dengan perempuan yang meninggalkannya di masa muda. Dia memang terkenal sabar, ramah dan bermuka riang. Dia juga tanpa pamrih meski gemar membantu. Bahkan tatkala ada seorang dermawan yang hendak membelikannya sepeda motor sebagai hadiah, ia malah menolak dengan alasan, ada baiknya uang tersebut disedekahkan kepada sebanyak mungkin anak yatim piatu dan fakir miskin saja. Bila ingin membantunya, secukupnya saja, dia bilang begitu.
Dan pada Rabu malam yang gerimis, sekitar pukul sepuluh lebih lima menit, ketika dia memutuskan pulang lebih lambat, di sinilah kisah menakutkan itu menimpanya. Ya, di sini, di ruang tempat orang-orang menunaikan ibadah di dalam tubuhku.
Tiba-tiba saja dua orang berpenutup wajah datang tanpa melepas sepatu, langsung menyeretnya ke dinding dan memukul tengkuknya hingga nyaris hilang kesadaran. Kedua orang itu bilang dia hanya akan mengambil uang di kotak amal, jadi salah seorang memaksa Mbah Lukman menyerahkan kuncinya. Namun Mbah Lukman yang agak kesakitan, bersikeras tidak ingin menyerahkan kunci tersebut. Dia bilang dalam suara serak, “Kalian tidak boleh mengambil yang bukan hak kalian. Itu uang amal, Nak. Dosa besar kalau kalian mengambilnya.”
Aku merasa khawatir pada tindakan Mbah Lukman. Aku mencemaskannya. Mungkin lebih baik dia menyerahkan kotak amal tersebut daripada dirinya dalam bahaya besar. Namun lagi-lagi aku hanya bisa berdoa agar Mbah Lukman dilindungi Tuhan sembari berbisik kepada dua orang pencuri itu agar lekas pergi sebelum Tuhan mendatangkan azab pedih pada mereka.
Akan tetapi ternyata kedua pencuri itu memang sudah bebal, mereka malah murka ketika dinasihati Mbah Lukman. Bahkan salah seorang dari mereka hendak melayangkan bogem mentah ke wajah Mbah Lukman. Aku semakin sedih melihatnya. Namun, di sinilah barangkali buah ketabahan dipetik. Mbah Lukman sama sekali tidak gentar. Padahal bisa saja dia berteriak minta bantuan. Alih-alih menjerit, dia malah meminta kedua pencuri melepaskan pegangannya agar dia bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kedua pencuri tersebut.
“Nak, dengarkan dulu baik-baik. Saya tadi dapat sedekah dari dermawan. Lima ratus ribu,” kata Mbah Lukman saat dilepas pegangannya, seraya mengeluarkan amplop putih dari kantong celananya. “Jumlah ini lebih besar dari uang yang ada di kotak amal itu. Isinya paling-paling dua ratus ribu saja. Jadi, ini saya berikan kepada kalian. Daripada mencuri, lebih baik ambil ini. Biar lebih halal. Karena saya ikhlas.”
Kemudian keadaan yang terjadi pun sungguh di luar dugaan. Aku pikir kedua pencuri tersebut akan benar-benar merampas amplop di tangan Mbah Lukman. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kedua pencuri itu langsung merendahkan punggungnya seraya mengatakan maaf berkali-kali kepada Mbah Lukman. Mereka tiba-tiba merasa sangat takut, gentar, dan langsung kabur begitu saja.
Aku benar-benar terpaku menatap peristiwa itu, sementara Mbah Lukman hanya meringis kesakitan seraya meraba tengkuknya yang tadi dipukul. Kudengar dia mengucapkan tahmid sebagai bentuk rasa syukur atas perlindungan Tuhan untuknya. Sungguh pemberani, bukan? Bahkan kudengar hatinya berbisik kalau dia sudah memaafkan perbuatan para pencuri tersebut dan tidak akan melaporkan perbuatan mereka kepada warga.
Demi Tuhan beserta seluruh ciptaanNya. Sungguh, peristiwa yang terjadi pada Mbah Lukman, teman baikku itu, merupakan salah satu kebenaran bahwa keteguhan dan kerendahan hati akan mampu menaklukan berbagai bentuk kemungkaran. Ya, begitulah kenyataannya. Aku pun semakin memuliakan Mbah Lukman, dan senantiasa berdoa semoga kebaikan selalu berada di dalam hati dan di sekitarnya. (*)
One Response
Masha Allah… Adk satu ini memang selalu keren. Harus banyak belajar aku.