KALI ini Emba menyerah. Rumahnya baru saja kecurian siang hari. Kunci yang hanya satu itu dipakai untuk anggota keluarganya. Ketiganya tidak biasa datang bersamaan dari tempat aktivitas. Emba selalu pulang petang dari kantor. Sedangkan istrinya datang siang dari tempat mengajar. Anaknya yang tinggal satu itu, paling tidak menentu jam pulangnya, bisa siang, sore, bahkan malam, sesuai kesibukan ekskul sekolah.
Saat itu istri Emba terkejut luar biasa melihat isi rumah siang hari hampir kosong. Tak ada lemari jam yang jutaan harganya. Televisi yang hampir selebar tembok itu juga. Masuk ke kamar ternyata sama kosongnya di ruang utama. Tabung AC sudah dicabut, televisi kamar juga tidak ada, laptop demikian. Sampai jam tangan Emba juga yang sengaja ditinggal karena buru-buru pagi itu. Setidaknya aman di kamar anaknya karena tidak ada yang hilang. Istri Emba hapal betul barang-barang di rumahnya.
Menjelang petang, istri Emba sengaja duduk di kursi teras sambil menunggu suaminya pulang. Ia tahu tidak akan lama. Sedikit canggung ia di luar rumah, sekalipun di teras. Ditambah sapaan ibu-ibu kompleks padanya, “Sore, Bu.” Baru kali itu istri Emba keluar rumah dan duduk sendiri. Orang-orang yang lewat dan melihatnya tampak aneh. Padahal ia ingin memberitahu suaminya, Emba, sebelum masuk dan melihat kondisi rumah.
Istri Emba terus saja mengayunkan pelan kedua kakinya. Itu semata mengusir kepanikan di kepala seraya menyusun kata-kata. Tidak lama suaminya datang juga. Seperti biasa, Emba membawa tentengan camilan. Emba tahu istrinya yang sangat muda dan terlampau jauh usianya selang tujuh belas tahun, itu suka sekali ngemil yang asin atau kalau tidak, yang manis. Tapi tetap tidak mengurangi cantiknya karena gemuk atau jerawatan.
Istri Emba menahan suaminya masuk dan menyuruhnya duduk sebentar. Emba jadi bingung dengan yang serba tidak biasa itu.
“Pak, saya tidak mau bapak masuk dan kaget.” Ucapan istri Emba justru membuatnya kaget sebelum masuk.
“Saya akan bilang tapi bapak jangan kaget, sedih, apalagi marah. Rumah kita tadi kecurian.”
Emba lalu masuk dengan raut santai melihat isi rumahnya seperti awal menikah, tatkala mereka harus mengumpulkan uang membeli barang-barang yang akhirnya hilang juga.
“Tidak kaget, Pak?” tanya istri Emba polos.
“Kan kamu sendiri yang melarangku kaget. Tapi mau diapa juga. Kita tidak tahu siapa pelakunya. Anggap saja pelajaran mahal.” Emba lalu berlalu begitu saja di hadapan istrinya menuju kamar.
Mereka hanya tidak percaya bagaimana bisa kunci rumah yang hanya satu itu bisa ketahuan orang lain. Padahal dengan baik Emba sudah menaruh kunci di tempat yang besar kemungkinan sulit dideteksi. Kunci ditaruh di bawah pot bunga yang dialasi piringan. Tanaman hias yang diletakkan istri Emba di atas meja teras.
Emba keluar kamar dengan berganti baju kaos dan celana selutut. Ia buru-buru keluar rumah tanpa bilang mau ke mana. Tapi istri Emba sudah menebak kalau suaminya akan menemui Tula, sahabat lama dan satu-satunya di kota rantauan itu. Untuk mengusir kesedihan yang sebenarnya tidak sedalam yang dirasakan Emba, istri Emba menikmati camilan tadi, roti gulung abon.
Tula, sahabat Emba yang paling dekat. Bagaimana tidak, mulai SD dan semua tingkatan sekolah mereka sama-sama. Mereka juga ke sekolah dengan satu sepeda yang bergantian posisi depan belakang. Senasib sepenanggungan sangat cocok menggambarkan kedua lelaki itu. Sampai di kota rantau pun, keduanya sama-sama. Meski Emba tinggal dengan anak istri dan Tula masih membujang.
Hubungan yang tidak terpisahkan dari mereka juga dalam dunia pekerjaan. Setelah Emba diterima kerja sebagai tukang servis elektronik di toko besar berkat kenalan teman Tula, berikut Emba mengajari Tula menduplikat kunci menggunakan mesin. Menduplikat kunci seharusnya dijalankan Emba sebagaimana keahliannya. Tapi ia yang karena gengsi menikah seorang ASN, Emba memaksakan diri kerja kantoran, bekerja di kantor meski itu sebagai tukang servis. Embalah yang membantu Tula mendirikan stan reparasi kunci di depan toko elektronik Emba bekerja.
“Tula, kau tahu, rumahku kecurian,” kata Emba tiba-tiba dan terus berjalan menghampiri Tula yang tengah memainkan ponselnya. Ia sontak terkejut. Ia tahu bagaimana perasaan sahabatnya itu. Secara, Tula yang membantunya belanja semua perabotan yang disebutkan hilang oleh Emba. Tula membantu mengangkat barang-barang ke pikap.
“Bagaimana bisa, Kuh?”
“Iya, bisa, padahal kejadiannya bukan malam, tapi siang, sebelum Intang pulang.”
“Tapi kita memang harus lebih pintar dari pencuri. Aksi pencuri sekarang bukan lagi malam, tapi di waktu lengah. Kalau malam, pencuri tahu orang bakal mewaspadai rumahnya. Dengan begitu dikuncilah, dipagarilah, dan macam-macam alat pengamannya. Biasanya subuh bahkan siang. Pencuri sekarang bisa berhari-hari mengintai kondisi rumah sasaran dan memantau kebiasaan sehari-hari pemiliknya.”
“Wah, pintar sekali kamu, Tula. Jangan-jangan kamu pelakunya, ya?” celetuk Emba memukul pelan meja Tula.
Keduanya lalu tertawa sangat keras. Mereka membayangkan bagaimana lucunya andai Tulalah yang melakukannya. Gelitik tawa Emba justru mengubah suasana lebih tenang dan tidak lebih memikirkan kecurian yang sudah berlalu.
Tapi Tula memberi saran, “Kau masih tidak mau menduplikat kuncimu?”
“O, iya, mungkin ini akibat saya tidak terima saranmu, Tula.” Keduanya kembali tertawa. Pertemuan mereka layaknya hiburan karena apa-apa dibuat tertawa.
“Ah, kamu ini, Tula. Saya kan jadi lupa masalah. Tapi, eh, bagaimana tadi yang duplikat kunci itu?” kali ini Emba sadar kalau seharusnya memang kunci diduplikat biar tidak ditinggalkan di rumah.
Dengan rona amarah sekaligus semangat, Emba kembali ke rumahnya dan mengambil anak kunci yang posisinya seperti sedia kala, di bawah pot bunga yang dialasi piringan dan tidak bergeser sesenti pun. Pelakunya memang pintar seperti yang dikatakan Tula, begitu pikir Emba tatkala mengambil kunci penuh kesal.
Cepat-cepat Emba pergi lagi dengan motor manual yang untuk sekarang sudah tidak zaman. Emba tidak memerlukan kecepatan tinggi karena tidak sampai satu kilo meter, ia sudah tiba. Di samping stan Tula, Emba memarkirkan motornya yang mengkilap.
“Jadi bagaimana ini?” Emba menyerahkan satu buah kunci rumahnya kepada Tula yang di depannya mengantre dua klien. Emba tidak tahu kenapa orang-orang ingin menduplikat kuncinya, mungkin mengalami nasib yang sama.
“Duduk saja dulu, Emba,” Tula menunjukkan bangku kayu di dekat parkiran motor kepada Emba seraya menjalankan mesin pencetak.
Emba masih saja berdiri dan enggan duduk di bangku kayu yang basah dari sisa hujan pagi tadi.
“Coba mesin ini ada dua, kau ndak usah menunggu, bahkan bisa juga membantuku.”
“Ah, kau itu,” kata Emba memperhatikan tangan Tula yang sudah semakin lihai memainkan kunci di atas mesin. Dengan begitu Emba tidak keberatan berdiri karena ia tahu Tula bisa membuat kunci dengan cepat dan baik. Emba membaca kemampuan sahabatnya itu tatkala memperlihatkannya bagaimana mencetak kunci dengan banyak dan Tula cepat memahaminya.
Tula menyerahkan beberapa anak kunci yang dibungkus dalam plastik rekat kepada orang terakhir penuh basa-basi, “Besok-besok ke sini lagi ya, biar stan ini selalu ramai.”
Berikut, Emba maju. Ia malah merebut mesin lalu mengerjakan sendiri. Emba yang merasa seperti miliknya juga, mencetak kuncinya. Mula-mula ia memperhatikan lekuk gigi anak kunci lalu disimpan di mesin, kemudian dilepas dan dipasang anak kunci mentah untuk mulai mencetak. Ia asal membuat saja. Tula membiakan Emba melakukannya dengan senang hati, berharap sahabatnya itu tidak terlalu sedih setelah kecurian.
Mungkin dengan kembali menyentuh keahlian lamanya Emba bisa terhibur, gumam Tula. Tapi ini keterlaluan, Emba mencetak kunci lebih sepuluh biji. Bukan apanya, Tula bisa-bisa kehabisan bahan, bahkan mubazir. Karena ia tahu, Emba tidak akan membayar untuk jasa atau modal pembuatan kunci.
Tula ingin bertanya kepada Emba kenapa sebanyak itu, tapi ia tahan. Ia terus memperhatikan Emba sampai akhirnya selesai dengan cetakan kunci yang banyak seperti tumpukan uang koin. Emba lalu berusaha memasukkan sendiri kunci hasil buatannnya itu ke dalam plastik rekat tapi tidak cukup menampung semuanya.
“Kenapa kuncinya ditinggal?” Tula menggoda Emba.
“Ya, ini liat. Ndak muat.”
Tula terus menahan tawanya melihat sahabatnya itu yang ternyata masih sama polos sebelum menikah.
“Saya balik, ya,” ucap Emba dengan pandangan buru-buru dan menaiki motor dengan knalpot yang meninggalkan gumpalan debu hitam.
Tiba di rumah, Emba membagikan kunci masing-masing kepada anak dan istrinya.
***
Besoknya Tula mengirim pesan whatsapp kepada Emba, tapi hingga pagi Emba belum juga membuka pesannya. Emba yang kerja di kantoran itu masih lebih gaptek dari Tula. Kurang perhatian sekali ia dengan HP, bahkan sekadar membuka. Kecuali jika deringan panjang suara telepon, baru ia menyadari. Tula hafal sahabatnya itu masih belum berubah sejak dulu, polos.
Tula lalu membaringkan punggungnya di lantai rumahnya. Di rumahnya itu tak ada kasur. Selain karena tidak punya uang, ia malas saja membeli barang-barang yang tidak harus sekali ada. Baginya, ia masih bisa hidup meski tidak tidur di kasur. Makan sekali tiga hari juga masih bolehlah diadu untuk ketahanan hidupnya. Tapi satu yang tidak bisa, obat. Alasan itu yang membuatnya bertahan jadi pembuat kunci. Ya, tahu sendirilah betapa tidak menguntungkannya usaha seperti ini. Seberapa banyak mereka yang kehilangan kunci?
Tula sebenarnya sangatlah tidak tahu diri. Meski tahu ia miskin, tapi ia sungkan bila harus minta bantuan ke satu-satunya sahabatnya itu. Tapi untung juga Emba orang yang cukup peka. Hampir setiap hari saat Emba membeli nasi bungkus, ia juga ingat Tula. Selalu begitu, meski Tula tidak bisa membalas dengan imbang. Paling bisa Tula hanya mengingatkan Emba agar tidak ceroboh, termasuk peringatan hati-hati saat Emba meninggalkan begitu saja kunci gandanya. Dan jawaban Emba juga selalu begitu: ya, ya, memangnya siapa yang tahu kalau itu kunci rumahku. Kalau sudah begitu Tula malas menanggapi.
Siang itu, seperti biasa, Emba tak lupa membeli nasi bungkus sekalian untuk Tula. Rasa-rasanya ia tidak pernah makan bersama teman-temannya di kantor. Karena sebab apapun, baginya keberhasilan dirinya berkat Tula juga. Suka dan duka keduanya ikut merasakan.
***
Stan Tula tutup. Emba sontak kecewa. Perihal itu ia tanyakan kepada beberapa tukang ojek dan mereka menjawab sama: tidak tahu. Ada juga yang mengira-ngira kalau Tula sakit, malas, atau kesiangan.
“Makanannya mubazir dong,” kata tukang ojek di antaranya.
Emba tahu kalau kata-kata barusan adalah sindiran. Ia memberikan begitu saja satu bungkus nasi itu untuk mereka makan bersama. Satu bungkusnya lagi ia buka sendiri. Emba menyelesaikan hanya menyentuh makanannya dua kali suap. Ia memanggil tukang ojek yang belum kebagian agar menemaninya makan.
“Jarang-jarang, ya, Mas Tula tutup,” ucap di antara mereka yang badannya gembul dan yang lainnya membenarkan.
“Sebentar saya ke rumahnya. Jumat begini saya pulang lebih cepat.”
“O, ya, Pak, terima kasih, makanannya. Semoga rezeki bapak bertambah.” Yang paling diam di antaranya lalu angkat bicara. Tapi kata-kata barusan membuat Emba kesal. Bagaimana bisa dirinya dengan Tula lahir di tahun yang sama, tapi dipanggil berbeda.
“Masih muda begini dipanggil bapak. Memang sejak kapan saya jadi bapakmu?” geram Emba dalam hati.
Cepat-cepat Emba meninggalkan tempat dan berharap tugasnya di kantor cepat kelar. Ia sudah memprediksi, jika kelak di rumah Tula, pasti akan lupa waktu sampai bermalam pula, apalagi besok libur. Maka Emba menyiapkan kunjungannya lebih awal agar tidak sampai menginap. Bukan apa, ia tahu betul di rumah Tula tidak ada makanan kecuali kopi dan gula.
Sore sepulang Emba kerja, Gerimis turun. Ia bersyukur setidaknya hujan itu tidak lebat dan ia bisa tetap seperti biasa. Emba pulang ke rumah dulu hendak mengajak istrinya ke rumah Tula. Selain karena istri Emba juga teman Tula, membawa istrinya setidaknya bisa jadi alarm agar tidak lupa waktu.
“Intang,” Emba memanggil istrinya dari teras rumah. Ini seperti melihat dirinya sendiri yang terbiasa keluar masuk rumah tanpa menutup pintu.
Ia lanjut masuk dan merasakan dirinya mendadak seperti istrinya yang sedang mengomel-ngomel. “Itu pintu kenapa dibiarkan terbuka. Intang…Intang…” panggil Emba pelan seraya masuk ke dapur.
Seketika Emba berpikir kalau istrinya tidur dan kalau sudah nyenyak bisa seperti orang mati. Emba bahkan sudah mencemaskan pikirannya kalau jangan-jangan istrinya tidur pulas kemudian lupa tutup pintu dan pencuri siang masuk lagi.
Emba lega saat masuk kamar. Ia lega justru karena pikirannya tidak sama dengan yang ada. Kamarnya seperti biasa. barang-barangnya yang masih selamat kemarin, tetap ada. Tidak ada bekas penjajakan orang asing. Hanya yang berbeda istrinya tidak ada di kamar.
“Jangan-jangan,” gumam Emba. Ia lalu berpikir kalau jangan-jangan memang istrinya belum pulang dari sekolah dan yang membuka pintu itu pencuri. Hampir tidak pernah istrinya pergi sendirian, kecuali ke sekolah. Ia membenarkan dan kecemasannya menjadi-jadi. “Iya, itu pasti.”
Jika kejadian itu demikian, pikirannya langsung jatuh pada Tula. Akan menjadi banyak tujuannya ke rumah Tula. Menjenguknya, curhat, dan meminta maaf karena selama ini menghiraukan sarannya untuk hati-hati menyimpan kunci, termasuk membiarkan kuncinya menggantung di kios Tula tanpa pernah curiga kalau mungkin ada yang memata-matainya.
Selepas magrib Emba makin gelisah. Tapi ia masih berpikir apakah akan ke rumah Tula atau tidak. Lama dipikirnya apakah harus menunggu istrinya dulu karena HP istrinya tertinggal di kamar. Akhirnya ia pergi meski lampu motornya yang rusak belum dipasangi yang baru. Ia yang tengah gundah gulana setidaknya akan ringan setelah membagi beban pada Tula. Selalu begitu. Tumpukan keresahan Emba dan semua isi kepalanya ditampung dengan baik oleh sahabatnya itu.
“Tula.” Teriak Emba. Ia hapal kalau Tula tak akan teriakannya dengan salam. Tapi kali ini tidak. Emba menerobos begitu saja rumah Tula yang tidak tertutup. Rumah Tula yang persegi dengan sisi sama panjang dan hanya satu ruangan itu, membuat Emba tak perlu repot mencari.
Iya, hanya dengan satu kali menengok dari pintu, Tula sudah jelas telihat. Di sana Tula terbaring, tapi dengan pemandangan berbeda. Ruangan itu telah berubah menjadi neraka. Bahkan ia rela dirinya terbakar. Jika boleh meminta, Emba ingin mati saja. Rumah kecil Tula benar telah membakar dirinya lalu menyemburkan api.
“Intang!”
Intang melepaskan pijatan tangannya di punggung Tula yang dibungkus baju kaos hitam. Ia sontak berdiri dan menghampiri suaminya.
“Jangan dekat!” Jantung Emba semakin mendidih.
Intang sampai tidak bisa menahan dirinya. Tapi ia sadar agar tetap berani, ia yang harus mempertanggungjawabkan, bukan Tula.
Emba menarik korek api gas dari saku celananya. Dengan tangan bergetar ia mengangkatnya, “Kumohon, bakar aku sekarang,” Emba lalu melempar dan tepat mengenai kepala Tula yang kini sudah terduduk.
“Bakar saya sekarang juga.”
“Pak!”
Emba mengangkat tangannya dengan mulut yang begitu kuat dikatupkan.
“Intang,” bisik Tula dengan mulut yang juga tertahan. Intang membenarkan maksud Tula agar ia berhenti. Tidak akan ada baiknya menjelaskan di waktu panas.
“Dengan cara apa saya bisa melupakan pemandangan barusan kalau bukan dengan mati?”
Semua masih bergeming.
“Pak, kamu ingat anak sulung kita, sungai, dan kematiannya?” Intang memberanikan diri.
Menyebut semua itu, ingatan Emba jatuh pada kejadian anak sulungnya dan Intang yang jatuh di sungai. Intang panik minta ampun dan lebih-lebih Emba yang histeris sampai menjerit. Mereka terus saja begitu hingga petang, menangisi sulungnya. Emba tidak punya cara lain selain mengadu kepada Tula. Tula ikut merasakan dan ia yang juga tidak mahir berenang macam Emba, menceburkan diri begitu saja. Setengah mati Tula dengan hidungnya yang ditahan lalu menghirup air kembali. Begitu perihnya hidung Tula dan mata yang lebih banyak dikatup. setidaknya ia berhasil menangkap dan membawa anak sulung Emba ke permukaan. Keduanya sama-sama pula masuk rumah sakit. Anak Emba dinyatakan meninggal dan Tula harus dirawat cukup lama karena kesehatan paru-paru yang terganggu. Berikut Tula berobat jalanan dengan melakukan kontrol di tempat perawatannya. Berselang setahun, rupanya sakit Tula kambuh. Ia mengurus sendiri dirinya dengan obat yang tidak putus.
Keberanian yang sama dilakukan Tula saat hendak menggunakan kunci rumah Emba tapi rupanya tidak terkunci. Rencana ingin membawa pulang barang, yang ada justru istri Emba yang minta dibawa untuk merawat Tula.
“Dan kalian!”
Mata Emba yang sejak tadi memanas sampai mendidihkan kepalanya, kini menyerah. Ia meninggalkan rumah Tula dengan degup jantung lebih cepat dan lututnya yang terus bergetar saat mengendarai motor. Emba terus melajukan motornya dengan tangis yang tak tanggung-tanggung diledakkan. Perjalanannya terus dipanjangkan. Berkilo-kilo meter belokan lorong paving ke rumahnya sudah ia lewati. Emba melajukan motornya terus ke arah yang semakin gelap. Sedikit lagi akan bertemu jalan persawahan yang menjadi pembatas kota dengan kabupaten. Sepanjang jalan berbeton persawahan itu, tak satu pun tiang lampu berdiri. Tak ada ketakutan sedikitpun di benak Emba meski berada di jalan sepi dengan kondisi lampu nir cahaya dan lampu motornya belum diganti. Bagaimana tidak, ruang dada Emba yang kurus itu tidak lagi muat menampung beban selain pemandangan di rumah Tula.
Selapas melewati panjangnya persawahan dan diakhiri deretan stan kerajinan batu merah, Emba tepat menjumpai bangunan sekolah tempat istrinya mengajar. Ingatannya sekilas kembali pada istrinya. Saat-saat ia bersama Tula mempertaruhkan agar Intang bisa bekerja di sekolah itu. Intang yang tak begitu ambisius jadi guru, terus dibujuk oleh Emba lewat bantuan Tula. Tanpa malu Tula merayu kepala sekolah dengan keahlian bernegosiasi menunjukkan diri Intang kalau perempuan muda itu bisa diandalkan sampai berani menjaminkan dirinya sendiri. Kepala sekolah saat itu juga heran apa hubungan Tula dengan Intang. Padahal Tula sendiri hapal kalau Emba tidak akan berani melakukan kekonyolan itu.
Emba segera menghapus ingatan itu. Semakin sulit ia mengendalikan diri. Tak kuasa perasaannya dikuasai dua orang yang ia sayangi. Seperti ia ingin berlepas diri dari semua kenangan. Ia sepertinya kehabisan akal. Tangannya ia lepaskan dari stang dan melompat dari motor. Ia mendarat bebas tepat di bibir waduk, sementara motornya dibiarkan tergeletak dengan bagian-bagian plat yang luruh berkeping-keping. Kepingan itu persis perasaan sekaligus ingatan terakhirnya sampai ia tak sadar apa sedang tertidur atau benar telah melepaskan ingatan yang sesungguhnya.
Ingatan terakhir itu membawanya menceburkan diri ke waduk. Meski tahu pasti kalau bukan di situ tempat tragedi tenggelam anaknya, tapi ia memaksa keyakinan kalau sisa pakaian anak sulungnya yang sudah tiada itu bisa ia temukan di waduk sebagai tembusan sungai. Pembuktian kalau dirinya begitu hebat dan Intang salah menilainya.
Seminggu berlalu. Intang mengunjungi stan Tula.
“Suamimu belum pulang?”
“Belum, Kak.”
Keduanya jadi kikuk untuk melanjutkan percakapan. Intang terus saja menatap layar HP-nya yang mati dan Tula dengan santai memainkan mesin pencetak kunci. Tula sendiri bingung untuk apa Intang ke tempatnya kalau cuma diam. Demi apapun, tak ingin ia menjadi penyebab konflik keluarga sahabatnya. Melihat Intang kebingungan, Tula membiarkan begitu saja dengan memusatkan perhatian pada mata-mata kunci model baru yang tengah dicetak.
“Em, Kak, jadi bagaimana?”
“Apanya?”
“Hubungan saya dengan suami saya.”
“Silakan diselesaikan sendiri.” Buru-buru Tula mencetak satu mata kunci lagi yang sebetulnya belum semuanya selesai. Tapi dirinya seakan tidak leluasa. Tatapan Intang yang diam penuh duri sungguh menyiksanya.
Intang sedikit tekejut melihat Tula mengemas barang-barang dalam stan dan memasukkan ke kardus putih besar. Belum sampai bertanya akan kehendak Tula, Tula sendiri menyuruh Intang keluar.
“Mau istirahat.”
“Sakitnya kambuh, Kak?”
Tula dengan tegas mengangkat tangannya sebagai instruksi menyudahi pembicaraan Intang. Bingung bercampur sedih bahkan ada malu juga yang kini bersemayam di dada Intang. Pikirnya, semua jadi berbeda. Tula yang sepengenalannya sangat terbuka, bahkan lebih humoris dari suaminya, kini bak orang asing yang kikuk.
Tak panjang pikir, Tula meninggalkan Intang yang masih terdiam dengan wajah muram. Ia cepat menaiki motor dan berlalu begitu saja.
Penuh malu dan sesal, Intang menaiki ojol yang baru saja dipesannya. Harapan agar setidaknya mendapat simpati dari Tula, kini sudah hampa. Selepas kejadian di rumah Tula, Tula sudah menjelma bunga putri malu. Lebih dari mengatup daun, Tula sampai menutup diri.
Saat Tula tiba di rumahnya untuk mengemas barang yang tak banyak itu, ia sontak tekejut. Ada empat lelaki tetangganya berdiri dan menunggunya.
“Ada apa? Ayo, masuk dulu.”
“Di sini saja,” ujar di antaranya seraya menjulurkan koran yang masih baru.
“Oh, Tuhan. Emba.” Hampir saja Tula histeris, tapi ia berhasil menahan diri. Orang-orang di dekatnya bahkan sudah memastikan reaksi Tula saat baru membaca judul berita.
Tula masih menahan diri sampai keempat orang itu meninggalkannya. Lambungnya terasa begitu kecut dari biasanya. Sakit maagnya kambuh dan membuatnya oleng seketika. Ia tak sanggup berdiri. Orang-orang tadi kembali menghampiri karena melihat kondisi Tula.
“Kenapa bisa begini?”
“Mungkin ikut kesakitan karena ada ikatan batin,” katanya menahan tawa.
“Kita bantu saja.”
Mereka lalu menaikkan Tula di boncengan motor.
“Kata polisi, kalau mau lihat korban, bisa ditemui di Rumah Sakit dekat sini. Lupa namanya apa. Tapi Pak Tula ini kan keluarga.”
Tula yang tak sanggup bicara dengan tubuh sangat lemas, sedikit lega akan kabar itu. Seorang di antaranya ikut membenarkan saran yang lain kalau sebaiknya Tula sekalian berobat di rumah sakit itu.
Tula hanya mengangguk dan menaiki boncengan motor yang sigap melaju meninggalkan tempat kejadian. Namun mereka mendadak berhenti tatkala mendengar suara panjang sirine mobil ambulan yang terburu-buru lalu tandas begitu saja dari pandangan.
Hati Tula hancur berkeping-keping. Lelaki yang membonceng Tula menoleh ke belakang dan mendapati mata Tula terus mengucurkan cairan hangat meski tak terdengar isakan.