Narsius yang Mengharap Mati

SETELAH serangkaian pertempuran panjang yang melelahkan di Timur. Narsius si prajurit dari sedikitnya prajurit yang selamat, berjalan pulang. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, dia menjejak tanah dengan penuh kesakitan. Seluruh tubuhnya bergetar karena luka ketika berjalan, khususnya kaki kiri yang patah. Juga dengan mata kanan yang sekarang buta dan beberapa tebasan pedang yang terdapat di raga. Sesekali, ia menggertakkan gigi untuk menahan nyeri. Sesekali ia juga, tersungkur ke bumi.

Narsius berjalan beberapa langkah, setelah sebelumnya beristirahat di bawah sebuah pohon, tetapi napasnya terus memburu.

Luka-lukanya telah ia bebat, tapi darah kembali merembes setiap ia melakukan sedikit gerakan. Karena hal itu, ia kemudian akan terbatuk-batuk, sebelum akhirnya ambruk ke tanah berdebu di bawah. Tombak yang ia gunakan sebagai kaki ketiga untuk berjalan, untuk membantu kaki kiri yang ia seret, tak banyak membantu. Aku akan mati, begitu pikirnya.

Ia mencoba bangkit, tapi kembali ambruk. Mencoba bangkit, untuk kembali ambruk. Ia akan mati, entah karena luka-luka yang ia derita atau kelaparan yang mendera. Ia telah berjalan selama dua hari tanpa makan. Makanan terakhirnya adalah ular, kalajengking, dan bangkai seekor babi hutan tua yang ia temukan. Ia bersyukur karena walaupun telah tak makan selama dua hari, ia masih dapat meminum embun-embun di permukaan daun ketika pagi atau air yang terdapat di dalam batang pepohonan. Tapi yang jelas ia akan mati.

Kekalahan akibat pertempuran di Timur melawan suku-suku barbar telah terlalu banyak merugikan dirinya. Jiwa sekaligus raga. Ia dan segenap pasukan Sparta yang pulang dengan kekalahan akan baik-baik saja seandainya tak bertemu penyamun di tengah jalan. Mereka, para penyamun telah menunggu dan memasang jebakan untuk sisa-sisa pasukan yang malang dan kelelahan itu. Siap menjarah apa pun harta yang tersisa dari para prajurit. Siap membunuh siapa pun yang masih bernafas dari para prajurit.

Maka tak ada kesusahan berarti yang menghentikan mereka ketika para prajurit Sparta itu tercerai-berai oleh penyergapan dadakan yang tak pernah mereka sangka. Terbantai oleh anak panah yang melesat dari balik pohon-pohon atau terpenggal oleh kapak dan pedang. Tinggal pilih cara mati paling tak menyakitkan. Narsius sendiri selamat setelah berpura-pura mati dan menunggu malam hari.

Narsius mencakar tanah dengan kasar. Mencakar dengan segenap tenaga yang tersisa. Mungkin bermaksud mencari cacing atau serangga yang dapat ia temukan. Tapi tenaganya telah benar-benar habis, maka ia terlihat seakan hanya menggores tanah dengan pelan. Oh, malangnya!

Narsius kemudian berhenti, mengatur napas, mengingat kembali pertempuran-pertempurannya dahulu. Mengingat kepala-kepala pemimpin musuh yang pasukannya penggal, kepala-kepala yang dijadikan piala pada meja jamuan makan saat pesta-pesta di malam hari untuk merayakan kemenangan. Mengingat Luccia dan Belya, dua pelacur langganan kawan-kawannya yang selalu diundang datang ke kemah-kemah prajurit tidak peduli siang atau malam untuk dinikmati tubuhnya, tapi tak pernah berhasil membuat Narsius tertarik untuk bersenggama dengan mereka. Mengingat rekan-rekan prajuritnya yang telah gugur di medan perang. Oh Remus, Claudius, Demus, Ptolerexeus, Daesykus, Tlerius, Herasmus, Logeus, sahabat-sahabatku yang pemberani.

“Kenapa aku tidak mati dengan gagah berani di medan perang seperti kalian,” erangnya di jalan setapak yang sepi, masih dengan tubuh yang terbaring tak berdaya. Ia kemudian menyeret tubuhnya dengan perlahan, sangat perlahan. Ia tak ingin ajalnya semakin dekat dengan kehilangan lebih banyak darah serta tenaga. Ia sempat memikirkan bunuh diri dengan memakan beri beracun liar yang ia temukan untuk menghilangkan derita, tapi urung melakukannya. Ia terlalu takut bertemu Hades di Dunia Bawah. Lagi pula, ia sudah kalah berperang dan tak ingin kalah oleh keputusasaan. Seolah melupakan, bahwa ia sebelumnya telah menjadi tikus pengecut di pertempuran terakhir.

Tapi mau bagaimanapun, luka-luka dan kelaparan telah membuat tubuhnya amat sangat letih, tinggal menunggu waktu saja untuk ajal datang menjemput. Maka ia pun segera memilih bersandar di sebuah batu besar di dekatnya. Lebih baik menanti mati daripada langsung menghampiri.

Aku tetap akan mati. Entah sekarang, di hutan sepi ini atau beberapa puluh tahun lagi di ranjang tidurku.

Maka duduklah Narsius, si prajurit dari sedikitnya prajurit yang selamat. Sekarat penuh luka, ia mengeluarkan sebilah belati tajam berkilau. Kemudian mulai menggunakannya untuk menggores batu yang ia jadikan sandaran dengan tangan bergetar. Berusaha mengukir sesuatu di batu tersebut.

TERBARING DISINI
NARSIUS DARI SPARTA
PUTRA DARI ATRIUS

Setelah selesai melakukan hal itu, ia kemudian tersenyum setengah tertawa, dan belati terjatuh dari tangan. Ia ingin mengambil kembali belati itu, tapi ia urung, perhatiannya ditarik oleh sekawanan semut merah di dekat belati yang terjatuh. Memandang sekawanan semut yang membentuk barisan-barisan. Jika seekor semut merah berpapasan dengan semut merah yang lain maka mereka akan bersalaman dan kemudian lanjut berjalan. Begitu terus di antara semut yang lainnya.

Meski semula mata Narsius tertuju ke semut-semut, tapi pikirannya segera tidak berada lagi di sana.

“Lelah sekali,” lebih baik sekarang aku tidur pikirnya. Bahkan berusaha terjaga terasa begitu menyulitkan baginya.

Saat matanya telah setengah tertutup ia melihat sekelebat bayangan di depannya dan suara samar seseorang tertawa.

“Kenapa kau begitu sedih prajurit?” samar-samar Narsius mendengar suara itu, tapi ia terlalu lelah untuk membuka mata. “Kulihat kau telah membuat batu nisanmu sendiri, hahaha.”

Apa hanya imajinasiku? Tapi jelas terdengar suara seorang perempuan bagi telinganya.

“Buka matamu, tak sopan berbicara dengan seseorang tanpa melihat wajahnya. Apakah kalian para prajurit tidak memiliki tata krama?”

Dengan susah payah Narsius membuka mata perlahan, agak samar, tapi jelas di depannya berdiri seorang perempuan. Perempuan yang setelah terlihat lebih jelas keseluruhannya, memiliki lekuk tubuh serupa lekuk curam suatu jurang, dengan wajah berbentuk oval yang rupawan, berhias alis tebal serta mata biru sebening lautan. Di lehernya melingkar kalung dari rangkaian kulit kerang dan sepasang anting perunggu yang menggantung di kedua cuping telinganya.

“Kutebak kau datang mengambil nyawaku.”

“Aku bukan Thanatos Si Dewa Kematian.”

“Mungkin saja, kau malahan saudarinya yang celaka.”

Mendengar hal itu si perempuan langsung tertawa riang. Tawa itu sejenak membuat Narsius lupa diri.

Seolah lupa akan kondisi menyedihkannya, birahinya tiba-tiba muncul tanpa dapat dibendung. Buru-buru ia menundukkan pandangannya, atau ia akan segera takluk oleh kecantikan si perempuan. Pantang bagi Narsius, prajurit sepertinya mencintai seorang perempuan dibanding mencintai perisai dan pedang.

Si perempuan kemudian duduk di sebelah Narsius tanpa ikut bersandar di batu. “Kau akan mati yah?”

“Aku sekarat.”

“Aku dapat melihatnya.”

Narsius kemudian terdiam sambil si perempuan mencoret-coret tanah dengan sebuah ranting. Hal-hal kabur berlalu-lalang dalam batok kepalanya.

“Apa kau Roh Pembalas?”

“Apa aku terlihat seperti itu?”

“Aku tidak tahu, aku belum pernah bertemu Roh Pembalas sebelumnya.”

“Bukan.”

“Baguslah.”

Mereka kemudian terdiam kembali sambil si perempuan kembali mencoret-coret tanah dengan sebuah ranting.

 “Apa kau nyata?”

“Entahlah. Tapi apa arti nyata itu terlebih dahulu bagimu?”

“Sesuatu… yang jelas menurutku.”

“Apa aku nampak kabur bagimu?”

“Tidak, maksudku…, aku tidak tahu,” Narsius menarik napas. “Sulit untuk mempercayai pikiranku saat ini.”

“Kau akan mati, maka kau bimbang.”

Si perempuan berdiri, lalu mengambil belati yang tergeletak.

“Setidaknya beri aku air minum, meski kau nyata atau tidak.”

“Aku tidak memilikinya, aku hanya memiliki ini.” si perempuan menyayat telapak tangannya. Darah merah yang segar mengalir keluar, menuruni telapak tangannya dengan pelan. Jatuh tepat di wajah Narsius yang mendongak. Darah merah jatuh menetes mengenai dahi, pipi, dan hidung Narsius terlebih dahulu, sebelum kemudian turun mencapai mulutnya. Mencapai kerongkongannya. Hangat, pikir Narsius saat meminumnya.

Tanpa aba-aba, seolah semua kelelahan dan rasa sakit tak pernah ada. Narsius bangkit lalu mendorong si perempuan terjatuh, menindih tubuh si perempuan dengan tubuhnya. Lalu memegang kedua tangan si perempuan dengan masing-masing tangannya. Berusaha mencium bibir si perempuan. Si perempuan menatap garang. Bibir Narsius setelahnya turun ke leher si perempuan, mengecup sekali, mengecup dua kali, tiga kali, empat kali, kecupan setelah itu seharusnya menjadi kecupan ke lima, tapi Narsius kemudian menggigit leher si perempuan hingga berdarah dengan kuat, mengoyak daging yang terdapat di sana.

***

Di sebuah jalan setapak yang sepi, dua orang—meski yang satunya tak dapat disebut orang—menatap ke sesosok prajurit yang tengah tertidur pulas. Mengamati dengan senyap si prajurit yang seluruh tubuhnya itu penuh luka. Entah apa mimpinya, tapi tubuh itu bergetar sedikit, lalu terhenti, kemudian mati.

“Sungguh mimpi yang terlalu liar untuk orang yang sekarat,” ejek Mathius si gagak hitam. Dia memang gagak hitam ajaib yang dapat bicara.

Rekan sekawannya, yang sangat kurus serta berpakaian serba hitam menegurnya. “Tak ada yang terlalu liar atau terlalu aneh ketika seorang makhluk fana bermimpi.”






Bagikan:

Penulis →

Aldi Rijansah

Lahir di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Saat ini sedang berkuliah di Prodi Kehutanan, Universitas Mataram.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *