Memasuki Kekosongan

Tahajjud

Takbir pertamaku
Menghembus ke ritus gelap

Di sepanjang beku ini
Dalam keasingan separuh malam
Aku memasuki kekosongan
Tempat para perindu menabur benih
Sebelum sempat bertukar bayang
Jejak terpeleset ke dimensi bisu
Ke siur angin yang kehilangan dingin.

Tak ada alasan untuk tidak menampih jarak
Merentang kepastian dalam detik
Ada keikhlasan yang tidur dan bermimpi
Di malam-malam tanpa bunyi.

Tahajjud hanya sekerdip kilau bintang
Jangan sampai ada yang lelap dan hilang
Kecuali yang mau pulang dengan penyesalan.

Sumenep, 2022




Di Malam Arafah

Suara jangkrik telah hilang malam ini
Sunyi,
Beku di labirin waktu.

Di malam ini, kata kelelawar,
Gelap dirampas bulan
Angin bergerak ke halaman
Dan kami beribadah dari yang jadah.

Di malam Arafah, seribu kebaikan turun
Menggores runcing bulan.
Kami senantiasa menyambutnya
Sebagai kekasih yang rindu dalam doa

Sumenep, 2022




Tarwiyah

Surga turun
Ke balkon rumah
Kemudian malam
Tak hadir dalam gelap

Di mataku tumbuh resah
Dari peristiwa yang jauh itu
Tampak kesegaran rindu terapung
Kau berkata: pergilah sebelum bulan datang
Kuingat, kita akan diasingkan kenangan

Aku pun sadar:
Ingatan kita dulu beranjak malu
Berjalan tanpa jejak
Pohon-pohon berbagi dingin di luar sana
Merawat yang esok mungkin terlupa.

Sumenep, 2022




Di Pelabuhan Pasongsongan

Setiap mata angin berpilin ke arah tikungan
Dan cemara uban bagian dadanya,
Jalan perahu di laut ini
Akan goyah oleh penantian.

Kami lepas separuh ingatan
Di tengah tangis anak-cucu yang kehilangan moyang
Di tengah hening air mata perempuan.

Gusti, bila kami nyalakan mesin perahu ini
Kami tak mungkin berani bertahan
Dari bahaya gelap yang ramai.

Apa lagi sekilas masih kami lihat
Kilau nion-nion menyambut malam
Memerangi langkah ombak

Dan kami mesti berangkat
Membawa segala yang terikat di halaman
Sekalipun tangkai hampir tumbang.

Di pelabuhan Pasongsongan ini
Beratus hari berganti pakaian
Beratus malam harus telanjang
Sekadar mejumlah gugur daun
Di mata mereka yang senantiasa menunggu
Pada sesuatu yang mungkin terus dirindu.

Sumenep, 2022




Mendengar Tawa rindu

Aku mendengar tawa rindu
Seperti halnya putik kembang
Menyambut datangnya pagi.

Di halaman
Sisa hujan merapikan bayangan,
Merapikan segala yang berantakan
Termasuk penantian.

Kadang aku menemukan wajahmu di kelembutan mendung
Di sana aku belajar jadi hujan yang kesakitannya dirahasiakan awan
Dan aku belajar pada daun yang tahan memelihara siksa angin
Sambil memastikan segala kesegaran di dunia adalah tubuhmu
Dan tak sekalipun ada yang merindu kecuali mataku.

Aku merasa aroma tanah menyebar ke luas ingatan
Matahari bergerak menapaki bukit
Aku mengenangnya seluas waktu,
Seluas dusta kelak bila aku harus meninggalkanmu.

Sumenep, 2022




Gambar Pagi di Mata Aya

Di matanya tampak tebal mendung timur
Di matanya ia pelihara bisik burung-burung
Lewat kedipannya yang secerah matahari.

Namun tatapannya terlalu jauh
Pagi terus berjenjang dari halaman ke padang-padang
Dari pundak petani ke kilau dasi mentri
Dari tangan pencopet ke surban marbot masjid

Pagi tetaplah pagi
Yang sebentar lagi akan hilang
Yang besok mesti datang
Untuk menanyakan kembali kabar kembang-kembang.

Sumenep, 2022





Bagikan:

Penulis →

J. Akit Lampacak

Nama Pena Dari Moh. Wakit. lahir 03 Mei 2000. Mahasiswa IST Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep Madura Jurusan Teknologi Informasi, Sekarang Aktif di Komunitas Lesehan Sastra Ponpes Annuqayah. Tulisan-tulisannya telah tersiar di berbagai media cetak dan online.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *