Ke Mana Malin dan Ibunya Pergi?

JIKA aku bertanya ke mana Malin dan ibunya pergi, kalian pasti akan menertawakanku. Atau menganggapku telah mengajukan pertanyaan yang ngawur. Aku memaklumi, karena kita sama-sama mengetahui bahwa Malin telah berubah menjadi batu oleh kutukan ibunya. Namun, apa yang kemudian terjadi pada Malin, istrinya, dan ibunya kalian tidak tahu, bukan?

Bertahun-tahun aku menyimpan rapat rahasia mereka karena alasan tertentu. Itu boleh aku ceritakan jika persyaratannya telah terpenuhi. Dan kini, aku akan mengatakan itu karena persyaratannya telah terpenuhi.

Pernahkah kalian mengira jika sebenarnya Malin masih hidup, bahkan istrinya pun dalam keadaan segar bugar dan mereka punya dua anak?

Kalian tentu masih ingat ketika kalian tak menemukan ibunya, Mande Rubayah, di gubuknya. Kalian mengira dia pergi entah ke mana karena kepedihan yang disebabkan kedurhakaan anaknya, si Malin itu. Padahal, pada suatu tengah malam dia pergi bersama anak dan menantunya. Mereka pergi dengan berjalan kaki menyisir pantai, mendaki bukit, dan beristirahat di sebuah goa karang. Sebuah goa yang keberadaannya hanya aku yang tahu. Aku meminta mereka tetap di situ menungguku karena aku harus kembali pulang untuk mengambil beberapa barang penting. Dan tentu saja untuk berpamitan kepada kalian. Kalian tentu masih ingat saat aku berpamitan hendak merantau, bukan? Tanpa kecurigaan apa pun kalian melepaskanku. Namun, aku tak segera pergi. Aku sengaja pergi ke rumah Mande Rubayah dan pura-pura bingung dengan tidak adanya janda sepuh itu. Aku kabarkan itu kepada kalian semua. Kalian ikut bingung dan mencari janda sepuh itu seharian penuh. Hasilnya tentu nihil. Lalu, kalian menyimpulkan kepergian janda sepuh itu karena tak kuasa menanggung kepedihan jika setiap saat melihat anaknya yang telah menjadi batu.

Ya, ya, ya. Itu kesimpulan yang masuk akal. Tapi, tetap keliru karena aku tahu apa yang terjadi. Aku tetap pergi dengan membiarkan kalian dalam kesimpulan seperti itu, tapi aku berjanji dalam hati akan memberi tahu tentang rahasia ini kepada kalian. Walaupun, sangat mungkin kalian tak akan memercayainya.

Aku kembali ke goa itu dan mendapati mereka bertiga masih dalam keadaan baik. Kepada mereka, sedikit kuceritakan kejadian di kampung dan mereka tersenyum. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri pantai, mendaki bukit, dan beristirahat di tempat aman. Aman dari bertemu orang lain atau aman dari binatang buas dan berbisa. Bukan apa-apa, tapi berjumpa dengan orang bisa saja membuat geger, sebab kabar tentang Malin yang berubah menjadi batu telah menyebar ke seantero Andalas bagian barat ini. Begitu seterusnya perjalanan ini kami lakukan dengan sembunyi layaknya buron. Tapi, tak mengapa. Ini demi kenyamanan Malin dan istrinya, dan terutama demi ibunya.

Kami menempuh perjalanan yang ternyata sulit dan berat itu sudah berhari-hari. Entah kapan dan di daerah mana kami akan memutuskan menetap. Aku dan Malin harus bergantian menggendong ibunya. Perjalanan semakin terasa berat dan lambat setelah kaki istrinya melepuh. Maklum saja dia anak bangsawan kaya dan tak pernah melakukan perjalanan di medan seberat ini. Tapi, tak mengapa. Daerah yang kami rasa aman dan asing sudah semakin dekat, sebab sudah semakin jauh dan terpencil dari tempat tinggal kami. Pelan demi pelan kami melangkah, akhirnya tiba di sebuah kampung yang kami rasa terbebas dari orang-orang yang kami kenal atau mengenal kami. Itu pun masih kupastikan dengan menyelidiki bahwa mereka tidak mendengar kejadian tentang Malin sama sekali. Dan setelah yakin aman, kami memutuskan tinggal di kampung kecil itu.

Gubuk sederhana kami bangun, yang penting cukup longgar untuk kami berempat dan aman dari hujan dan panas matahari serta dinginnnya udara. Untuk bertahan hidup, aku dan Malin bekerja sebagai buruh pada kepala kampung. Hampir saja ketidakmampuan kami dalam bertani membongkar jati diri kami. Kami kemudian berterus terang bahwa kami adalah nelayan, dan mengatakan di daerah kami sedang ada wabah sehingga kami harus pergi dari daerah itu. Mereka percaya. Syukurlah.

Begitulah kami menjalani hari-hari kami. Hingga beberapa tahun kemudian, kami diperbolehkan membuka lahan pertanian sendiri di dekat hutan, dekat gubuk kami. Kemampuan bertani kami semakin baik dan terus membaik. Bahkan, aku sangsi apakah aku masih mahir melemparkan jaring ikan dan mendayung? Aku tersenyum mengingat-ingat rasanya berenang di lautan, caranya menganyam jaring, dan caranya menggerakkan tubuh saat mendayung agar efektif.

Aku rindu kampung nelayanku. Aku rindu aroma angin lautan. Aku rindu suara debur ombak menghantam karang. Aku rindu melihat gelombang air berkejaran.

Ingin rasanya segera pulang ke sana, tapi sumpah adalah utang yang tetap harus dipenuhi. Di kala mereka bertiga sudah tidur, aku duduk di serambi sambil memikirkan diri ini. Saat-saat seperti itu, kadang aku menyesali diri ini telah mati-matian membujuk Mande Rubayah agar mencabut kutukannya kepada Malin. Kadang aku merasa konyol telah meminta itu karena Malin dan ibunya sama sekali bukan siapa-siapaku. Alasan yang ada dalam kepalaku waktu itu hanya karena ingin punya keluarga. Aku sama sekali tak punya sanak saudara ketika orang tuaku meninggal saat aku beranjak remaja, seusia Malin ketika pergi merantau. Tetanggaku yang lain rasanya tak mungkin mau menampungku karena mereka merasa sudah susah mengurus keluarganya sendiri. Satu-satunya orang yang cukup baik hanyalah Mande Rubayah. Dia setiap hari memberiku makan, walau kutahu dia juga hidup kekurangan. Malin sendiri adalah sahabat yang paling baik. Kebaikannya itulah yang membuatku terpantik untuk mencari cara mengembalikan Malin menjadi manusia.

“Itu tidak mungkin,” jawab Mande Rubayah.

“Mande, jika doa Mande bisa menjadi kutukan, seharusnya kutukan Mande pun bisa dicabut dengan doa Mande,” kataku waktu itu.

Dia tidak segera menjawab, matanya menatap langit-langit rumah dibarengi tarikan napas yang berat. “Tidak, Nak. Walaupun doaku bisa mencabut kutukan itu, aku tak akan melakukannya. Biarlah kejadian ini menjadi pelajaran bagi anak-anak yang lain agar tetap menghormati orang tuanya. Apa pun keadaan orang tuanya.”

“Aku paham, Mande. Tapi, aku yakin Mande sebenarnya sedih melihat Malin menjadi batu. Aku tahu, hampir setiap hari Amak pergi ke pantai dan menatap jasad Malin. Mande selalu berkaca-kaca. Aku tahu semua itu, Mande. Jangan membohongi hati, Mande. Mande bisa memaafkan Malin. Mande bisa mencabut kutukan itu.”

Mande Rubiyah menatapku lekat.

Aku diam saja, menunduk. Membiarkannya berpikir. Sesekali mendongak melihat ke wajahnya. Setelah sekian waktu, kulihat matanya berlinang.

“Tapi, bagaimana jika kemudian banyak anak yang berlaku sesuka hati kepada orang tuanya. Berlaku seperti Malin, karena mengetahui Malin berubah menjadi manusia lagi?”

Aku pun tak menginginkan apa yang dikhawatirkan Mande Rubayah terjadi. Aku merenung memikirkan cara terbaik. Lalu, kukatakan rencanaku. Aku akan membuat patung persis dengan posisi Malin menjadi batu. Akan aku tukar jasad batu Malin dengan patung yang kubuat. Sedangkan, yang asli aku bawa pulang ke rumah Mande Rubayah. Jika doa Mande Rubayah terkabul, kami akan pergi dari kampung dengan diam-diam sehingga orang-orang akan mengira Malin masih menjadi batu.

Mande Rubayah tampak sangat menyimak penjelasanku hingga tuntas. “Apakah kau mau bersumpah menjaga rahasia ini, setidaknya sampai aku mati dan tak mengatakan sampai kapan pun tempat tinggal yang baru Malin kelak kepada siapa pun?”

Hatiku bergetar bahagia mendengar itu. Harapanku akan punya saudara sudah mulai terbuka. Aku tersenyum. “Demi Sang Pencipta aku bersumpah, Mande.”

Segera setelah tercapai kesepakatan itu, aku membuat patung semirip mungkin dengan posisi Malin menjadi batu. Kukerjakan itu secara sembunyi-sembunyi, di bukit karang terdekat dengan ombak terbesar agar suara palu kala menatah batu tak dicurigai orang-orang kampung. Harapan memiliki saudara ini sungguh membuatku bahagia. Kulantunkan doa agar Sang Pencipta mengabulkan doa Mande Rubayah dan menjadikan Malin sebagai manusia yang berbudi luhur nantinya.

Begitulah. Sepekan lebih aku mengerjakan patung Malin, sementara Mande Rubayah khusyuk mencabut kutukannya. Aku yakin, doa seorang ibu seperti Mande Rubayah pasti dikabulkan. Begitu aku selesai meniru bentuk batu jelmaan Malin, aku segera menukarnya dan membawa batu jelmaan Malin ke rumah Mande Rubayah.

Melihat batu jelmaan Malin bersimpuh di hadapannya, Mande Rubayah tersedu. Air matanya deras mengalir di pipinya yang keriput. Sebenarnya, aku tak ingin meninggalkan rumah ini, tapi aku teringat istri Malin yang berubah menjadi ikan mungkin juga akan menjadi manusia lagi saat batu jelmaan Malin berubah menjadi manusia. Karena itu, aku berjaga di tepi pantai, duduk dekat patung palsu Malin.

Malam-malam yang kulewati di pantai begitu sepi, sebab saat itu memang bulan yang dilarang untuk pergi melaut. Di malam ke tujuh aku berjaga, aku melihat sosok menyembul dari permukaan air pantai, cukup dekat dengan tempatku duduk. Seorang perempuan tanpa pakaian. Terperangah aku melihat keajaiban itu. Aku yakin itu istri Malin. Tapi, aku bingung harus dengan apa menutupi tubuh telanjang perempuan itu. Hanya baju dan ikat kepalaku yang bisa kuberikan padanya. Akhirnya, itulah yang kuberikan padanya. Segera kujelaskan dengan serba singkat kejadian ajaib ini dan mengajaknya pergi ke rumah Mande Rubayah.

Di rumah itu, kudapati Malin sedang sesenggukan dalam keadaan bersimpuh di kaki ibunya. Aku tak tahu apa yang dikatakan Mande Rubayah sehingga Malin menangis sedemikian haru. Yang pasti, kami segera berkemas seperlunya, karena kami memang tak punya barang banyak, hanya beberapa potong pakaian dan beberapa peralatan berburu. Persiapan itu tak lama, dan kami pun bergegas berangkat. Bulan tua yang redup dan awan tipis yang menutupinya membantu menyembunyikan perjalanan kami hingga tiba di goa itu kala matahari setinggi tombak tanpa diketahui orang lain.

Yah, begitulah rahasia yang selama ini kusembunyikan. Saat aku kembali ke kampung ini, Mande Rubayah telah meninggal. Malin telah punya dua anak. Jika kalian ingin membuktikan kebenaran ceritaku, kalian tak akan dapat membuktikannya. Aku telah bersumpah tak akan mengatakan letak dan nama kampung itu serta nama kami di sana.

Bagikan:

Penulis →

Era Ari Astanto

Penyuka bika ambon ini lahir di Boyolali. Saat ini bekerja di sebuah penerbitan buku pelajaran di Solo dan aktif di komunitas Sastra Alit. Karya tunggal yang sudah diterbitkan adalah Novel berjudul Jika sang Ahmad tanpa Mim Memilih (Najah, 2013), The Artcult of Love (Locita, 2014), Novel Bertutur Sang Gatholoco (Basabasi, 2018), Novel Riwayat Bangsat (Basabasi, 2019). Karya antologi: Memoar Bermasjid (Diomedia, 2017), kumcer Masa Depan Negara Masa Depan (Surya Pustaka Ilmu, 2019), Memoar Ramadhan dan Merantau (Diomedia, 2019), kumcer Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya (Divapress, 2020). Cerpen-cerpennya juga tayang di beberapa media online. Buku terbarunya yang terbit: Novel dwilogi Nama yang Menggetarkan (Diomedia, 2020).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *