Membaca Kematian dalam Hujan

Kematian yang Belum Terbaca

Kabar itu samar-samar tak terlihat, kadang ia deras bagai hujan
menikam pandangan, rayuannya pelan datang di sempadan waktu.

Padahal detik senantiasa menyentuh nyawa, tanpa sia-sia.
Bunyi ambulance mengikuti, sebagai tanda kematian datang dan pergi.

Kupahami ikhtiar pada lapisan-lapisan ajal, ia datang ke rumah. Apakah ia memeluk?
Membaca kematian, menyeret kelelahan pikiran di garis-garis palaing lantai
padahal peluk dan cium datang bergantian.

Rasa cemas mengganggu ribuan tubuh yang kaku, sebelum liang-liang
menganga membawa untuk diam.

Di luar orang-orang menggantung doadoa di udara:
“Ampun! Dosa tak berhenti, ia membentuk sekatan yang panjang
saat tim renovasi terlambat datang untuk membuat ruang-ruang!”

Apakah rasa takut tersimpan di jantung?
tiba-tiba menyerang hingga terhambat.

Kita sedang membaca kematian dalam hujan
setiap yang menetes ke bumi saling tabrakan
merobohkan segalanya lalu digenangkan.

Pekanbaru, 2022




Nasib Petani

Di petak-petak ladang padi, doadoa ditanam setiap pagi dengan rasa pahit diri. Dipintal sumbu pelita. Merajut nasib yang basah, setelah dihamili hujan peradaban. Tak usah berhenti, untuk mendengar sakral bacaan dukun. Itu hanya simbol panen di ujung tahun. Setelah diacak-acak binatang berhidung besar. Ia sedang berbiak. Menutup marwah para petani, serasa benar dicaci-caci. Hari-hari petani digores malu, kemudian harapan diinjak-injak hingga tenggelam pada tanah liat. Menyerupai lokan.

Pekanbaru, 2022




Zeemeeuw yang Malang

Dihembus segala angin, Zeemeeuw terbang ke ranting. Menahan dari goyangan hidup. Saat pintu ikan-ikan di laut tertutup, jantungnya selalu dikikis musim. hingga hanyut kemudian larut dan sangkut. Hujan waktu berkali-kali membasahinya.

Zeemeeuw  menangis, sepotong luka ia ditanggung di sayap. Mengibas rasa malang, turun di seonggok tanah, melihat pohon yang tak sanggup tumbuh. Sayapnya pernah dicakar elang di situ!

Saban senja air matanya, membasahi bukit batu. Langit terus muram sangat menyeramkan:

“Bertenggerkah aku? Dari silau cahaya para pemburu. Malam-malam yang karam dalam lautan kantuk! Segalanya kehilangan kuasa, untuk berkata,” kata burung itu.

Pada tubuh zeemeeuw ada bekas tembakan. Persis seperti kutuk peluru.

Ia malang. Di bawah batang tempat rumah pembangkang, yang terus bertualang memburunya.

Pekanbaru, 2022




============
Joni Hendri kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Pelalawan. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Dan juga alumni UNILAK Jurusan Sastra Indonesia. Karya-karya berupa naskah Drama, Esai, Cerpen, dan Puisi. Sudah dimaut di beberapa antologi dan media seperti: Riau pos, Solo Pos, Medan Pos, Radar Bayuwangi, NusaBali, Tanjung Pinang Pos, Pontianak Pos, Sulawesi Tengah, Bali Pos, Singgalang, Bhirawa,Waspada dan media online kompas.id, mediaindonesia.com, balipolitika.com, lamanriau.com, ngewiyak.com, langgar.co, haripuisi.id, riau sastra.com, riaukepri.com, marewai.com, becik.id, ceritanet.com, cerano.id, metafor.id Dll. Bergiat di Rumah kreatif Suku Seni Riau dan bergiat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Sekarang mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *