JALAN terjal berbatu, berkelok-kelok, dilalui mobil sang saudagar yang dikemudikan Lik Markum. Mobil melewati ladang bunga hortensia yang bermekaran: merah muda, biru, putih, dan ungu. Usia tua Lik Markum menyebabkannya mengemudi mobil dengan pelan-pelan. Pandangannya terhalang kabut. Sang saudagar yang sudah berumur setengah baya suka dengan cara mengemudi Lik Markum, tenang dan sabar.
Memasuki pelataran vila di Bukit Seroja, Dewi Uma tertarik pada beberapa tenda di tanah lapang. Turun dari mobil, ia duduk di gazebo, memandangi Telaga Bidadari di bawah tebing. Tampak juga dua gunung berdampingan tertutup kabut tipis. Ia teringat kekasihnya, Joko Bandung, yang sudah meninggal dalam medan perang di hutan. Sebelum tugas bertempur, Joko Bandung mengajaknya mengunjungi Telaga Warna. Berbincang-bincang lama di gubuk, memandangi telaga.
Kini semakin kuat kecurigaan Dewi Uma pada sang saudagar yang sengaja mengajaknya menginap di vila Bukit Seroja, dengan pemandangan Telaga Bidadari menghampar. Tentu sang saudagar merencanakan sesuatu, yang berkaitan dengan kekasihnya di masa lalu. Tapi bukankah Joko Bandung sudah
meninggal? Apa lagi yang mesti dipersoalkan dari seorang kekasih yang telah meninggal dunia?
“Kau merencanakan sesuatu?” tanya Dewi Uma pada sang saudagar.
“Aku tahu, kau memiliki kenangan yang mendalam pada telaga,” balas sang saudagar. “Dulu kekasihmu memberi cincin di tepi telaga.”
Dengan penuh perasaan, sang saudagar mengeluarkan kotak cincin dari saku bajunya. Dewi Uma terkejut, kotak itu bentuk, warna, dan ukurannya, sama persis dengan kotak cincin pemberian Joko Bandung. Ketika kotak cincin itu dibuka, Dewi Uma lebih terkejut lagi, sang saudagar telah membeli sebentuk cincin yang sama persis dengan cincin pemberian Joko Bandung.
“Kamu istriku,” kata sang saudagar, dengan ketenangan seorang lelaki yang menghadapi istri yang baru dinikahinya, “tentu akan terhormat bila mengenakan cincin pemberianku.”
Lama Dewi Uma memandangi suaminya, yang tampak serius menuntut kesetiaan. Ia tenang menukas, “Bukankah dulu aku sudah meminta, untuk diperkenankan memakai cincin kekasihku?”
“Aku pun ingin memberimu cincin. Kau berhak memikirkan kembali, lebih pantas mana, mengenakan cincin suami, atau cincin kekasih yang sudah meninggal?”
Menerima kotak cincin pemberian sang saudagar, Dewi Uma merasa tertikam permintaan lelaki setengah baya itu.
***
DARI teras vila terdengar suara anjing hutan menyusup pekat malam dan senyap. Terasa dingin, meski Dewi Uma mengenakan sweater. Sang saudagar sudah terlelap dalam selimutnya. Dewi Uma bertahan di teras vila, mendengar suara gemeretak api unggun yang dinyalakan Lik Markum. Lelaki tua itu memilih tidur di tenda, dengan termos kopi dan mendoan yang dipesan di rumah makan.
Suara gemeretak api unggun menggoda Dewi Uma untuk mendekati tenda Lik Markum. Ia duduk di kursi kayu dekat api unggun. Menghangatkan badan.
“Belum tidur, Lik?” sapa Dewi Uma setelah mencecap kopi panas yang dituang dari termos.
“Mungkin saya tak dapat tidur,” kata Lik Markum. “Bukan karena lereng gunung ini terlalu dingin. Saya tak bisa tidur lantaran ingat tagihan uang kontrak rumah yang belum terbayar.”
“Kau bisa pinjam uang suamiku!”
Menggeleng, lemah dan tanpa tenaga, Lik Markum menukas, “Saya tak berani pinjam uang saudagar. Takut beliau tersinggung.”
“Jangan cemas, Lik. Kuberi uang untuk bayar kontrak. Besok pagi antarkan aku turun ke kota, untuk cari bunga anggrek. Aku ingin menanamnya di rumah.”
Sepasang mata Lik Markum bercahaya. Ia tertawa tanpa suara, menampakkan gusinya yang membiru. Gigi-giginya sudah banyak tanggal. “Terimakasih. Kau tidak hanya menyelamatkan hidupku.”
***
PAGI, setelah bangun tidur, Dewi Uma menimbang-nimbang: cincin siapa yang mesti dijualnya untuk menolong hidup Lik Markum? Hingga makan pagi di vila, ia belum menemukan keputusan. Ia tak memiliki kemungkinan lain, kecuali menjual salah satu cincin itu.
“Aku turun ke kota dengan Lik Markum. Mau cari bunga anggrek,” kata Dewi Uma pada sang saudagar, yang berada di gazebo, memandangi Telaga Bidadari.
“Jangan terlalu lama, siang nanti kita pulang.”
Mencapai kota, Dewi Uma meminta diantar ke toko emas. Masih sepi. Toko emas mulai membuka dua lapis pintu besi. Langkah Dewi Uma bimbang, malu-malu. Keramahan perempuan pemilik toko emas setengah baya berkacamata, yang mengembangkan senyum itu telah membangkitkan keberanian Dewi Uma untuk mendekat. Diambilnya dua kotak cincin yang hampir sama bentuk, warna, dan ukurannya dari dalam tas.
“Salah satu dari kedua cincin ini akan kujual,” kata Dewi Uma. “Tapi aku tak bisa menentukan. Ambillah salah satu!”
Sepasang mata sipit di balik kacamata itu memandangi Dewi Uma dengan keheranan. Tapi perempuan setengah baya berambut sebahu itu tak mau larut dalam keraguan. Ia tak tahu, cincin mana yang lebih berharga bagi penjualnya. Sesaat ia memandangi dua kotak cincin itu, dan tangannya segera bergerak mengambil salah satu di antara keduanya.
“Cincin ini yang ingin kubeli,” kata pemilik toko emas dengan pasti, tanpa keraguan hati.
Dewi Uma segera mengambil dan membuka kotak cincin yang tak dibeli perempuan setengah baya pemilik toko emas. Tangannya bergetar saat membuka kotak cincin itu. Ia mengamati lingkaran dalam cincin, membaca nama kekasihnya: Joko Bandung. Sama sekali ia tak menduga, cincin yang dijualnya pagi ini pemberian sang saudagar. Ia tak menawar berapa pun cincin itu dihargai. Seluruh hasil penjualan cincin itu disisipkannya dalam dompet. Ia meninggalkan toko emas itu dengan hati yang berdebar-debar. Bagaimana bila sang saudagar menanyakan cincin yang diberikan padanya?
Dewi Uma memberikan seluruh uang penjualan cincin pada Lik Markum. Lelaki tua itu berterimakasih. Dewi Uma tak bercerita pada sopir tua itu, bila ia telah menjual cincin pemberian sang saudagar. Ia bersikap tenang, dan kebahagiaannya muncul manakala melewati pasar kembang, menemukan penjual bunga anggrek.
***
MENINGGALKAN Bukit Seroja siang itu, hati Dewi Uma masih gundah. Ia tak lagi mengenakan cincin di jari manis tangan kiri. Sang saudagar sempat mengamati jari manis tangan kiri Dewi Uma yang polos, tanpa cincin kekasih.
“Kau tak lagi mengenakan cincin?” tanya sang saudagar menyelidik.
“Oh, cincin itu kusimpan.”
Ketika mobil pelan-pelan menuruni jalan berbatu yang berkelok, tampak wajah Lik Markum tegang. Lelaki tua itu tahu, Dewi Uma telah menjual cincin. Hanya saja, ia tak pernah tahu, cincin pemberian siapa yang telah dijual.
Sang saudagar merasa lega, Dewi Uma melepas cincin yang selama ini melingkar di jari manis tangan kiri. Dalam benak sang saudagar, kini Dewi Uma berusaha melupakan kekasih yang sudah meninggal.***
Pandana Merdeka, November 2022