Petualangan si Penghapus Putih


DALAM himpitan pensil-pensil, Penghapus Putih berciuman dengan Penghapus Merah Muda, ketika tiba-tiba saja tutup kotak pensil terbuka: percakapan-percakapan serta cahaya lampu dari kelas 2B memasuki kotak tersebut, dan aroma stroberi Penghapus Merah Muda perlahan mengabur. Lalu, di atas mereka, Kiki si Pipi Berbintik-bintik menundukkan wajah. Kiki menggenggam kedua penghapus, telapak tangannya dingin dan berkeringat; sesaat kemudian telapak itu membuka, tepat di hadapan wajah seorang murid lelaki yang menggigit-gigit ujung tumpul sebatang pensil.

“Ambillah salah satu, Ardo,” kata Kiki terbata-bata, wajahnya memerah. “Aku menyukaimu.”

Dengan senyum mencemooh, tanpa ucapan terima kasih atau apa pun, Ardo mengambil Penghapus Merah Muda. Penghapus Putih menjerit—jeritannya tak terdengar oleh manusia—dan murid lelaki itu melangkah dengan dada membusung menuju mejanya di sudut belakang kelas.

Bel sekolah berdering ….

***

Bu Guru berbicara di depan kelas seraya menulis angka-angka di papan dengan spidol berdecit tajam. Di meja, di dekat buku catatan Kiki yang masih kosong, Penghapus Putih menangis tersedu-sedu—tangisannya juga tak terdengar oleh manusia. Sementara itu, Kiki tersenyum-senyum ke arah Ardo yang menguap dan terhalang murid-murid lainnya—meja mereka terlalu jauh: meja terbelakang dan meja terdepan: benda tanpa tangan maupun kaki seperti penghapus tak akan bisa pergi ke meja paling belakang.

Tiba-tiba terdengar jeritan Penghapus Merah Muda, jauh dan nyaring. Dari sela-sela tubuh para murid, yang berjajar di antara meja terdepan-terbelakang, terlihat Ardo menusuk-nusuk Penghapus Merah Muda dengan ujung runcing pensilnya—Penghapus Putih pun berteriak, “Sayang!!!”—lalu murid lelaki itu terhalang tubuh para murid lain ….

Kiki masih tersenyum-senyum ke arah Ardo, sementara para murid mendadak menulisi buku catatan dengan cepat, bunyi garukan mata pensil ke kertas memenuhi ruangan. Sekali lagi, terdengar jeritan Penghapus Merah Muda. Dan, saat Ardo kembali terlihat, ia sedang menggesek-gesekkan penggaris besi ke Penghapus Merah Muda!

“Kiki, kau tidak mencatat?” kata Bu Guru mendadak.

Kiki refleks menggeser tangan untuk menulis di buku catatan; sikunya mengayun dan menghantam Penghapus Putih hingga terjatuh ke lantai.

***

Penghapus Putih meluncur tepat ke samping kaki meja, dan terpental ke bawah meja, ke hadapan sepatu Kiki yang beraroma lembap. Dan, di ujung sepatu gadis itu, berdirilah seorang gadis lain yang seukuran Penghapus Putih, ujung kupingnya lancip, gaun serta rambutnya merah muda, dan membawa pensil yang pas di genggamannya.

“Selamat berpetualang, Pahlawan,” kata Gadis Merah Muda, mengayunkan pensil dan bola cahaya merah muda menyala di ujung runcingnya.

Bola cahaya itu melesat ke Penghapus Putih dan meledak, semuanya seketika begitu menyilaukan dan panas dan dingin dan panas dan dingin lagi dan, ketika cahaya menyilaukan mereda, sepasang tangan dan kaki telah tumbuh di tubuh Penghapus Putih. Penghapus itu terperangah. Sepasang tangan dan kaki tersebut berwarna serupa tubuhnya; ia pun berdiri dan melompat-lompat di tempat dan berlari berputar-putar—semua terasa normal, seakan sedari dulu ia telah memiliki sepasang tangan dan kaki.

Penghapus Putih memandang ke sudut belakang kelas, melewati kaki-kaki meja dan kaki-kaki para murid: kaki Ardo sedang tak bergerak sama sekali. Bu Guru menyuruh para murid membuka halaman selanjutnya, dan dari atas sana terdengar puluhan lembar kertas dibalik bersama-sama, dan jeritan Penghapus Merah Muda tak lagi berlanjut. Mungkin Ardo sedang diam. Mungkin Ardo sedang tertidur di tengah jam pelajaran. Mungkin sekaranglah kesempatan emas untuk menolong Penghapus Merah Muda!

Tapi, mungkin juga Penghapus Merah Muda sudah ….

Penghapus Putih berlari, berlari, berlari, melewati kaki-kaki yang tenang yang mengetuk-ngetuk lantai yang berayun-ayun hampir mementalkannya—dan tibalah ia di hadapan kaki meja Ardo. Murid lelaki itu mendengkur lemah. Penghapus Putih mengatur napas dan mendongak: meja itu tinggi, tinggi sekali—dan seperti dalam dongeng-dongeng yang Bu Guru ceritakan di kelas sewaktu Kiki masih kelas 1: para pangeran harus menggapai puncak menara atau tempat tinggi apa pun untuk menyelamatkan sang putri.

Para murid lain kembali mencatat dengan cepat. Penghapus Putih mengeretakkan jari-jarinya, memeluk kaki meja Ardo—rentangan tangannya hanya meliputi setengah dari lebar kaki meja—dan memanjatinya.

***

Penghapus Putih tiba di atas meja. Tak terlihat Penghapus Merah Muda, kecuali remah-remah tubuhnya. Selain itu hanya ada Ardo, yang meletakkan wajah di halaman buku catatan bergambar gedung-gedung tinggi, liurnya membasahi puncak salah satu gedung. Di samping buku catatan, terdapat kotak pensil besi berbentuk mobil; dari dalamnya terdengarlah samar-samar tangisan.

Penghapus Putih melangkah tanpa suara menuju kotak pensil. Tubuh kotak pensil membelah secara horizontal di bagian tengah, membelah pintu mobil menjadi dua bagian sama rata, dan ke celah belahan itu Penghapus Putih menyelipkan jari-jarinya. Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk membuka tutup kotak pensil. Jari-jari dan pergelangan tangannya memanas. Tutup kotak sedikit terangkat. Ia mengambil jeda sesaat, menarik napas panjang, dan mengerahkan seluruh tenaga lagi—dan tahu-tahu ia melayang: Ardo mengangkatnya dengan jepitan jempol dan telunjuk, lalu mengarahkannya ke hadapan wajahnya.

Mulut itu mengeluarkan aroma serupa orang berserdawa, meski Ardo sedang tak berserdawa. Dengan tangan yang bebas, lelaki itu mengucek-ngucek mata; tatapannya penuh tanda tanya. Dengan ujung telunjuk, ia menyentuh-nyentuh sepasang tangan dan kaki Penghapus Putih, sehati-hati menyentuh sesuatu yang menyengat. Situasi aman—sejauh ini.

Dan mendadak Ardo mengentakkan tangan kanan Penghapus Putih. Tangan itu sontak memanjang. Kulit lengan dan apa pun di baliknya memanas. Tangannya akan terputus. Ia menjerit.

“Ardo,” kata Bu Guru. “Jawab soal nomor tiga di papan. Itu lebih baik untuk menghilangkan kantukmu ketimbang mencuci muka.”

Para murid lain tertawa. Ardo membuka kotak pensil, memasukkan Penghapus Putih ke sana, dan menutupnya segera. Gelap. Langkah-langkah Ardo terdengar menjauh.

***

“Sayang … kaukah di sana …?”

Suara itu begitu dekat. Tapi tak terlihat siapa yang berbicara. Tak terlihat apa pun. Penghapus Putih melangkah cepat di atas pensil-pensil berdempet. Aroma stroberi itu semakin dekat, begitu dekat. Dan, ia melompat memeluk penghapus Penghapus Merah Muda! Ia pun menarik napas sedalam-dalamnya, menghirup aroma stroberi sedalam-dalamnya, dan menciuminya.

Tapi, ada sesuatu yang tak lagi sama. Penghapus Putih meraba tubuh Penghapus Merah Muda: berlubang-lubang. Lalu ia mengelus bagian atasnya: terpotong penggaris besi di bagian sudut.

“Aku akan mengeluarkanmu dari sini, Sayang.”

Penghapus Putih menyelipkan jari-jarinya ke celah belahan tutup kotak pensil, mengangkatnya sekuat-kuatnya, tutup kotak berdecit, dan perlahan-lahan cahaya lampu serta kalimat Bu Guru menyusup masuk. Satu ayunan lengan kuat: akhirnya tutup kotak pensil terbuka sempurna.

Ia akan membopong Penghapus Merah Muda, dan melompat ke lantai, dan berlari melewati kaki demi kaki para murid—entah untuk kembali ke kotak pensil Kiki ataukah tidak. Tentu ia akan memungut penjepit kertas di dekat kakinya kini, barangkali ada sesuatu yang harus dilawan. Ia akan menjadi pahlawan bagi Penghapus Merah Muda, bagi sang putri.

Pikirannya buyar: Ardo kembali duduk ke kursinya. Murid lelaki itu menyipit menatap kotak pensilnya yang terbuka. Penghapus Putih menggendong Penghapus Merah Muda dengan tangan kiri dan memungut penjepit kertas dengan tangan kanan. Mata Ardo melebar, tak percaya akan apa yang ia lihat. Sesaat ia menoleh ke depan kelas, memastikan Bu Guru masih fokus mengajar; diam-diam tangannya mengangkat penggaris besi, kedua penghapus terpantul di sana.

Penghapus Putih mengeratkan pegangan pada Penghapus Merah Muda dan penjepit kertas. Jika dalam kondisi sekarang ia melompat keluar membawa Penghapus Merah Muda, lalu Ardo mengayunkan penggaris besi, kemungkinannya untuk menghindar sangatlah kecil. Kemungkinan Penghapus Merah Muda terluka lagi sangatlah besar.

Ia harus menghadapinya sendiri.

Penghapus Putih pun meletakkan Penghapus Merah Muda kembali, dan hanya dengan penjepit kertas ia melompat keluar dari kotak pensil dan berlari ke titik tengah meja. Ardo mengayunkan penggaris besi secara menyamping—swushhh!—Penghapus Putih berguling menghindar. Napas Ardo tertahan. Dan, seperti hendak membelah meja menjadi dua, Ardo mengangkat penggaris besinya tinggi-tinggi. Penghapus Putih mengeratkan genggaman pada penjepit kertas.

“Lari, Sayang!” pekik Penghapus Merah Muda dari kotak pensil.

Dan Ardo mengayunkan penggaris—stakkk!—Penghapus Putih menangkisnya. Mata penggaris tersangkut di celah penjepit kertas.

Mata Ardo nyalang. Dahinya mulai berkeringat. Urat-urat bertonjolan di tangannya yang gemetar. Ia mengangkat penggarisnya, dan Penghapus Putih terangkat bersama penjepit kertas yang masih menggigit mata penggaris. Kini penghapus itu bergelantungan tepat di depan mata Ardo; mulut sang murid menganga, bau busuknya menjerat.

Sekaranglah waktunya!

Penghapus Putih mengayun-ayunkan tubuh, melontarkan diri ke mulut Ardo—membuat murid itu tersedak.

Ardo terbatuk-batuk keras. Seisi kelas menoleh padanya. Ia ingin muntah, tetapi muntahan tak kunjung keluar, pasti terhalang penghapus itu.

“Ardo …” ucap Bu Guru, “kau butuh ke toilet …?”

Ardo menarik napas sekuat tenaga: tak bisa. Ia pun berlari keluar kelas. Air mata mengaburkan pandangannya. Dan, di tangga, kakinya tergelincir. Tubuhnya terguling. Kepalanya menghantam-hantam anak-anak tangga. Begitu mendarat, Ardo terbatuk keras, lebih keras dari sebelumnya, hingga muntahan dan Penghapus Putih terlontar ke permukaan beton pelapis tanah. Murid itu pun pingsan; muntahan meresap ke celah-celah beton.

Penghapus Putih bersorak penuh kemenangan.

***

Muncullah si Gadis Merah Muda di atas hidung Ardo. Ia mencengkeram ujung hidung lelaki itu, menariknya sambil mengerang, dan berhasil mencabut bola cahaya merah tua. Kemudian, dengan bola cahaya tersebut, Gadis Merah Muda menghilang begitu saja.

Para guru dan murid berkerumun, menunduk di atas tubuh Ardo. Di antara mereka adalah Kiki si Pipi Berbintik-bintik, matanya merah dan basah. Ia pun memungut Penghapus Putih, telapak tangannya dingin dan berkeringat. []





===========

Bagikan:

Penulis →

Surya Gemilang

Lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Ia telah lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015), Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019), dan Icy Molly & I (novel, 2022). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Bacapetra.co, Basabasi.co, dan lain-lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *