DI TEMPAT persembunyiannya Raden Arya Mataram mengumpulkan pengikut setianya. Tidak kurang seratus orang; lima senapati, dua pendekar, dan sisanya adalah prajurit Jipang yang berhasil selamat. Ini pertama kalinya aku menghadap junjunganku sepanjang musim hujan ini. Terakhir kali aku bertemu dengannya saat Raden Arya Mataram menemui guruku, Ki Waseso untuk memata-matai Adipati Hadiwijaya.
Sebelum datang ke tempat persembunyian Raden Arya Mataram, Ki Waseso sudah menceritakan semuanya padaku. Tewasnya Arya Penangsang menjadi pintu masuk prajurit Jepara untuk menghancurkan Jipang. Seperti yang diketahui, Jipang takluk dengan mudah. Dan yang tersisa hanya Raden Mataram, istrinya, dan beberapa sanak saudaranya setelah Ki Waseso berhasil menyelamatkannya dari kepungan prajurit Pajang.
Malam ini pengikut setia Raden Mataram berkumpul bersiap menerima titahnya. Tidak terkecuali aku dan guruku. Semua khidmat mendengarkannya.
“Terima kasih kalian masih setia bersamaku. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk dilewati. Saat ini prajurit Pajang ada di mana-mana untuk menangkapku hidup atau mati. Tanah Jawa ini sudah semakin sempit. Gerakku semakin terbatas. Jelas ini tidak menguntungkan buat kita. Hari ini aku masih bisa bernapas dan melihat kalian, tetapi esok aku tidak menjamin nyawaku masih bersama tubuhku,” ujarnya kemudian menghela napas sebelum meneruskan. “Demi keselamatan trah Raden Kikin, demi melanjutkan perjuangan Kang Mas Raden Adipati Arya Penangsang yang gugur dengan gagah, sebagai seorang adik aku akan tetap melanjutkan perlawanan terhadap Pajang, tetapi tidak di tanah Jawa ini! Kurang dari sepekan lagi aku akan menyeberang ke Palembang. Aku akan membawa kalian semua untuk berlayar, melanjutkan perjuangan, mengibarkan panji-panji perlawanan,” kata Raden Arya Mataram ditemani istri dan anaknya yang masih kecil.
Hening.
Kemudian ia kembali berujar, “Sebelum berlayar ke Palembang, aku perintahkan Ki Waseso beserta muridnya, Rengganis, untuk merebut kembali senjata pusaka Keris Kyai Setan Kober milik Kang Mas Penangsang. Tidak ada senjata pusaka yang tersisa untuk dijadikan pegangan keluarga.”
Aku begitu terkejut ketika namaku disebut Raden Mataram. Tetapi aku tidak bisa berkata-kata di hadapan junjunganku. Kecuali guruku dan aku hanya mendengarkannya.
“Sendiko Raden. Aku berjanji akan merebut kembali Keris Kyai Setan Kober secepatnya,” balas Ki Waseso sambil menyembah.
Mendengar keris pusaka disebut hatiku bergetar hebat. Semua pendekar tahu kesaktian keris pusaka milik Raden Adipati Arya Penangsang. Keris yang dapat membunuh tanpa menyentuh tubuh musuhnya itu begitu ditakuti lawan-lawannya. Satu-satunya keris yang dapat menandinginya ialah keris milik Adipati Hadiwijaya yang ia dapatkan dari gurunya Kanjeng Sunan Kalijaga.
Setelah pertemuan singkat itu, aku masih memikirkan keris Kyai Setan Kober. Merebut kembali dari tangan musuh bukanlah pekerjaan mudah. Dan Ki Waseso masih bungkam saat kutanya mengenai hal itu. Ia tahu sebagai seorang pendekar yang mengabdi pada Raden Arya Mataram tidak ada kata menolak saat diberi tugas. Kesediaan menerima perintah adalah bukti bakti kesetiaan.
Setelah pertemuan itu, aku bergegas pulang untuk beristirahat sebelum besok bersiap ke Pajang. Itu yang diperintahkan Ki Waseso sebelum masuk ke kamar pertapaannya. Aku tahu ia akan bersemadi sepanjang malam untuk meminta petunjuk pada Penguasa Alam.
“Keris Kyai Setan Kober,” begitulah pikiranku menggerayangi pusaka sakti itu. Pertama kali aku melihat keris itu saat Raden Adipati Arya Penangsang menugaskan guruku Ki Waseso dan kakak seperguruannya Rungkud untuk membunuh Sunan Prawoto di kedatonnya.
Sehari sebelum berangkat menunaikan tugas dari Raden Arya Penangsang, Ki Waseso sakit keras dan ia memintaku untuk menggantikan dirinya untuk menghabisi nyawa Sunan Prawoto bersama Paman Rungkud. Jujur saja aku bimbang mendapat tugas itu. Sunan Prawoto pada saat itu baru saja diangkat menjadi Sultan Demak menggantikan ayahandanya Sultan Trenggono.
“Jangan takut Rengganis, tugasmu hanya menemani Pamanmu, Rungkud. Taati semua perintahnya,” ujarnya malam itu. “Kakang berangkatlah dan selesaikan perintah Raden Adipati Penangsang. Aku serahkan muridku Rengganis untuk menemani Kakang.”
Kami pun berangkat menyusuri hutan, menyeberangi sungai, menuruni bukti sebelum akhirnya sampai di pusat kota. Sepanjang hari pekerjaanku hanya mengamati penjaga kedaton Demak. Sesekali mengikuti kegiatan Sunan Prawoto ke masjid untuk berceramah. Melihat semua itu aku menjadi ragu, apa yang Raden Penangsang takuti dari Sunan Prawoto hingga ingin membunuhnya? Ia lebih sering ke masjid ketimbang memimpin pasukannya. Dari penampilannya Sunan Prawoto lebih layak disebut pendakwah ketimbang Sultan Demak.
Rasa penasaran itu pun aku tanyakan pada Paman Rungkud. Sore itu Paman Rungkud sedang memandikan keris dengan tujuh rupa bunga. Melihat keris aneh aku menjadi tertarik ingin mencobanya dengan beberapa jurus.
“Hati-hati keris itu bisa menyerap semua tenagamu,” kata Paman Rungkud.
Benar saja baru saja mencobanya dengan satu dua gerakan aku begitu lemas hingga akhirnya Paman Rungkud memungut kembali keris sakti itu dari genggaman tanganku.
“Namanya Keris Kyai Setan Kober,” kata Paman Rungkud. “Raden Penangsang meminjamkannya padaku. Katanya, ‘Sunan Prawoto akan tahu maksud kedatanganmu jika melihat keris Kyai Setan Kober’ semoga aku dapat memiliki keris ini setelah berhasil menunaikan tugasku.”
“Paman jikalau boleh tahu kenapa Raden Adipati Penangsang ingin menghabisi Sunan Prawoto. Aku lihat Sunan Prawoto tidak menakutkan seperti yang aku bayangkan,” tanyaku.
“Bodoh… Ini bukan hanya masalah jabatan. Juga bukan perebutan kekuasaan takhta Demak. Kamu masih bocah kencur tidak tahu lor-kidul.”
“Ceritakanlah, Paman.”
Malam itu Paman Rungkud dengan hati-hati menceritakan akar permasalahan di keraton Demak. Aku melongo mendengarkannya dengan khidmat.
***
Tewasnya Sultan Pati Unus meninggalkan kekisruhan di keraton Demak. Dua saudaranya Raden Kikin dan Raden Trenggono sama-sama tidak mau mengalahkan merebutkan tampuk kekuasaan. Keduanya sama-sama menginginkan jabatan sebagai Sultan Demak. Namun, Raden Trenggono mempunyai keterampilan yang mumpuni ketimbang saudaranya Raden Kikin. Atas dukungan ulama dan kerabatnya, Raden Trenggono berhasil menjadi penerus Adipati Unus.
Diangkatnya Raden Trenggono sebagai Sultan Demak ditentang oleh Raden Kikin dan putranya penguasa Jipang, Raden Arya Penangsang. Perlawanan keras yang mereka lakukan membuat kedudukan Sultan Trenggono terancam. Sebagai seorang anak tertua Sunan Prawoto tidak tinggal diam. Ia pun berencana membunuh pamannya, Raden Kikin.
Siang itu Raden Kikin baru saja menyelesaikan salat Jumat. Di tengah perjalanan pulang ia dijemput Prawoto dan pasukannya di seberang sungai.
“Mana pengawalku, Prawoto?”
“Sudah aku singkirkan Paman.”
“Apa maksudmu?”
“Selama Paman masih hidup, kedudukan ayahanda Sultan Trenggono sewaktu-waktu bisa saja lengser.”
“Jadi kamu ingin membunuhku?”
“Maafkan aku, Paman!”
“Kamu tidak akan dapat membunuhku dengan keris biasa seperti itu.”
“Aku sudah tahu, itu sebabnya aku curi Keris Kyai Setan Kober milik Sunan Kudus.”
“Kurang ajar, kamu Prawoto…”
Pertarungan pun terjadi di dekat sungai. Berbekal Keris Kyai Setan Kober, Prawoto dengan mudah membunuh pamannya hanya sekali tebas. Kematian Raden Kikin menggemparkan Demak dan Jipang. Arya Penangsang dan adiknya Arya Mataram menuntut Prawoto dihukum gantung. Namun, tuntutan Penangsang ditolak Sultan Trenggono. Ia bersikeras membela anaknya. Katanya, apa yang dilakukan Prawoto adalah bela pati terhadap negaranya.
Bertahun-tahun Arya Penangsang memelihara dendamnya. Setelah Sultan Trenggono gugur dalam suatu pertempuran. Penangsang memerintahkan kedua orang kepercayaannya Ki Waseso dan Rungkud untuk membunuh Sunan Prawoto yang baru saja diangkat sebagai Sultan Demak menggantikan ayahnya Sultan Trenggono.
“Tidak ada yang aku percayai selain kalian berdua. Aku sudah mengetahui ketangguhan kalian sebagai seorang pendekar. Bunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Kanjeng Sunan Kudus telah menyerahkan keris pusaka ini padaku. Bawalah dengan hati-hati, keris ini dapat mempengaruhi penggunanya. Hawa panas pada keris itu akan membuat penggunanya dengan mudah melampiaskan kemarahannya. Itu sebabnya keris ini hanya boleh digunakan di medan peperangan.”
Begitulah Paman Rungkud menceritakan secara singkat sejarah persaingan di keluarga keraton Demak. Dan hanya dengan menggunakan Keris Kyai Setan Kober kekuasaan dapat direbut. Sepanjang malam aku masih memikirkan Keris Kyai Setan Kober. Terbesit rasa ingin memiliki, tetapi menyentuhnya saja aku sudah kewalahan. Dan malam itu rembulan memberikan mimpi indah untukku.
***
Angin sore berembus kencang. Para pedagang lalu lalang di depan kedaton. Aku masih mengamati dari dalam kedaton setelah berhasil mengelabui penjaga dengan menyamar sebagai mantri yang diundang untuk mengobati keluarga Sunan Prawoto.
“Prajurit Demak begitu bodoh,” kataku dalam hati. “Apa yang harus dilakukan sekarang, Paman?” tanyaku.
“Tunggu sampai tengah malam.”
Setelah menunggu dengan memikul rasa bosan akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Rembulan tepat di atas kepalaku saat Paman Rungkud dengan mudah membunuh lima orang penjaga kamar Sunan Prawoto.
Kemudian ia memerintahkanku menjaga di luar kamar. Aku menurutinya meski mengintip dari balik pintu, ya aku penasaran, bagaimana keris sakti itu mencabut nyawa Sunan Prawoto.
“Apa yang kamu lakukan di kamarku?” tanya Sunan Prawoto sigap mengetahui tamu yang tak diundang.
“Sebagaimana Sultan menemui Raden Kikin di sungai beberapa tahun yang lalu,” balas Paman Rungkud sambil mencabut Keris Kyai Setan Kober, “masih ingat keris ini, Sultan?”
Aku melihat wajah Sultan Prawoto seketika pucat.
“Apa yang kamu mau lakukan kepada suamiku?” kata istri Sunan Prawoto dengan penuh rasa takut.
“Tanyakan pada suamimu!”
“Baik, aku akan menyerahkan nyawaku. Tapi dengan syarat!”
“Apa syaratnya?”
“Jadikanlah kematianku sebagai tumbal terakhir. Akan aku serahkan juga Demak pada Penangsang.”
“Baik, Sultan.”
“Jangan, Kang Mas,” kata istrinya sambil memeluknya tubuhnya dari belakang.
“Minggir, istriku.”
“Tidak!”
Tiba-tiba saja Paman Rungkud mendekati Sunan Prawoto dan menghunuskan keris Kyai Setan Kober tepat ke dadanya hingga tembus sampai ke belakangan punggungnya.
Seketika istri Sunan Prawoto jatuh tersungkur usai tubuhnya tergores pucuk Keris Kyai Setan Kober. Melihat istrinya tewas dengan sisa tenaganya Sunan Prawoto mencabut Keris Kyai Setan Kober kemudian melemparkannya tepat ke tubuh Paman Rungkud. Hanya dalam kedipan mata Paman Rungkud tewas bersamaan dengan tersungkurnya Sunan Prawoto di samping mayat istrinya.
Segera aku masuk ke dalam. Aku memeriksa napas Paman Rungkud. Ia sudah tewas dengan wajah menghitam. Aku mencabut keris yang menancap di tubuhnya. Keris sakti mengeluarkan cahaya merah seperti ada banaspati di dalamnya. Aku langsung melemparkannya ke tubuh Sunan Prawoto saat tenagaku diserapnya.
Aku menghela napas yang naik turun.
“Siapa kamu?”
Sial prajurit Demak yang sedang meronda memergokiku. Dengan gerakan cepat seperti kijang aku melarikan diri setelah berhasil menghabisi tiga prajurit yang menghadang langkah seribuku.
***
Sudah dua hari aku dan guruku Ki Waseso menyeberangi belantara hutan. Perjalanan yang tidak mudah bagi siapa pun. Dua ekor harimau berhasil aku jinakkan, tiga seekor ular sanca sebesar paha manusia aku sembelih untuk makan malam. Dan terakhir tiga buaya rawa-rawa yang membelah hutan berhasil aku bunuh tanpa harus bergulat di dalam air.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak bertanya. Begitulah guruku ia bicara hanya seperlunya. Makan hanya ketika lapar. “Tirulah harimau… ia makan jika hanya lapar. Jika perutnya terisi, mangsa di hadapannya pun tidak akan diterkamnya.” Begitulah nasihat Ki Waseso saat aku sedang makan dengan lahapnya.
“Setelah ini kita akan menuju ke mana, Ki,” tanyaku.
“Sebentar lagi sungai Begawan Solo sudah menanti kita. Setelah melewati sungai kita akan masuk kota. Dan bersiaplah jika sesuatu terjadi.”
“Apa kita akan langsung menemui Kanjeng Sultan Hadiwijaya, Ki?”
“Bodoh… Saat ini tidak ada yang dapat mengalahkan Kanjeng Sultan. Musuh terbesarnya sudah ia kalahkan.”
“Lantas…?
“Kita akan menyambangi padepokan Ki Juru Martani. Dia dalang di balik tewasnya junjungan kita.”
Dan benar saja apa yang dikatakan Ki Waseso setelah berjalan hampir setengah jam sungai Begawan Solo terbentang memisahkan dua hutan. Tanpa menunggu lama Ki Waseso terbang di atas air dan aku mengikutinya dari belakang.
Baru saja menginjakkan kaki di tanah Pajang aku dan Ki Waseso sudah dicegat puluhan prajurit perbatasan.
“Siapa Kisanak?” bentak salah seorang prajurit.
“Pengembara,” balasku.
“Turunkan senjata kalian!” pinta salah seorang lagi dan kelihatannya pemimpinnya.
“Hanya ini yang aku punya. Dan aku tidak bisa menyerahkannya.”
“Kurang ajar. Tangkap…”
Tanpa menunggu aba-aba dari guruku aku langsung meladeni mereka semua. Satu demi satu berhasil kupatahkan tangan, kaki, leher, dan iganya. Entah berapa yang tewas.
Selesai menghajar prajurit Pajang kembali Ki Waseso menceramahiku: “Jangan bunuh musuh yang sudah lumpuh. Kita seorang pendekar, bukan prajurit!”
Aku hanya mengangguk.
Kami terus berjalan. Dan aku tidak tahan berjalan puluhan kilometer jauhnya tanpa obrolan yang dapat menghiburku. Lagi-lagi aku mengajukan tanya mengenai Keris Kyai Setan Kober. Semenjak aku berhasil lolos dari kepungan prajurit Demak saat peristiwa pembunuhan Sunan Prawoto, aku tidak keluar hutan. Entah musim penghujan ke berapa aku melewatinya hanya untuk melatih kanuragan, juga menghindari prajurit Demak.
“Sebenarnya untuk apa Raden Arya Mataram meminta kita mengambilkan keris Kyai Setan Kober, Ki? Apakah ia sanggup menggunakannya?”
“Salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin ialah memiliki pegangan pusaka. Tanpa senjata pusaka maka ia akan dianggap lemah. Raden Arya Mataram tidak akan menggunakan keris Kyai Setan Kober untuk bertarung. Tetapi untuk menambah kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Keris adalah simbol adi luhung yang mesti ada di pinggang seorang lelaki apalagi bangsawan.”
“Jadi jika keris sakti itu berhasil kita rebut hanya untuk memamerkan jika dirinya pantas menjadi seorang pemimpin?”
“Bukan seperti itu. Kita orang Jawa yang mempercayai tradisi leluhur. Leluhur kita mengatakan jika seorang pemimpin memiliki gaman, senjata pusaka, maka kekuasaannya akan kuat di mata rakyatnya. Raden Arya Mataram berharap tauh dari keris sakti milik kakaknya. Dan kita tidak akan mudah merebutnya. Kita juga tidak akan pulang tanpa keris itu. Kamu tahu artinya?”
“Ya…”
Hahaha… Ki Waseso tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa, Ki?”
“Jika aku lebih memilih mati karena sudah waktunya. Rambutku sudah putih, tenagaku tidak seperkasa dulu, kesaktianku juga akan pudar bersamaan pudarnya jiwa dan raguku. Sedangkan kamu… usiamu masih panjang. Kamu masih muda, banyak hal yang belum kamu rasakan. Tugasku tidak hanya mendapatkan keris pusaka, tetapi juga memastikan kamu selamat.”
Setelah berjalan puluhan kilometer jauhnya akhirnya kami sampai di rumah yang kami cari. Ya, di pendopo salah satu senapati terbaik yang dimiliki Pajang aku dan guruku sudah disambut tuan rumah. Seorang prajurit mengantar kami masuk ke dalam ruang pendopo. Di ruangan yang cukup besar empat orang sedang duduk menunggu kedatangan kami. Entah siapa saja, sebelum Ki Waseso memberitahunya. Orang tua berambut putih yang wajahnya mengandung cahaya bernama Ki Juru Martani. Di sebelah kanannya Ki Pemanahan, di sebelah kanan Ki Panjawi, dan yang paling muda Danang Sutawijaya.
Jantungku berdebar hebat mendengar nama-nama itu disebutkan. Aku sering mendengar nama-nama mereka meski baru sekarang aku melihatnya. Jujur aku heran dengan guruku, kenapa ia memilih untuk menemuinya secara langsung, kenapa tidak secara sembunyi-sembunyi. Belum juga aku mengutarakannya Ki Waseso menjawabnya.
“Kita seorang pendekar. Bukan rampok juga bukan maling.”
setelah memberikan salam Ki Juru Martani mempersilakan kami duduk.
“Tolong bawakan minuman dan makanan untuk tamu kita,” perintahnya, “pastilah perjalanan melewati belantara hutan dan berbagi rintangan yang menghadang melelahkan kalian berdua.”
“Baik kita mulai saja,” kata Sutawijaya.
“Biarkan tamu kita makan dulu,” potong Ki Pemanahan.
“Terima kasih. Tenagaku masih cukup untuk menuntaskan tujuan kami datang ke padepokan kalian,” balas guru dengan tenang.
“Pikirkanlah lagi. Lebih baik aku kehilangan buronanku Raden Arya Mataram ketimbang kehilangan keris Kyai Setan Kober,” sergah Ki Juru Martani.
Ki Panjawi lalu melanjutkan terlihat dari gelagatnya. “Keris ini telah membunuh tuannya Adipati Penangsang. Aku tidak mau keris ini kembali menuntut tumbal. Permusuhan antara Pajang dan Jipang sudah selesai, janganlah lagi menuntut balas.”
“Aku hanya menjalankan perintah,” kata Ki Waseso kemudian dipotong oleh Ki Juru Mertani, “Kalian berdua seorang pendekar, tidak mempunyai kewajiban untuk menaati perintah. Seorang pendekar tidak diperintah juga tidak memerintah. Jiwa pendekar seperti elang yang terbang bebas membela kebajikan. Mengirim kabar kebenaran.”
“Benar. Dan dua elang itu terbang menuju ke sini dengan pilihannya yang sudah bulat.”
“Kalau kata-kata sudah tidak dapat memadamkan api yang menyala di dada, maka biar keris yang menyelesaikannya.”
“Biar aku dan Sutawijaya yang menghadapinya,” kata Ki Panjawi.
Di pelataran di sinari padang rembulan Ki Panjawi dan Sutawijya maju ke tengah. Aku memantapkan hatiku saat mengetahui anak muda yang akan kuhadapi berhasil mengalahkan Adipati Arya Penangsang.
“Jika kalian berhasil mengalahkan kami, maka bawalah keris Kyai Setan Kober ini. Dan dengan sendirinya keris sakti ini akan kembali memakan korban, entah Raden Arya Mataram junjungan kalian atau Kanjeng Adipati Hadiwijaya.”
Keris Kyai Setan Kober mengingatkanku dengan keris Mpu Gandring.
“Tetapi jika kalian gagal mengalahkan kami berdua, maka biarkan keris ini kembali ke pemilik pertamanya, Kanjeng Sunan Kudus,” kata Ki Panjawi melanjutkan.
“Baik, aku terima syarat yang adil ini,” balas guruku dengan begitu tenangnya seakan-akan kemenangan sudah di depan matanya.
Tiba-tiba Sutawijaya memburuku dan langsung mengayunkan kerisnya. Dengan sigap aku menangkisnya. Di saat aku sedang meladeni Sutawijaya, guruku dengan sengitnya bertarung di udara Ki Panjawi.
Keris yang beradu menimbulkan suara denting yang merobek kesunyian.
Sesekali aku berhasil mendaratkan pukulan ke dada Sutawijaya. Begitu pun sebaliknya ia berhasil meninju wajahku hingga darah mengucur dari hidung dan keningku. Napasku mulai naik turun, dan aku mulai kewalahan. Semua jurusku berhasil dimentahkannya. Dan di saat yang bersamaan Ki Panjawi berhasil menghunuskan kerisnya merobek punggung Ki Waseso hingga ia tersungkur.
“Ki….” teriakku.
“Tetap pada posisimu,” balasnya.
Dan semuanya berakhir dalam kedipan mata saat tombak Ki Panjawi berhasil menembus dada Ki Waseso. Ia masih bernapas. Aura kehidupan belum meninggalkan tubuhnya.
Melihat guruku terluka parah aku menjadi sangat marah. Tanpa ampun aku menyerang Sutawijaya. Berbagai jurus yang pernah aku pelajari aku kerahkan dengan membabi buta. Berulang kali aku berhasil memukulnya hingga ia babak belur dan tubuhnya berlumpur darah. Meski terluka parah ia menolak menyerah.
Sutawijaya masih tegak berdiri lima langkah jaraknya. Ia bersiap mengeluarkan jurus pamungkasnya. Baik inilah saatnya untuk penghabisan, pikirku. Kami berlari saling menerjang dengan mengeluarkan pukulan pamungkas.
Duaaar…
Ledakan besar terjadi setelah jurus pamungkasku beradu dengan jurus Sutawijaya. Entah di mana ia aku tak melihatnya. Aku hanya merasakan tubuh lemah, tulangku sepertinya remuk dan darah keluarkan dari mulutku. Tiba-tiba saja dari atas Sutawijaya menerjangku dan mengacungkan kerisnya di hadapan wajahku.
“Hentikan…” teriak Ki Waseso.
Ki Juru Martani dan yang lain mendekati guruku yang terluka parah.
“Kami masih bisa mengobatimu,” ujarnya.
“Tidak, kematianku sudah semakin dekat. Jika kalian berkenan aku ingin menebus muridku dengan nyawaku.”
Itulah ucapan terakhir Ki Waseso yang aku dengar sebelum aku tak sadarkan diri.
***
Sudah tiga hari aku di atas kapal menyusuri lautan pantai lepas. Tanah Jawa sudah hilang dari mata. Aku tinggalkan semuanya dan tidak ada yang tersisa. Hanya ingatan yang membekas. Dari atas kapal yang akan membawaku ke Palembang aku melihat wajah guruku Ki Waseso tengah tersenyum. Sebuah kehidupan baru akan aku jalani. Tidak sendiri, bersama Raden Arya Mataram dan pengikut setianya.
Setelah peristiwa itu aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat aku bangun semuanya sudah berakhir. Guruku sudah dikebumikan dengan layak dan terhormat. Dan aku dibiarkan bebas kembali pulang.
“Pulanglah anakku dan sampaikan salamku pada Raden Arya Mataram,” kata Sultan Hadiwijaya sambil tersenyum kemudian menyerahkan kuda untuk perjalananku.
“Terima kasih, Kanjeng Sultan,” balasku.
“Kamu mempunyai bakat menjadi seorang kesatria. Semoga Tuhan memberkati.”
Itulah pertemuan pertama dan terakhirku dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang tersohor itu.