PERTAMA kali dia menyadari ingatannya berkhianat adalah ketika dia mencari-cari kata yang hendak ditulisnya, tapi dia tidak mampu menemukannya. Saat itu dia berpikir peristiwa tersebut hanyalah peristiwa sekali waktu yang tidak akan terulang kedua kali. Namun peristiwa itu malah berulang, membuatnya yakin bahwa kemerosotan telah mendatanginya.
Setelah berulang kehilangan kata-kata yang hendak ditulisnya, kali ini dia kehilangan sebuah buku catatan kecil yang selalu dibawanya. Nyaris seharian dia mencari, buku itu tidak ketemu juga. Dia merasa ada yang salah dengan dirinya, karena tidak biasanya dia melupakan sesuatu, terlebih jika sesuatu itu adalah benda sakral tempat dia menampung segala ide sebelum dia tumpahkan jadi cerita. Buku catatan itu biasanya selalu dia letakkan di meja kerjanya setiap pulang bepergian mencari ide untuk menulis cerita. Meski pada akhirnya buku itu ditemukan juga, tapi tidak di tempat biasa dia menyimpannya, dan peristiwa itu menggetarkannya sampai ke sum-sum tulang.
Tidak ada yang lebih ditakuti oleh tokoh kita ini selain mengalami demensia. Untuk orang seperti dirinya, yang hidup sendiri tanpa seorang pun sudi merawatnya, kemerosotan ingatan jauh lebih menakutkan daripada kematian. Dia takut ketika membayangkan dirinya berjalan menyusuri kota dan tetiba lupa jalan pulang. Dia juga takut ketika membayangkan dirinya keluar rumah dan lupa menggunakan celana seperti laki-laki tua yang pernah dilihatnya ketika kecil dulu. Apa yang terjadi pada laki-laki tua itu terus membekas di ingatannya. Dia ingat bagaimana seorang wanita paruh baya dengan kasar menyeret laki-laki tua itu pulang ketika ia tertidur di teras sebuah mini market.
“Kenapa mereka membiarkan laki-laki tua itu diseret-seret, Yah?”
“Biar saja. Kita tidak usah ikut campur.”
“Ya, biarkan saja. Laki-laki itu membuat pelanggan kabur,” kata seorang di dekat mereka.
“Betul. Risih ngelihatnya,” komentar lainnya.
“Hust! Tidak boleh ngomong gitu. Bagaimana kalau kamu kualat dan tua nanti jadi seperti itu.”
“Kita tidak boleh membiarkannya,” kata tokoh kita.
Ayahnya tersenyum. “Itu anaknya,” bisik laki-laki itu. Tokoh kita kaget. Dia bingung kenapa laki-laki tua itu tidak mau ketika wanita itu mengajaknya pulang. Kenapa pula laki-laki tua itu terlihat seperti orang ketakutkan, seperti orang yang tidak kenal anak sendiri. Kemudian ayah tokoh kita menjelaskan kalau laki-laki tua itu tidak ingat rumahnya, juga tidak ingat kalau dia punya anak dan istri, dia cuma ingat mini market itu, yang dulunya adalah tanah kepunyaan ayahnya, pernah menjadi apa yang disebutnya rumah, dan karenanya dia tidak mau pergi dari sana. Ayah tokoh kita menjelaskan bahwa laki-laki tua itu mengalami demensia. Tokoh kita tidak tahu apa itu demensia. Itu kata yang baru didengarnya. Tetapi apa yang disaksikannya hari itu, cukup membuatnya berkesimpulan kalau dia benar-benar tidak mau mengalami demensia. Baginya, tidak ada yang lebih buruk dari kehilangan ingatan. Apalagi keesokan harinya dia melihat laki-laki tua itu duduk di teras mini market, dengan hanya menggunakan celana dalam dan kaos kutang, sambil menggaruk-garuk penisnya. Peristiwa itu disaksikan banyak orang dewasa dan menjadi bahan tertawaan anak-anak.
“Kenapa orang bisa mengalami demensia, Yah?”
“Tentu saja karena mereka tua.”
“Aku tidak mau jadi tua.”
Ayahnya terkekeh mendengar perkataannya. Laki-laki itu sadar betul kalau tokoh kita sama sekali tidak tahu kalau hanya mati yang bisa menyelamatkan dirinya dari menjadi tua. Ayahnya tidak tahu kalau tokoh kita sudah tahu kalau mati bisa menyelamatkan dirinya dari menjadi tua, dan karenanya anak itu bercita-cita mati muda. Setidaknya dia tak berencana hidup lewat dari usia lima puluh lima.
Sejak dia tahu kalau usia tua bisa membuatnya berisiko terserang demensia, dia sudah menyiapkan rencana untuk mati jauh sebelum demensia membuatnya jadi seonggok daging tanpa kesadaran. Namun cita-citanya tidak kesampaian, sekarang dia masih hidup di usia enam puluh lima. Musababnya sederhana, impian nomor satunya belum kesampaian; dia belum berhasil menjadi penulis sukses seperti Gabriel García Márquez. Tidak ada satu pun dari dirinya yang mendekati Gabriel García Márquez, kecuali demensia yang mulai mengancam hari tuanya. Demensia itu membuatnya berpikir kembali tentang kematian.
Tidak ada cara lain yang terpikirkan olehnya selain mati dengan sebutir peluru menembus kepala seperti yang dilakukan Ernest Hemingway. Dia berencana membeli pistol di pasar gelap. Sebenarnya sudah sejak lama dia berencana memiliki pistol dan menyimpannya di laci meja kerjanya. Tetapi dia tidak pernah jadi membeli pistol itu, dia takut jika depresi dan tekanan bunuh diri mendatanginya lagi, dia akan tergoda untuk melubangi kepalanya. Dia tidak mau mati sebelum karyanya bisa setara atau setidaknya satu tingkatan di bawah Hemingway. Itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya mampu menjalani hidup buruk seperti yang dijalaninya sekarang, hidup buruk yang membuat anak dan istrinya kabur meninggalkannya tersebab dia lebih memilih mimpi-mimpinya ketimbang keluarga. Demi menggenapi cita-cita masa kecilnya yang tertunda, malam itu, di sanalah tokoh kita berada, di depan seorang pedagang senjata ilegal.
“Kamu tidak mengatakan pistol jenis apa yang kamu inginkan,” kata laki-laki berkepala pelontos dan berkemeja hitam. Laki-laki itu memakai kacamata hitam padahal hari sudah malam. “Ini Magnum 367 berisi enam peluru,” kata laki-laki itu menyodorkan Revolver silver mengkilat dengan gagang berwarna coklat, “jika kamu menembakkannya ke kepala seseorang, kamu tidak lagi melihat kepala, melainkan debu berwarna merah.”
Tokoh kita tidak merespons. Dia diam dan membayangkan moncong pistol itu menempel di kepalanya. Melihat tokoh kita tidak merespons, laki-laki itu kembali menawarkan senjata lainnya.
“Ini Walter p-38 buatan Jerman dengan peluru sembilan milimeter. Klasik. Diproduksi masif saat perang dunia kedua. Jika Anda seorang kolektor maka ini pilihan yang tepat.”
Tokoh kita bergeming. Melihat reaksi yang tidak menyenangkan itu, laki-laki tadi menambahkan, “Pistol ini tidak hanya indah dilihat, ia juga senjata pembunuh yang baik. Lagi pula siapa yang terbaik dalam membuat senjata pembunuh jika bukan Jerman. Orang Yahudi adalah saksinya.” Laki-laki itu diam sejenak dan menatap lekat-lekat wajah tokoh kita yang agak mirip orang Arab. “Jangan tersinggung. Kamu bukan orang Yahudi, kan?”
Tokoh kita menggeleng. Laki-laki itu menghembus lega.
“Mungkin,” laki-laki itu mengacungkan jarinya, “mungkin kamu butuh sesuatu yang lebih besar.” Ia permisi ke belakang dan tak lama kemudian kembali dengan sebuah koper mirip tas gitar. “Aku yakin kamu akan suka ini. Senjata paling disukai para teroris, AK-47! Jika kamu ingin menghabisi setiap orang yang kamu lihat, ini adalah pilihan terbaik.”
Kecuali kata teroris yang diucapkan laki-laki itu, tidak satu pun kata yang menarik minat tokoh kita. Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepalanya. “Kamu pernah menjual senjata ke teroris?”
Laki-laki itu tampak memikirkan sesuatu. Ia menerawang wajah tokoh kita. “Kamu polisi bukan?” tanya laki-laki itu. Kemudian dengan tiba-tiba dia mengarahkan moncong AK-47 ke tokoh kita. “Kamu polisi bukan?” tanyanya untuk kedua kali. Tokoh kita dengan tenangnya menggeleng. Tidak sedikit pun rasa takut terlihat di wajahnya.
Laki-laki itu menaruh kembali AK-47. “Ah, tidak. Kamu bukan polisi. Aku bisa mencium polisi dari radius lima ratus meter,” ujar laki-laki itu terkekeh. Kemudian laki-laki itu bercerita kalau dia telah menjual senjata ke beberapa teroris yang namanya sudah terkenal seantero negeri. Dulu, dia juga adalah seorang teroris. Tapi dia bertobat. “Jadi teroris tidak enak, tidak ada uangnya,” ujarnya terkekeh. “Lagi pula aku tidak percaya pada bidadari yang selalu perawan. Kalau bisa dapat di dunia, buat apa bertaruh untuk sesuatu yang belum tentu dapat, benar tidak?”
Mendadak tokoh kita jadi tertarik mendengar cerita laki-laki itu. Dia sampai lupa pada rencana bunuh dirinya. Kecuali perasaan tidak enak kepada pedagang senjata itu, tidak ada lagi alasan baginya untuk membeli pistol keluaran Jerman. Dia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Dia punya rencana menulis sebuah cerita yang akan menjadi magnum opusnya, sebuah cerita yang akan mencatatkan namanya bersama para pengarang hebat dunia. Untuk itu dia berharap dalam waktu dekat, sebelum dia menyelesaikan novel karangannya, bom akan meledak di salah satu kota besar di negerinya. Dia percaya itu akan membuat novelnya laku bukan main dan dibicarakan di seluruh dunia. Namun sayang sekali, tidak ada bom yang meledak di kota besar negerinya atau bahkan kota-kota di belahan bumi lainnya.
Begitulah. Sekarang, jika Anda berjalan-jalan di suatu sore yang cerah, Anda akan melihat sorang laki-laki tua duduk di taman kota ini, sambil menggaruk-garuk penisnya. (*)
Gang Metro, 28 Agustus 2021