Menari Meniru Rumi



Sisi Lain dari Api

Aku cuma sehelai api
Menepi dari embus di luar ingin
Di lengket nyanyang mengapung
Tak hendak melukai apa pun
Tak bisa mematangkan apa pun
Tidak merayu benda-benda
Yang sudah lebih dulu menyala
Tidak menghamba di bilik puja
Tidak menggambarkan gejolak
Petualangan seekor babi bertuah

Aku cuma sehelai api
Menari meniru Rumi
Pada sepanjang putaran
Wajahmu bersuluh
Dalam liuk mabukku

Menari, menarilah
Ikuti geliang sukmaku
Di geletar biru nadimu
Sampai menjadi api
Yang paling Api

Sumenep, 2022




Nyaebu

Sudah saatnya tujuh puluh ribu biji tasbih
Mengantarkan ritmis tauhid ke petak petilasanmu

Miniatur biduk terbentuk dari sebungkal sungkawa
Dilarutkan riak-riak kesunyian
Mengangkut ketupat, gelamai, wajik, cucur,
Punar, serta sepaket pakaian

Bendera yang tertancap
Adalah sekerat isyarat dari bilik dada kiri
Berkibar, berkabar bahwa masa yang tertinggal
Jauh di belakang itu betapa merundung
Masa yang mengeroposkan diri
Demi mengenyangkan rayap-rayap penyesalan

Gerimis memberkati, pelupuk kemboja basah
Cuplikan-cuplikan rekaman otak terputar
Serak suaramu menakik lekuk-lekuk kesilapan

Kami tuang setoples air kembang berbaur linang kenang
Pada segunduk kunarpa waktu, di mana engkau memutuskan
Menjadi kemarau panjang sejak seribu hari lampau

Sumenep, 2022



Sejengkal Bambu dari Raedu

Ini bambu sangat dirahasiakan waktu
Ada air menumpang semadi dalam rongganya
Agar kebeningan jiwanya terjaga

Ia tidak beralamat di sembarang tempat
Tanah yang dipilihnya dipagari rentang sayap empat malaikat

Terimalah sebagai degup perjalanan, atau keluarga baru
Yang bakal membantu mengaminkan keriut dadamu

Namun tidaklah sempurna ia sebagai pusaka
Sebelum tertuang linang restu dari induk segala pusaka

Di hari kelahiranmu nanti
Kembalilah engkau kepada rahim duka kehidupan
Muasal tubuh sebelum angkuh
Tangis sebelum bengis, bahasa sebelum berbisa

Di sana, sejumput rambut akan menjadi beringin
Selintang benang akan menjadi jembatan

Sumenep, 2022




Tuban di Kepalamu
: Daruz Armedian

Alangkah mujur tidurmu
Bilai masa dilelapkan
Kecipak kisah-kisah purwa kala

Semula kau kepal sepukal batu
Ke tingkap mimpi yang ganih
Sejernih dersik kemarau
Di ujung cucuk bangau

Kau elus-elus batu itu
Bercelak layaknya permata
Pada kerak luka
Yang menguncup dari bara

Rupanya kau mendamba kejayaan
Sebuah kota jauh sebelum bentala
Dijatuhkan ke haribaanmu
Kota megah sebelum gelora perang
Mewariskan bengawan darah
Ingatan tertubruk tulang-tulang
Dermaga yang ambruk

Lalu kau terbangun
Kekosongan meniduri dadamu

Suatu saat, buana keparat
Yang kau asuh penuh asih
Mendirikan kerajaan baru
Di punggung kebun-kebun
Asap memayungi perkampungan
Plastik jadi kudapan lautan
Limbah jadi araknya

Tak ada perang kedua
Hanya saja harus ada
Siapa melawan siapa|
Sementara dirimu
Merupa lumpur hitam
Tanpa lamur pitam

Yogyakarta, 2022




Kuatren Hujan

Hujan berderau bagai detak jam yang kacau
“Tidak,” sanggahmu, sambil lalu buru-buru
Mengangkat sederet kenangan dari tampar
Jemuran, “Hujan tak punya bunyi. Itu sorak

Dedaunan, nyanyi dewi bumi.” Suara apa
Pun itu, ia telah menyemarakkan cinta kita
Berterimakasihlah kepada langit yang selalu
Mengerti kapan saatnya kita mesti bertukar

Geletar bahasa. Huruf-huruf yang kuyup
Di bibirku dan bibirmu akan saling mematuk
Mencipta desis api yang melebur suhu ruang
Hingga kita lupa—di luar, hujan masih sakau

Sumenep, 2022




Seciprat Darah

Uar kulitmu mengguncang suralaya
Maka aku terjun, menyusup
Ke celah mimpimu yang rimbun
Pantang aku pulang
Sebelum darahmu
Mengenyangkan getir takdirku
Kudengungkan soneta cinta Neruda
Mata sinismu terusik, menghardik
“Pergilah jika ingin panjang umur!”
Beberapa kali kau sabetkan serapah
Tubuh kerdilku terpelanting
Ke sudut dinding
Sayap tidaklah patah
Hasrat tak lampus sekali tepuk
Aku cuma minta seciprat darah
Tanpa senoktah luka

Sumenep, 2022




Tasya Rosmala

Dari jarak dua puluh meter daku
Menyorotmu di pentas sebagai ratu
Gaun merah bintangmu menyala-nyala
Rambut tergerai secantik malam pesta
Di antara remang-remang keramaian
Suaramu manis anggur memabukkan
Di antara ketuk kendang merdu suling
Langit bening, kabut pikiran berpaling
Tubuh larung dalam lirik kidung lama
Ingatan menyelam ke palung irama
Oh, rupanya waktu mempersingkat diri
Rupanya goyang pun mesti diakhiri

Sumenep, 2022





============
Daviatul Umam
, penulis kelahiran Sumenep, Madura. Menempuh pendidikan terakhirnya di MTs. 1 Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Tinggal di Warung Puitika, Yogyakarta. Buku puisinya, Kampung Kekasih (2019).

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *