“APAKAH Remin mati hari ini?” Penduduk Kalacuda bertanya-tanya, dan Albu tegas menjawab, “Tidak, Remin tidak mati hari ini, ia tidak mati hari ini, kemarin, besok, atau kapan pun.”
Untuk membuktikan kata-katanya tidak cuma omong kosong, Albu mengajak mereka—para penanya—ke rumah Remin. Rumah itu tidak terkunci, bagian luarnya bersih, dan bagian dalamnya penuh tumpukan buku dengan dinding-dinding dihiasi jejeran lukisan. Di dalam rumah itu meja, kursi, rak, kasur, tidak dihuni apa pun—tidak dihuni siapa pun. Hanya lemari-lemari yang sesak oleh bundelan majalah dan buku-buku koleksi Remin. Remin tidak pernah menikah dan tak seorang pun pernah tahu apakah ada sanak kerabatnya yang masih hidup atau tidak.
“Kalian hirup saja sendiri, betapa masih pekat harum nafas Remin!” kata Albu seraya membentangkan sepasang tangan seperti seorang pelayan restoran menyambut kedatangan tamu.
“Tidak ada apa-apa di sini.”
“Kaupikir benda di dinding itu apa?”
“Itu hanya lukisan.”
“Itu adalah Remin.”
“Kau pasti sudah gila, Al.”
“Lihat apa yang ada di lemari kaca itu!”
“Itu hanya buku-buku.”
“Itu adalah Remin.”
“Al, apakah kami perlu membawamu ke rumah sakit?”
“Aku mengatakan yang sebenarnya. Mengapa kalian pikir aku telah gila? Tidakkah kalian membuka mata lebar-lebar dan menyadari betapa nyata kehadiran Remin di sini. Ah, apakah aku harus membawa kalian semua ke dokter mata?”
Orang-orang menggeleng. Mereka saling berbisik satu sama lain, menggunjingkan ketidakwarasan Albu, juga diam-diam menyilangkan jari di kening masing-masing. Albu bukan tidak tahu apa yang mereka lakukan. Ia tahu, tapi ia tidak terlalu memedulikannya. Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang aneh atau kesalahan apa pun. Ia pikir satu-satunya masalah yang ada di antara ia dan mereka adalah ketidaksediaan mereka menerima jenis kebenaran yang belum pernah mereka jumpai.
“Apakah Remin mati hari ini?” Beberapa orang masih saling bertanya satu sama lain, tapi tidak ada yang tahu pasti jawabannya. Sedangkan satu-satunya orang yang berani menjawabnya dengan tegas—Albu—malah memberikan jawaban yang di luar nalar.
Tadi pagi mereka mengadakan upacara pemakaman Remin. Lelaki flamboyan yang tak seorang pun tahu berapa umurnya atau siapa nama sebenarnya itu digotong keluar pada pagi buta oleh Albu, sahabat sekaligus tetangga terdekatnya. Albu memang tidak mengatakan Remin telah mati. Ia hanya meminta bantuan para tetangga untuk lekas memakamkan jasad Remin. Sementara para penduduk Kalacuda masih bertanya-tanya apa penyebab kematian Remin dan kapan ia mati. Orang yang paling tahu soal kematian Remin adalah Albu. Namun, semenjak jasad Remin dimakamkan, ia yang memang sudah dikenal sebagai orang aneh menjadi semakin aneh. Ia sulit sekali diajak bicara dan tiap kali diberi pertanyaan senantiasa memberikan jawaban yang bikin siapa pun melongo.
“Kalian mengenal Remin sebagai apa?” tanya Albu seraya dengan senyum mengembang menatap deretan lukisan karya Remin.
“Ia tetangga yang baik,” sahut seseorang.
“Ia pendongeng yang andal dan pandai, setidaknya itulah yang kutahu dari anakku,” kata seseorang yang lain.
“Ia sangat dermawan.”
“Ia begitu ramah dan tidak pernah tidak tersenyum jika berpapasan dengan orang lain.”
“Kau sahabatnya, bukan?”
Albu mengangguk.
“Lantas kau mengenal Remin sebagai apa?”
“Ia adalah pelukis yang mengagumkan. Kalian amatilah lukisan di pojok kanan itu. Betapa mirip dengan lukisan Teriakan buatan Edvard Munch! Juga kalian pandangilah lukisan yang itu, itu, dan itu. Betapa hebatnya Remin, ia bisa meniru gaya Picasso, Van Gogh, dan Affandi sekaligus tanpa harus kelihatan seperti pencontek amatir.”
Mereka memandangi arah yang ditunjuk Albu, tapi mereka tidak menemukan apa yang dapat membuat mereka takjub. Bagi mereka deretan lukisan itu hanyalah lukisan-lukisan biasa, hanya gambar potret, pemandangan, atau guratan warna-warni yang kadang tak jelas membentuk apa. Demi menghormati Albu yang kelihatan sangat percaya diri mengungkapkan kekaguman terhadap lukisan-lukisan Remin, mereka tidak membantahnya. Hanya saja, mereka ingin menangis terharu melihat muka Albu. Ia pasti sangat berduka dan duka mendalam itulah yang membuatnya kini menjadi setengah gila, pikir mereka.
“Bukan hanya pelukis, Remin juga seorang penulis, penyair, dan sastrawan pilih tanding. Kalau kalian tidak percaya, sila ambil buku-buku karyanya dari dalam lemari kaca. Bacalah dan rasakanlah kehebatannya!”
Mereka tentu saja tidak akan menuruti seruan Albu. Lagipula, mereka yakin Albu sudah gila dan ocehan orang gila tidak selayaknya didengar apalagi dipatuhi. Tidak ada di antara mereka yang bergerak. Mereka sebungkam dan sediam batu. Albu bertanya, “Mengapa kalian diam saja? Apa kalian tidak merasa rugi tak membaca karya monumental Remin?” Albu mengatakan itu dengan nada kesal. Ia mengembuskan napas perlahan seolah menahan emosinya pecah. Sedangkan orang-orang masih bergeming menunggu apa lagi laku janggal yang bakal Albu lakukan.
“Kalian tahu apa sebutan yang pantas untuk masyarakat yang tidak menyukai lukisan dan bacaan?”
“Albu, kami ingatkan lagi, kami hanya ingin tahu satu hal, apakah Remin mati hari ini? Dan apa penyebab kematiannya?”
“Betul, Al. Sejujurnya kami tidak memerlukan semua omong-kosongmu soal lukisan, buku-buku, atau apalah itu namanya. Kami mau-maunya datang ke sini hanya untuk mendengarkanmu mengatakan semua hal yang belum kami tahu tentang kematian Remin.”
Albu meringis. Ia menundukkan kepala dan meremas rambutnya. Mereka menanti reaksi Albu. Detik-detik berlalu dan Albu masih khusyuk menunduk menatap sandalnya yang usang dan lantai rumah yang putih dan bersih. Mereka khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Sering mereka dengar kasus orang gila mengamuk dan mengacaukan apa pun di sekelilingnya. Mereka tidak mau itu terjadi. Sebelum itu terjadi, mereka memilih jalan aman. Mereka pamit pulang dan tak lagi menanyakan soal kematian Remin.
“Seharusnya kalian tetap di sini.”
“Kami harus pulang, Al.”
“Bukankah kalian sendiri yang bilang bahwa Remin adalah orang baik.”
“Kau benar.”
“Lalu kenapa kalian tak mau menemani Remin, menengok Remin barang sebentar?”
“Al, Remin sudah mati. Kalaupun kami mengunjunginya, bukan ke sini, tapi ke makamnya.”
“Kalian keliru. Remin belum mati. Ia tidak mati hari ini, kemarin, besok, atau kapan pun. Ia masih hidup. Mengapa kalian tidak bisa menyadarinya?”
Mereka bersipandang. Mereka semakin ingin cepat pulang. Mereka bersedia mengurungkan niat untuk pulang, asal Albu kembali waras. Alih-alih demikian, Albu menampilkan polah aneh. Ia mencomot buku-buku dari dalam lemari kaca, lalu memeluknya satu-satu sambil menggumamkan nama Remin. Ia juga mencopot lukisan-lukisan yang terpajang di dinding dan menciuminya satu per satu seperti seorang ibu menciumi anak-anaknya.
“Tidakkah kalian ingin mengungkapkan kasih sayang kalian kepada Remin?”
Mereka bergeming.
“Kemarilah, ungkapkanlah perasaan sayang kalian yang tulus kepada Remin. Peluklah ia, ciumlah ia, bukalah mata hati kalian untuk dapat melihat kehadiran Remin yang sangat nyata.”
Albu terus berucap demikian sambil memejamkan mata. Saat ia membuka mata, ia kembali bertanya, “Kalian tahu apa sebutan yang pantas untuk masyarakat yang tidak menyukai lukisan dan bacaan?”
Mereka bergeming.
“Kalian tahu apa sebutan yang pantas untuk masyarakat yang tidak menghormati seniman dan sastrawannya?”
Mereka masih bergeming.
“Sebutan yang pantas untuk mereka adalah ‘masyarakat yang menyedihkan’.”
Kendati begitu, tidak ada di antara mereka yang meneteskan air mata atau setidaknya memasang wajah haru. Ekspresi yang terpasang pada wajah mereka hanyalah keheranan. Yang kemudian menangis dan meraung-raung menyebut nama Remin justru Albu sendiri. Hanya ia seorang diri.
Orang-orang mendekati Albu dan berusaha menghiburnya. Mereka gagal. Albu jatuh pingsan. Mereka menidurkan Albu ke atas sebuah dipan di dalam rumah Remin. Albu tetap tidak bangun sampai tiga hari kemudian, sehingga orang-orang menganggapnya telah mati. Pada hari ketika orang-orang menganggap Albu sudah mati, mereka saling bertanya, “Apakah Albu mati hari ini?” (*)
==============
Erwin Setia lahir pada 14 September 1998. Penulis lepas. Aktif menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Detik.com. Cerpennya terkumpul antara lain dalam antologi bersama Dosa di Hutan Terlarang (2018) dan Berita Kehilangan (2021).