Luka Dan Pesona South Dakota

AMERIKA Serikat tentu saja bukan hanya New York, Washington DC, atau Los Angeles dan San Fransisco. Bukan hanya kota-kota besar yang gemerlap di Pantai Timur maupun Pantai Barat negeri raksasa itu. Amerika sejatinya lebih besar dan juga jauh lebih kompleks.

Di antara kedua sisi pantai Amerika, terbentang daratan amat luas. Terhampar lembah-lembah, padang-padang, sungai-sungai, danau-danau, gunung-gunung dan jurang-jurang menakjubkan di negara-negara bagian yang kerap disebut sebagai passed by states. Negara-negara bagian yang acapkali hanya dilewati ketika orang-orang terbang atau berkendara melintasi benua besar ini. Negara-negara bagian itu secara geografis terjepit di antara negara-negara bagian yang lebih maju atau lebih kaya serta kota-kota besar penuh cahaya yang menjadi pusat-pusat bisnis dan pemerintahan di Pantai Timur maupun Pantai Barat Amerika. Jangankan orang-orang dari luar Amerika, orang-orang Amerika sendiri dari kota-kota besar di atas masih banyak yang belum sempat atau belum berminat mengunjungi negara-negara bagian di daratan luas di tengah-tengah negeri adidaya itu.

Salah satu negara bagian di Amerika yang kerap hanya terlewati adalah South Dakota. Negara bagian di tengah negeri itu yang penuh pesona namun juga sarat luka masa lalu. Inilah negeri tua, daerah ulayat orang-orang Lakota (dari sinilah nama South Dakota berakar) dengan padang-padangnya yang amat luas, sungai Missouri dan cabang-cabangnya, gunung-gunung yang indah dan kerbau Amerika (tatanka) atau bison yang perkasa yang jumlahnya sangat banyak di abad-abad lalu. Padang-padang, gunung-gunung, sungai-sungai dan hewan-hewan indah inilah yang menjadi penopang hidup orang-orang Lakota dan sekaligus dianggap suci. Seperti umumnya masyarakat tradisional, orang-orang Lakota sangat dekat dengan alam. Orang-orang Lakota yang ironisnya kemudian banyak kehilangan tanah tumpah darahnya ketika orang-orang kulit putih di abad-abad lampau dalam jumlah kian banyak terus berdatangan di daratan luas ini.

Ya, South Dakota memang tak bisa dipisahkan dari tatanka. Kerbau unik dan magis yang hidup di bagian utara bumi (terpisah jauh dari kerabatnya, kerbau di daerah tropis) yang juga disebut bison. Hewan ini masuk dalam kelompok mamalia berkuku genap. Mereka membentuk genus Bison dari subfamili Bovinae dan familia Bovidae. Hewan ini lahir tanpa tanduk dan bisa hidup hingga umur 20-an tahun. Bison adalah hewan darat berukuran besar (jauh lebih besar dari kerbau tropika) yang hanya terdapat di Amerika dan Eropa. Di Amerika bagian utara, bison biasanya hidup dan berkeliaran di padang-padang rumput dan lembah sungai serta di daerah yang dipenuhi semak lebat karena mereka adalah hewan yang makanan utamanya adalah rumput dan tanaman semak.

Pada paruh kedua abad 19 lalu, kerbau Amerika ini pernah dinyatakan hampir punah karena jumlahnya yang menurun secara tajam terkait perburuan manusia serta pembukaan lahan untuk pertanian dan permukiman. Sebuah kehilangan besar secara ekonomi, ekologi dan juga spiritual khususnya bagi orang-orang Lakota dan juga sebenarnya bagi seluruh manusia serta planet bumi. Kekejaman sebagian orang-orang kulit putih dalam memburu kerbau-kerbau ini antara lain terekam dalam film legendaris, Dances with Wolves (1991), yang disutradarai dan dibintangi Kevin Costner yang pengambilan gambarnya dilakukan di South Dakota. Film lawas yang menceritakan sosok Letnan John Dunbar, pahlawan perang sipil Amerika, yang sangat ingin melihat frontiers seperti wilayah pemukimamn orang-orang Lakota sebelum masyarakat itu digilas “kemajuan” yang dibawa dan dipaksakan oleh orang-orang kulit putih.

Untungnya, sejumlah kalangan termasuk pemerintah dan para peternak akhirnya berinisiatif mengembangkan peternakan bison hingga akhirnya hingga kini kawanan kerbau unik ini dapat keluar dari malapetaka kepunahan. Meskipun apa boleh buat, sejumlah spesies tatanka tetap tidak bisa dipertahankan.

Kedatangan orang-orang kulith putih di abad-abad lalu yang terus mengancam keberlangsungan hidup orang-orang Lokota, termasuk sikap agresif sebagian orang-orang kulit putih yang memburu tatanka secara sangat brutal, membuat orang-orang Lakota tidak tinggal diam dan berusaha mempertahankan diri dan negeri tumpah-darahnya. Mereka bahkan berusaha dan sebenarnya sempat memproklamasikan kemerdekaan negerinya namun tidak diakui pemerintah Amerika Serikat. Negeri yang mereka ajukan sebagai tempat tinggal suku Lakota meliputi ribuan mil wilayah Dakota Utara, Dakota Selatan, Nebraska, Wyoming, dan Montana. Perbatasan yang mereka ajukan berdasarkan Traktat Fort Laramie (1851) antara Amerika Serikat dan kaum Lakota. Namun impian itu kandas. Mereka tidak berdaya menghadapi kedigjayaan orang-orang kulit putih yang memiliki kekuatan ekonomi, politik maupun ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih mumpuni.

Tetapi perjuangan orang-orang Lakota tentu tak terhenti dan mereka terus melahirkan para pejuang besar. Salah satunya adalah Tatanka Iyotaka (dilahirkan sebagai Hunkesni atau Si Lambat karena selalu berpikir lama sebelum berbicara, yang sejatinya menunjukkan kearifannya). Ia kemudian lebih dikenal sebagai Sitting Bull. Sosok hebat pahlawan orang-orang Lakota ini lahir sekitar tahun 1831 dan terbunuh pada 15 Desember 1890. Ia merupakan kepala suku Hunkpapa Sioux yang memimpin ribuan pejuang Sioux dan Cheyenne melawan Pasukan Kavaleri Amerika Serikat ke-7 (US 7th Cavalry) di bawah Jenderal George Custer dalam Pertempuran Little Bighorn yang legendaris pada 25 Juni 1876. Dalam pertempuran ini, pasukan Custer kalah telak dan sebagian besar terbantai oleh para pejuang Lokota.

Sitting Bull tentu saja dituduh bersalah atas pembantaian tersebut yang membuatnya terus diburu pasukan Amerika. Sitting Bull berusaha meloloskan diri dan membawa orang-orangnya yang setia menyeberang ke utara ke wilayah Kanada, di mana mereka tinggal sampai tahun 1881. Namun karena tekanan cuaca ekstrim maupun kelangkaan makanan, pada 20 Juli di tahun naas itu Sitting Bull membawa kelompok pelariannya menyerah kepada pimpinan tentara Amerika di Fort Buford, Montana. Pemerintah memberikan pengampunan pada Sitting Bull mengingat pengaruhnya yang sangat besar pada kaumnya.

Dengan pedih Sitting Bull sempat memilih mengembara bersama kelompok tokoh legendaris Amerika lainnya yaitu Buffalo Bill Cody (Wild West Show) yang kala itu merupakan sebuah pertunjukan amat terkenal. Sebagaiman sosoknya yang pendiam, ia tak banyak bicara dalam pertunjukan-pertunjukan itu. Acapkali ketika diminta berkata-kata, ia menyumpah dan mengutuk dalam bahasa asli Lakota, yang ironisnya malah disambut tepukan gemuruh para penonton.

Di penghujung hidupnya, Sitting Bull semakin putus asa dan tertarik kepada tarian hantu mistik sebagai cara menghalau penjajah dari tanah kaumnya. Upacara spiritual ini malah dinilai sebagai ancaman oleh pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah polisi diutus untuk menangkapnya. Para pengikut Sitting Bull yang setia tentu saja melakukan perlawanan untuk menghentikan penangkapan ini. Dalam hiruk-pikuk itu, seorang polisi menembak kepala Tatanka Iyotaka. Pemimpin orang-orang Lakota yang agung itu dan anaknya yang masih kecil bernama Crow Foot terbunuh. Luka orang-orang Lakota kian mengangah. Namun sosok dan wibawa Sitting Bull tetap dikenang hingga kini.

Sejumlah film seperti I Bury My Hearth in the Wounded Knee (2007, disutradarai Yves Simoneau berdasarkan novel berjudul sama yang ditulis Dee Brown) maupun Woman Walks Ahead (2017, disutradarai Susanna White) merekam cukup baik luka, perjuangan serta ketangguhan orang-orang Lakota. Termasuk peran penting para pemimpin kharismatik Lakota seperti Sitting Bull dan juga Crazy Horse dalam tahun-tahun menjelang keruntuhan peradaban tua ini. Sosok pelukis perempuan Catherine Weldon dalam film terakhir yang meninggalkan kenyamanan posisi kelas menengahnya di New York untuk bertemu langsung dan menggambar sosok Sitting Bull membuat generasi sekarang dapat menatap wajah pemimpin legendaris itu yang kini dipajang di banyak tempat dan lembaga di seantero Amerika. Seakan mengingatkan betapa semestinya ada ko-eksistensi damai antar warga Amerika terlepas dari ras dan warna kulitnya.

**

Kita cukupkan cerita mengenai luka di South Dakota. Menjelajahi negara bagian ini tentu tak akan absah tanpa menyebut pesona Mount Rushmore. Monumen Nasional Gunung Rushmore adalah salah satu tempat yang paling diminati wisatawan di Amerika Serikat dan disayangi banyak orang di dunia. Salah satu upaya pemerintah dan masyarakat supaya semakin banyak orang-orang Amerika dan dunia singgah juga di South Dakota, bukan hanya melewatinya ketika terbang atau berkendara melintasi negeri luas ini.

Monumen Gunung Rushmore menampilkan pahatan wajah empat presiden besar Amerika Serikat dari masa ke masa yaitu George Washington, Thomas Jefferson, Theodore Roosevelt, dan Abraham Lincoln. Pahatan wajah yang dimunculkan dari batu granit Gunung Rushmore dengan ketinggian 1,745 meter di atas permukaan laut, di kawasan sakral Black Hills. Sebuah upaya akbar berbiaya sangat besar berupa pahatan wajah para presiden di atas di punggung gunung setinggi 18,2 meter yang dikerjakan sejak tahun 1927 dan baru rampung pada 1941. Sebuah monumen yang sangat menakjubkan.

Sejarahwan negara bagian South Dakota, Doane Robinson, yang mengajukan gagasan pembangunan monumen Gunung Rushmore, supaya karya seni luar biasa ini dapat menarik lebih banyak wisatawan ke pelosok ini. Mengingat tingkat kesulitan proyek yang amat tinggi,  Robinson memilih seniman kawanan, Gutzon Borglum yang adalah alumnus sekolah seni ternama, École des Beaux-Arts dan Académie Julian, Paris, sebagai ketua pembangunan monumen. Namun terlepas dari sosok mumpuni Borglum dan timnya, tetap saja butuh waktu lama dan dan biaya amat besar (termasuk korban manusia yang cukup banyak yang bekerja di ketinggian berbahaya ini) sebelum monumen raksasa tersebut rampung,

Mengingat pengorbanan besar itu, Borglum menorehkan kalimat-kalimat kuat pada batu penutup di dekat monumen tersebut: “Biarkan kami tempatkan di sana, dipahat tinggi sedekat mungkin ke surga, kata-kata para pemimpin kita. Juga wajah-wajah mereka, untuk diperlihatkan kepada anak-anak cucu kita. Mari berdoa supaya catatan dan pahatan ini bertahan lama. Biarkan hanya angin dan hujan yang mampu merusaknya.”

Gambar 5: Para wisatawan menatap Monumen Gunung Rushmoredi pedalaman South Dakota (Foto, Nana Saleh)

Saking dramatisnya, sutradara legendaris Alfred Hitchcock, turut memperkuat kemasyhuran monumen Gunung Rushmore lewat adegan akhir film North by Northwest (1959) ketika mata-mata pembunuh mengejar sosok-sosok protagonis Cary Grant dan Eva Marie Saint yang berpakaian gemerlap di atas wajah kaku Presiden Washington dan wajah-wajah presiden lain yang diam membisu.

Kita tentu saja tetap dapat menyimak pesona maupun luka South Dakota secara tidak langsung lewat aneka media seperti film, buku, puisi maupun lukisan. Namun berjalan melintasi pelosok negara bagian ini, merasakan anginnya yang dingin menerpa wajah,  dan berbincang langsung dengan orang-orang di sana, membuat pesona dan luka itu terasa lebih nyata.

Terima kasih Eisenhower Fellowship (Global Program, 2019) yang telah memungkinkan kami menjelajahi kota-kota dan pelosok-pelosok Amerika, hingga jauh ke pedalaman South Dakota. Merenungi pesona sekaligus luka South Dakota. Belajar dari sejarah dan jatuh bangun Amerika. Melongok aneka sisi negeri besar dan amat kompleks ini.**



Bagikan:

Penulis →

Sudirman Nasir dan Nana Saleh

Sudirman Nasir, dosen/peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Senior Fellow di Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR-AIC), Eisenhower Fellow di Amerika Serikat (Global Program). Nana Saleh, peneliti dan kordinator riset Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR-AIC). IVLP Fellow di Amerika Serikat (Women in STEM). Keduanya penikmat sastra dan seni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *