Puisi; Rumah Abadi bagi Kesepian

Judul Buku   : Hal-hal yang Pergi
Penulis      : Dahri Dahlan
Penerbit     : Gerbang Visual
Genre        : Puisi
Cetakan      : II, 2022
Tebal Buku   : xvi + 86 halaman 
ISBN         : 979-602-51332-4-4

apakah kau memahami kesepianku seperti kamar yang kau tinggalkan ini memahaminya?
(Dahri Dahlan).

Tulisan ini akan memuat ulasan mengenai buku kumpulan puisi Hal-hal yang Pergi karya Dahri Dahlan yang diterbitkan oleh Penerbit Gerbang Visual. Buku ini memuat 41 jumlah puisi yang dibuka dengan sambutan oleh Joko Pinurbo dan Eka Budianta.  

Puisi adalah rangkaian kata sederhana yang dipilih dengan cara yang tidak selalu “sesederhana itu” oleh penulisnya. Puisi dapat dianggap sebagai karya magis yang kadang hanya melalui sekali proses pembacaan, tetapi bisa secara tiba-tiba terasa seperti teman dekat. Ia mampu menjangkau hal-hal paling rumit di dalam diri manusia. Di India pada masa lampau, puisi dianggap setara dengan kitab suci. Hal itu karena demikian berharganya puisi bagi orang-orang yang hidup pada masa itu. Puisi dipercaya sebagai penyeimbang kehidupan dan dijadikan sebagai bahan renungan yang menenangkan.

Hal-hal yang Pergi adalah buku kumpulan puisi yang eksis ketika orang-orang sedang sibuk mengaku merasa kesepian saat berada dalam keramaian. Dahri Dahlan sebagai penulis banyak menyematkan kata kesepian dan hal-hal yang merepresentasikannya di dalam buku ini. Hal tersebut membuat siapa pun yang merasa kesepian akan seperti menemukan teman dekat yang baru saat membaca buku ini. Menukil dari apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, bahwa   Kesunyian adalah bahasa Tuhan. Selain itu adalah terjemahan yang buruk. Ungkapan tersebut memberi makna bahwa kesunyian atau masa sepi adalah waktu terbaik untuk bicara pada diri sendiri, membaca tanda, dan memahami lebih banyak hal yang tersembunyi.

Kesepian sendiri adalah suatu keadaan di mana kita merasa tidak memiliki teman dan merasa tidak dibutuhkan oleh siapa pun. Orang kesepian seringkali merasa terasing dan berada dalam ruang lingkup kehidupan yang berbahaya. Puisi selalu muncul sebagai rumah paling aman bagi setiap kata yang tidak bisa sampai ke telinga siapa pun sebagai cerita. Menarik ketika melihat kesedihan digubah menjadi susunan kata yang elok. Salah satu contoh bait puisi yang menggambarkan kesepian adalah sebagai berikut.

aku tidak bisa pulang ke hati siapa pun. jalanan terlalu ribut untuk berbicara pada diri sendiri.

aku tidak tahu di mana ibuku berada. aku selalu lain setiap hari. aku pernah siap sekali tetapi pintu menuju ruang kemudi telah dikunci rapat dan semua orang tidak bisa kuajak bicara.

Kutipan tersebut adalah potongan puisi dalam buku kumpulan puisi Hal-hal yang Pergi karya Dahri Dahlan yang berjudul “Aku Tidak Bisa Pulang ke Hati Siapa Pun”.  Larik aku tidak bisa pulang ke hati siapa pun adalah gambaran kesepian paling nyata, di mana aku lirik tersebut tidak memiliki satu pun hal yang bisa dianggapnya sebagai rumah. Ia merasa tidak diterima oleh siapa pun. Larik jalanan terlalu ribut untuk bicara pada diri sendiri menyiratkan bahwa ia bahkan tidak bisa memahami dirinya sendiri. Membaca puisi bagi orang yang benar-benar kesepian adalah seperti menemukan belahan jiwa. Tetapi yang bisa membaca puisi tentu bukan hanya orang yang sedang kesepian. Puisi juga patut dibaca agar barangkali bisa lebih mudah memahami kesepian dan kehampaan orang lain.

Dikisahkan dalam roman klasik Layla Majnun yang ditulis oleh Nizami Ganjavi, ketika Qais mulai menggila akibat dipisahkan dari Layla, orang-orang menjauhinya dan menyebutnya majnun (gila). Mereka tidak tahu bagaimana kesedihan Qais ketika kehilangan Layla sampai Qais akhirnya mulai membuat syair. Melalui syair yang diciptakannya, mereka baru mulai paham kepedihan yang Qais rasakan dalam peristiwa kehilangannya itu. Orang-orang mengikutinya bahkan sampai ke tempat pengembaraan paling jauh semata agar mereka bisa mendengar syair-syair cinta yang disenandungkannya.

Demikianlah cara kerja puisi, ia memengaruhi siapa pun yang membaca atau mendengarnya. Hal serupa juga bisa terjadi pada siapa pun yang membaca Hal-hal yang Pergi. Setiap yang membaca karya ini akan mencium aroma kesepian yang kuat di banyak larik puisi di dalamnya. Seperti dalam kutipan berikut.

“banyak hal yang akan pergi. kesedihan telah menjadi tanah lapang. aku melihat
matahari tenggelam seperti ke dalam diriku.”

Larik banyak hal yang akan pergi adalah warning bahwa bagaimana pun, setiap orang harus siap ditinggalkan karena akan banyak hal yang pergi dan hilang dari diri kita. Sebagaimana kesedihan telah menjadi tanah lapang, setiap orang juga harus sanggup menerima selapang mungkin kesedihan atas kehilangan itu. Hal tersebut berkaitan dengan apa yang telah lebih awal disinggung dalam judul buku ini, Hal-hal yang Pergi. Kepergian melahirkan kehilangan, kehilangan melahirkan kesepian, dan kesepian kemudian melahirkan kesedihan. Begitu seterusnya.

Buku ini menggambarkan kesepian dari berbagai aspek kehidupan dan usia. Seperti dalam judul “Rumahmu Sepi Abadi,” digambarkan bagaimana kehidupan masa tua yang telah kehilangan banyak hal dalam hidup. Larik    kamu akan gemuk dan tua, pelupa dan kehilangan teman adalah fakta masa tua yang tidak bisa dihindari. Masa tua tidak lagi membiarkan kita datang ke kafe, memesan kopi dan duduk berjam-jam bersama teman-teman. Masa tua juga sudah tidak menghendaki kita datang ke bioskop dan menyaksikan bagaimana film bekerja dalam layar besar selama tiga jam penuh atau kurang. Barangkali tetap bisa, tetapi sensasi menyenangkannya sudah bukan milik kita.

Puisi ini bisa menjadi bahan refleksi diri bahwa di masa tua, kita akan lebih banyak berdiam diri, kita akan menjadi pelupa, dan sekaligus menjadi orang yang paling sering mengingat dan mengenang hal-hal lampau. Di masa depan, kita akan melihat diri kita sebagai seorang yang telah melalui banyak hal. Kita telah banyak menerima dan juga telah kehilangan sama banyaknya. Sebagaimana yang dituliskan dalam puisi yang berjudul “Pada Sebuah Pesta,” bahwa   semeriah apa pun sebuah pesta, ia pasti akan berakhir. Demikian pula kehidupan dan segala hal yang melingkupinya. Kita akan menjadi gelas yang ditinggalkan di meja pesta. Kita akan menjadi piring-piring yang bersetia dengan sepi.

Puisi lain yang menggambarkan kesepian dalam buku ini terdapat dalam kutipan berikut:

“orang-orang bertemu di jalan tetapi tidak bisa saling menyapa. memelukmu
adalah kesimpulan satu-satunya, tetapi aku tidak tahu di mana.”

Larik tersebut terdapat dalam puisi yang berjudul “Aku Ingin Memelukmu Tapi Tidak Tahu di Mana.” Melalui larik ini, lagi-lagi penulis menempatkan aku lirik dalam jebakan situasi yang membuatnya harus merasa sendirian. Puisi ini menggambarkan kehidupan manusia saat ini, di mana orang-orang memilih hidup dalam kesibukannya sendiri dan abai terhadap orang lain. Tindakan paling “sempat” yang bisa dilakukan oleh manusia saat ini untuk menyapa orang lain adalah dengan berbicara menggunakan klakson kendaraan.

Buku ini ditutup dengan puisi yang berjudul “Relung Pulang.” Larik gulungan layar kesepian di teluk memanggilku. sudah terlalu lama aku tidak pulang pada diri sendiri menggugah kesadaran untuk kembali merenung. Dari seluruh perasaan hampa dan keterasingan, benarkah kita sudah betul-betul memahami diri sendiri? Bagaimana bisa mengharapkan hubungan yang erat dengan orang lain, sementara dengan diri sendiri pun kita merasa asing. Saya menganggap “Relung Pulang” adalah penutup yang paling tepat dan hangat bagi buku ini setelah diterpa badai kesepian di sepanjang halaman.


Bagikan:

Penulis →

Hijrana

Lahir di Campalagian, 19 September 1999. Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *