Ihwal Kesepian

Empat Catatan Pertemuan
Empat Catatan Kepergian


waktu itu malam, seperti ini kali
yang datang; di meja yang sama
pojok dari ruang yang kupilih
“aku lebih dulu memilih kursi
ini,” kau merajuk

diamdiam pilihan kita sama,
sebuah meja coklat tua yang
sudah tua parasnya. sebab
digosok berulang pengunjung
(satunya kita tentu saja)
mungkin seperti kita ketika
kedua tangan kita bertemu
saling berpeluk di meja ini
lalu menggeser jika pengunjung
lain mengamati atau aku-kau
menyeruput minuman

catatan pertemuan, sepertinya
ada empat yang kuingat, yang
nanti akan mengisahkan sendiri
di lembarlembar buku perjalanan,
pertemuan, dan kepergian…

*

di antara gelasgelas yang berserak
aku ingin menerka soal waktu
berapa lama kita bisa bekabar?

di luar gerimis masih memainkan
perasaan kita; “kau sungguh?”
kau ragu?

*

karena hujan
kita bertemu

sebab gerimis
hatimu menangis

adakah malam?

*

masih ingat pertama bertemu
dan meja sudah penuh
kecuali di pojok ini
sisa dua kursi

kulihat tiada pengunjung
ternyata kau sedang memesan
aku pilih kursi menghadapmu
kau tak bisa menepis

tiada percakapan
tapi cukup untuk pertemuan

*

di meja ini, suatu malam, aku
mencatat ada kepergian
langkahnya amat perih
menusuknusuk mataku

tangan yang menggeser
kemudian menjauh dari meja ini
terasa kasar di telingaku
walau kuyakin tangan itu halus
jika membelai dan salaman

ada empat catatan (juga) tentang
kepergian. tapi, sungguh, aku
tak mau menuliskan di satu
lembar buku. kelak, kumau tak
ada yang membacanya
: ia akan terluka juga,
  seperti aku!

*

sekiranya kursi + meja
ditambah pula ruang itu
kita minta bercerita
akan diurai empat catatan

— kau datang dan duduk
lalu menyeruput segelas
minuman; sisa merah
mengekal di gelas itu
+ aku duduk belum ada
kau, kukira aku lebih
dulu. kiranya kau sudah
memilih lalu mengambil
pesanan

sekiranya gerimis tak reda,
tak akan ada kepergian 
tak ada yang sakit
tak ada…

*

aku selalu berdoa agar
gerimis tetap berkunjung
dan kita pun bersenandung
ihwal kesepian

aku selalu berharap
kau tetap di kursi itu
dan kucuri wajahmu
lewat mataku sayu

*

inilah empat catatan
pertemuan dan empat
catatan kepergian

kelak halaman buku
setia untuk mencatat
kembali. disebutnya
berulangulang
kepada yang datang

2022




Kunjungan


: sit

dunia di belakangmu
yang lama ditinggal
tetap akan berpendar
tapi kau kini memudar

sebuah kayu di tangan
kananmu, bagai tiang
bagi bangunan
kau seret kaki kiri
ke rumah suci

di belakangmu dunia
yang dulu berpendar
hanya kenangan sekarang

bahkan, tak mungkin
kau jadikan mimpi

“itu waktu yang lama
dulu sekali…”

Telukbetung, 17 Desember 2022




Berapa

berapa rindu kausiapkan?
berapa kasihku untukmu!

jalan waktu mengaburkan
jalan liku melupakan


2022




Bagikan:

Penulis →

Isbedy Stiawan ZS

Seorang sastrawan asal Lampung dan alumni Forum Puisi Indonesia 87 yang masih produktif sampai kini. Buku-buku dan karya puisinya kerap memenangkan lomba/sayembara, atau masuk nomine. Tahun 2022 ia meluncurkan buku puisi terbitan Siger Publisher, yakni Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan, Mendaur Mimpi Puisi yang Hilang, Ketika Aku Pulang, dan Masuk ke Tubuh Anak-Anak (Pustaka Jaya, Bandung). Pada 2015 Isbedy pernah sebulan di Belanda dan lahirlah kumpulan puisi November Musim Dingin. Buku puisinya, Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua masuk 5 besar pilihan Majalah Tempo (2019) dan Kini Aku Sudah Jadi Batu! terpilih 5 besar Badan Bahasa Kemendikbud RI (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *