LENTERA HIKMAH
Begitu sering
Kita melihat
Namun terlalu sedikit
Kita mendengar
Selalu gemar berkabar
Di kamar yang dihuni pikiran
Dan ingin
Tangantangan
Tak pernah menggapai
Langkah-langkah
Bergerak di tempat
Siapa memetik
Bunga bintang?
Memimpikan jatuhnya
Di kala siang
Cahaya suci
Berasal lentera hikmah
Dari ribuan mata
Menusuk-nusuk
Minyak air mata menggenang
Berlinang
Api kecilnya begitu tabah
Sebelum rebah
Indramayu, 2019
KAMUS KECIL MENCINTAI
Dari tanah dan air asal mawar
(mawar merah dan mawar putih)
Yang kudapatkan dari kamus kecil mencintai
Kepada ibu
Kepada ayah
Tumbuh dengan akar di kaki
Wewangian surga menjalar di tangkaitangkainya sebagai
Penjaga.
Siang dan malam
Di halaman yang kutandai dengan keharusan cinta
Sepanjang zaman dan sejarah
Seperti puisi bekerja pada larik-larik dan warna
Mengemas kata
Dunia dengan bahasa
Lambang dan bebunyian yang menciptakan nyala
Cahaya.
Kemudian setiap hari akan lahir
Keindahan dari bayi-bayi mungil
Tubuh yang terus berkembang sebagai bangsa
Atau sebuah cita-cita
Mata menatap jauh ke depan
Tangan memeluk daratan dan lautan
Bahkan udara sebagai kemurnian dari bau kebun moyang
Aku dan tentu saja kita akan lebih banyak lagi menanam
Bebiji kebaikan di urat-urat bumi
Yang pernah tergenang oleh air mata
Sisa dari luka penjajahan
Pintu-pintu dan jendela-jendela terbuka
Seembus angin
Menuai keharuman
Indramayu, 2020
KALENDER
Setiap akhir tahun aku membeli kalender baru
Menggantungnya di dinding yang retakretak
Menutup aib, nasib
Setelah lebih dulu menurunkan kalender lama
Yang pernah hidup di tubuh ini
Sebab sepertinya, ada perjalanan hidup
Ia masih hangat melekat
Menyatu dengan sebuah paku yang setia di sana,
Berkarat di sana
Sebagai lembab zaman dan dunia
Yang manis, yang pahit, yang putih, yang hitam
Menjadi anasir
Pada lembar nama bulan
Dan masih di tahun pandemi ini
Aku menghitung, berapa banyak:
* Hari kerja
* Hari libur
Tapi sial, seluruhnya
Adalah harihari membayar duka
Kehidupan yang mesti terus dijalankan
Yang telah ada
Seperti menghargai hidup itu sendiri
Indramayu, 2020
HUJAN DI TUBUH PUISI
Setelah berlalu aroma rumput kering
Padang dan ladang bergetar terbakar
Dilempar oleh musim
Pada suatu malam dan sepi
Hujan perlahan turun di tubuh puisi
Meluapkan sungai
Mengalir di sela kita
Melimpahi jajaran teratai
Daun lebar berenang
Batu-batu bergeser
Melepaskan lumut
Menyusur kita mengembara
Dunia kita sendiri
Kita mendengar arus memusari kata
Air berombak dalam riak sajak
Menghanyutkan komposisi puitika
Di bawah rintik gerimis
Kenangan itu begitu lembab
Tampak kelabu seperti gumpal awan
Hujan kembali jatuh dari tangkainya
Gugur rindu dan deraiannya
Tak perlu menyimpan air mata
Terlalu berat pelupuk menanggungnya
Bukan dinding bendungan
Hanya tirai yang kadang tersibak
Lalu tampaklah duka dan luka
Namun, itu jauh lebih baik
Karena kebohongan tak memberikan apa-apa
Indramayu, 2019