Ngalor-Ngulon



WAKTU sudah sore. Entah jam berapa persisnya, sepertinya sudah hampir habis waktu ashar. Sepanjang jalanan yang kulalui ini, hujan turun deras sekali. Begitu derasnya, sampai-sampai pandangan mataku kabur untuk melihat ke depan. Apalagi kaca helmku yang telah penuh dengan bulir-bulir percikan air, semakin membuatku kesulitan berkendara. Jas hujan memang sudah kukenakan, namun rasanya bajuku tetap kuyup. Ah, sial, hujan deras disertai angin membuat jas hujanku tersingkap tak karuan. Air pun banyak merembes masuk menembus bajuku.

Kulajukan motorku pelan-pelan. Karena jalanan aspal mulai tergenang air dan licin, aku mengurangi kecepatan dan berusaha untuk tetap berhati-hati. Tapi, Pyuurrr!! Mendadak sebuah mobil melaju sangat kencang dari arah berlawanan, menghempaskan air genangan hingga menyiram wajahku. Bangsat! Seketika aku kesal, ingin sekali mengumpat sejadi-jadinya. Tapi urung. Karena mobil itu sudah lenyap jauh.

Di sepanjang tepian jalan kulihat banyak sekali para pengendara motor lain yang mulai menepi. Mereka mencari tempat berteduh. Ada yang minggir di emper toko, ada yang menyelinap di sebuah tenda warung kaki lima yang kosong, dan bahkan banyak juga yang berteduh di masjid. Mungkin hujan kali ini akan berlangsung cukup lama, begitu pikirku. Maka segera aku belokkan setirku, ikut menepi ke tempat yang aman. Di sebuah emperan toko yang sedang tutup. Disitu aku ikut berbaur bersama beberapa orang pengendara lain.

Setelah sepeda motor kuparkir dan jas hujan kulepas aku mencari tempat duduk yang nyaman, kurogoh tas kecilku dan ku ambil sebungkus rokok sekaligus koreknya. Lalu kusulut sebatang.

Tidak terasa, tiga batang rokok telah habis. Tapi hujan masih deras sekali, bahkan malah semakin deras. Mungkin karena waktu sudah hampir magrib dua orang di sebelahku memutuskan nekat menerobos hujan. Sementara di sampingku agak jauh masih ada sepasang muda-mudi yang sedang asyik bergurau.  Sedangkan aku sendiri, aku tidak perlu terburu-buru karena waktu. Karena sejak awal aku memutuskan untuk pergi dari rumah dengan tanpa tujuan. Aku boleh pulang kapan saja sesuka hatiku. Kalau perlu aku tak akan pulang ke rumah sebelum bapakku yang keras kepala itu melunak.

“Apa tak ada perempuan lain?” kata bapak dengan nada kaku. Suaranya masih terngiang jelas di hatiku kini.

Diantara semua anggota keluargaku, hanya bapak yang tidak setuju bila aku menikah dengan Romlah, gadis cantik yang sudah lama menjadi kekasihku. Bapak bersikeras agar aku tidak menikah dengan dia dan segera cari yang lain.

Sudah berulangkali aku membujuk bapak dan segala cara kutempuh untuk menawar keputusannya, tapi semua itu tidak membuahkan hasil. Bapak tetap berpendirian yang sama: cari yang lain. 

Aku sudah mengikat janji dengan Romlah dan sudah mantap pula untuk menikahinya. Bahkan kedua orangtuanya menganjurkan untuk secepatnya kami menikah. Aku pun sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, namun sayang rencanaku semua ini terhalang oleh pikiran bapakku yang unik.

“Seandainya sejak awal aku tahu, bahwa rumah calon istrimu ada di daerah situ, tentu sejak jauh-jauh hari aku akan melarangmu untuk dekat-dekat dengan dia, Nak.” Kata bapak kemarin saat rundingan keluarga. “Ini bahaya, nak. Bila dilanjutkan kalian berdua bisa kena petaka,” sambungnya.

Ngalor-ngulon atau utara-barat, menurut bapak adalah sebuah pantangan bagi siapa saja untuk menikah bila letak geofrafis antara rumah kedua calon pengantin melewati jalur tersebut. Kebetulan bila hendak pergi ke rumah Romlah dari rumahku, maka harus ke utara baru belok ke barat. Sialnya jalan ini adalah jalan satu-satunya yang bisa ditempuh menggunakan kendaraan.

Aku heran, zaman sudah modern dan canggih begini mengapa masih ada saja orang yang berpikiran angker seperti itu. Dan sialnya orang itu adalah bapakku sendiri.

“Kenapa bisa kena petaka, Pak?” tanyaku dengan nada yang sangat pelan dan kucoba untuk tetap lembut dan berhati-hati.

“Ngalor atau utara adalah arah di mana jasad mayat dibujurkan. Sedangkan ngulon atau barat adalah arah wajah mayat dihadapkan. Bila arah pasangan calon pengantin menyamai arah bersemayamnya mayat, maka bisa celaka. Sudah, jangan banyak tanya, ini pesan para sesepuh.” Jelas bapak.

Lalu apa hubungannya? begitu kataku. Namun hanya terpekik dalam hati. Takut bila bapak tersinggung lalu marah. Akibatnya bisa panjang.

Meski bapakku sebenarnya adalah orang terpelajar, lulusan SMA. Namun mau-tak mau aku harus mengakui bahwa beliau dibesarkan dalam lingkungan keluarga jawa yang kental dengan kepercayaan nenek moyang. Lagi pula, Bapak adalah orang tuaku. Tanpa bapak aku tak bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Bahkan kalaulah kesuksesan karir yang kini kudapatkan tentu tak bisa lepas dari peran jerih payah bapak.

Tapi masalahnya aku harus segera menikah. Romlah tak boleh kulepaskan begitu saja hanya karena alasan yang tak masuk akal. Hatiku sudah terpaut dengannya.

Dari kejauhan, diantara riuh suara hujan dan deru kendaraan, sayup-sayup terdengar suara azan. Waktu sudah magrib. Aku menarik nafas dalam-dalam. Kulihat kiri-kanan sudah tidak ada orang. Sepasang muda-mudi yang tadi bergurau pun sudah tak ada. Aku sampai tak sadar kapan mereka beranjak dari tempat ini. Hujan masih deras. Dan sampai detik ini hatiku masih beku, terlilit kebingungan yang tak menentu.

***

Tiga bulan telah berlalu sejak rundingan alot dengan bapak yang berujung kebuntuan itu. Niatku melamar Romlah belum terwujudkan hingga kini. Jujur, sebenarnya aku masih beruntung, karena Romlah calon istriku, mampu memahami keadaanku. Ia sudah kuberi tahu tentang jalan pikiran bapakku. Namun bagaimanapun juga ia memiliki orang tua. Orang tua Romlah mendesakku agar segera memberi kepastian.

Dalam puncak kebuntuan itu, aku tak tahu, tiba-tiba muncul dalam pikiranku untuk menawar lagi keputusan bapak dengan sebuah ancaman.

“Pak, maafkan aku. Bila Bapak masih tetap tidak memperkenankanku untuk menikah hanya karena soal arah, maka sekali lagi aku minta maaf, Pak. Dan perkenankanlah aku pergi jauh,” kataku dengan gemetaran.

“Apa? Pergi? Hai, mau pergi kemana kamu?” sahut ibu tiba-tiba.

Ibu sedari awal lebih banyak diam karena mengamini prinsip bapak. Baru kali ini ketika tahu bahwa aku mau pergi ia terlihat sangat keberatan. Sedangkan bapak hanya diam. Tidak ada sepatah kata yang terucap dari mulutnya.

“Minggat.” Aku menjawab dengan tegas dan singkat.

Sejujurnya aku tidak benar-benar ada niatan untuk minggat. Aku hanya berpura-pura dengan maksud untuk menguji bagaimana tanggapan Bapak. Karena sudah tak kutemukan cara lain untuk meluluhkan hatinya. Aku berharap, bapak berubah sikap ketika mengetahui aku hendak minggat. Orangtua mana yang tega melihat anaknya kabur dari rumah, begitulah pikirku. Sambil beranjak dan menggendong tas besar yang telah kupersiapkan sebelumnya, aku melangkah. Kulirik raut muka bapak. Ah, gawat, bapak tak bicara apa-apa. Wajahnya cair-cair saja seperti tidak sedang terjadi sesuatu yang penting. Ia malah menyulut lagi rokoknya dan sibuk memencet remot televisi. Aku jadi bingung sendiri. Apakah iya, aku harus minggat beneran. Minggat kemana? ah dasar kepala batu.

Ibu terus mengikutiku sambil berkali-kali mengucapkan sesuatu yang tidak aku dengarkan. Aku pura-pura tak peduli.

***

Aku masih di pinggir jalan menanti hujan reda. Tapi belum ada tanda-tanda hujan mau reda. Lama-lama aku terserang rasa kantuk. Aku tak bisa menahannya. Kutengok di sebelahku ada kursi bambu. Kubaringkan tubuhku di sana. Entah sudah beberapa kali ponselku berbunyi dan terpampang nomor ibuku. Ibu berulangkali mencoba menghubungiku namun aku enggan mengangkatnya. Rupanya ibu mencemaskan kepergianku. Beberapa detik berikutnya ponselku berdering kembali. Bukan dari ibu, melainkan dari Romlah. Dengan spontan aku mengangkatnya.

“Kamu dimana sekarang, Mas?” suara Romlah dari seberang.

Belum sempat aku menjawabnya, Romlah melanjutkan,

“Mas, kalau sekarang ada waktu, tolong segera datang ke sini mas, ke rumahku. Penting.” Nada suaranya tampak tergesa-gesa dan timbul tenggelam karena hujan.

“Oh, iya. Tunggu, tunggu.”

Belum sempat aku menuntaskan kalimatku, sambungan sudah terputus. Kucoba menghubunginya lagi tapi tak bisa. Romlah meninggalkan sebuah pesan, “ayah dan ibuku ingin berbicara soal penting denganmu.”

Jarak antara tempatku berteduh dengan rumah Romlah kurang lebih memakan waktu setengah jam. Hujan belum juga reda. Tapi aku harus kesana. Barangkali ada sesuatu sangat penting menyangkut pernikahan kami.

Sesampainya dirumah Romlah aku dipersilakan masuk. Sambil menunggu orang tuanya keluar Romlah menemaniku duduk diruang tamu. Beberapa saat kemudian mereka datang dan menyambutku. Lalu kami berbincang-bincang serius.

***

Aku bersyukur dan lega. Karena telah menemukan jalan terang sejak kedatanganku ke rumah Romlah tempo hari. Orang tua Romlah memberi kabar yang sangat tak terduga. Dan aku menganggap bahwa semua ini adalah keajaiban. Ya, kalau memang sudah jodoh, betapapun rumit rintangan yang menghadang, jodoh tetaplah jodoh tak akan kemana-mana. Rencana pernikahanku tinggal satu langkah lagi.

Ya, apa namanya kalau bukan keajaiban. Sebentar lagi akan terjadi proyek pembangunan jalan tol yang melintasi beberapa kabupaten di propinsi ini, banyak rumah-rumah penduduk yang harus pindah termasuk rumah keluarga Romlah. Setelah mendapat kompensasi dari pemerintah keluarga Romlah pindah ke selatan, masuk wilayah kecamatan sebelah. Dengan kenyataan seperti ini aku sangat bersyukur karena bapak tak bisa menghalangi pernikahanku lagi dengan alasan ngalor-ngulon.


Bagikan:

Penulis →

Hanif D. Zuhri

Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri, asal Madiun. Kini tinggal di Yogyakarta, aktif di berbagai komunitas sastra dan bergiat di Suluk Kebudayaan Indonesia Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *