Janji Baso

KEMATIAN memang takdir, tetapi meninggal mendadak, meninggalkan empat bocah yang masih lugu, sungguh sebuah peristiwa tragis. Itu yang dialami kedua orang tua Baso. Penyakit aneh tiba-tiba menyerang keluarga mereka. Satu keluarga sakit di saat bersamaan. Sang ayah hanya mampu bertahan dua hari dari penyakit gatal yang entah dari mana datangnya. Sang Ibu menyusul sepuluh hari kemudian, menyisakan pedih bagi empat orang anaknya.

Kampung terasa diliputi aroma mistik di tengah rasa nyeri melihat empat anak kecil berpelukan di teras rumah panggung mereka, menyaksikan ibu mereka digotong ke tempat peristirahatan terakhir. Ingin ikut mengantar, tetapi penyakit aneh di sekujur tubuh membuat tak berdaya. Mereka lemas. Kampung hening. Semilir angin yang biasanya menyejukkan berubah begitu menyengat. Isak tangis terdengar dari rumah-rumah penduduk. Tatapan kasihan sekaligus ketakutan mengarah ke empat anak yang dalam sekejap berubah status menjadi yatim piatu.

Hati warga, apalagi para ibu, terketuk untuk membantu dan menyantuni keempat anak itu. Namun sisi hati yang lain menahan. Rasa takut mengalahkan rasa kasihan. Mereka tidak ingin bernasib sama dengan keluarga tersebut.

Ketakutan warga beralasan. Kampung yang diapit pantai dan gunung ini memang terkenal angker. Warga percaya makhluk penjaga kampung sangat kejam dan tidak suka apabila ada yang mengusik tempat berdiamnya. Area yang diyakini adalah tempat tinggal makhluk tak kasat mata itu adalah sebuah rumah tua di ujung kampung. Hanya Brewok, orang yang dianggap sakti di kampung tersebut yang mempunyai hak untuk bolak balik ke rumah tersebut. Warga percaya, orangtua Baso telah menyentuh area terlarang tersebut, sehingga mendapatkan musibah.  Berhubungan dengan keluarga Baso, sama saja dengan menantang makhluk penjaga yang sedang merasa terganggu itu.

Warga sepakat untuk mengungsikan Baso dan tiga adiknya ke kampung asal orang tuanya. Meskipun sudah sejak buyut mereka tinggal di kampung ini, tetapi darah mereka tetaplah darah kampung lain. Di kampung ini tidak ada yang berani menolong mereka. Pun mereka tidak memiliki sanak saudara yang dapat menolong mereka.

“Saya tidak mau pergi. Di sini jasad kedua orang tua saya dikuburkan, maka di sini pulalah saya harus tinggal hingga berkalang tanah.” Baso menarik badik yang selalu terselip di balik sarung yang dipakainya. Kakinya dengan pelan menjejak satu per satu anak tangga, menuju kerumunan di depan rumahnya. Prosesi pemakaman ibunya baru saja selesai. Tiga orang adik Baso saling mempererat pelukan. Isak pilu terdengar menyayat. Semua orang terkesima, tidak menyangka remaja 15 tahun itu akan berbuat nekad.

Baso melotot. Mata merahnya menyisir satu per satu wajah yang sedang menanti dengan was-was. Sorot matanya terhenti pada seorang lelaki 60-an dengan wajah penuh brewok. Lelaki yang paling disegani itu tak mampu menantang tatapan Baso. Perlahan ia mundur, mencoba untuk meninggalkan kerumunan. Namun Baso dapat melihat gerakan kecil yang dibuatnya.

“Mau ke mana ha?!” Detik itu juga senyap menyelimuti kampung. Tak ada detak nafas yang terdengar. Semua seolah berubah menjadi patung, tegang menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Warga tahu seberapa tinggi ilmu yang dimiliki Brewok, panggilan lelaki itu. Tak ada kemungkinan seujung kuku pun bagi seorang remaja tanggung seperti Baso untuk mengalahkannya. Namun tak ada satu pun warga yang berani mencegah Baso yang kini sudah menodongkan badik di leher lelaki tersebut.

“Tetaplah di sini, tetapi jangan pernah melewati rumah di ujung kampung itu. Sekali kau mendekatinya, maka tidak ada yang bisa menjamin nyawamu dan adik-adikmu,” gertak Brewok sambil menyingkirkan badik Baso dari lehernya. Ia kemudian berlalu menyisakan sekumpulan orang yang seperti dikomando menarik nafas lega.

***

Baso menjalani hari yang berat dengan tidak tenang. Syarat untuk bisa tetap di kampung itu dianggap sebagai ancaman. Di usianya yang masih sangat muda, ia membuat keputusan besar; membiarkan ketiga adiknya pergi, sementara ia akan tetap tinggal, melanjutkan hidup sambil menjaga makam kedua orang tuanya.

Tertatih ia melalui hari-harinya tanpa siapapun. Kepergian adik-adiknya kembali ke tanah nenek moyang mereka adalah kehilangan besar kedua setelah kematian orang tua. Namun itu jalan terbaik agar adik-adiknya selamat dan Baso dapat menjalankan rencananya dengan lancar. Ya, remaja berkulit putih itu tidak menerima musibah yang menimpa keluarga mereka. Jika penduduk kampung dengan polosnya memercayai ucapan Brewok bahwa penjaga kampung murka terhadap keluarga Baso, maka Baso berkesimpulan lain. Ia yakin ada campur tangan ilmu hitam.

Kampung yang jaraknya seolah jauh dari peradaban karena akses yang begitu sulit ini memang terasa menyeramkan bagi orang di luar kampung tersebut. Maka tidaklah mengherankan jika kampung tersebut seperti terisolasi. Baso paham risiko membiarkan saudaranya keluar dari kampung. Jarak yang hanya 30an kilometer itu menjadi muasal pemisah antar mereka. Mereka kemungkinan tak akan pernah bertemu lagi. Namun ia mempunyai alasan yang kuat untuk melakukannya.

Mata elang Baso menatap nanar ke arah air terjun di belakang kampung. Bibirnya yang diselimuti hitam bekas rokok menyinggung senyum sinis. Tak ada ketakutan dari sorot mata itu. Tonjolan otot-otot tangannya yang mengepal mempertegas keberanian yang dimilikinya. Sepintas ia seperti menantang julang gunung di hadapannya. Tak ada yang tahu rencana di balik otaknya yang belum matang.

“Di hari ke sepuluh, lihat saja, isterinya pasti akan mati pula.” Baso semakin mengeratkan kepalan tangannya. Ia mengingat bagaimana dengan pongahnya Brewok mengatakan kalimat tersebut di tengah air mata yang menganak sungai meratapi kematian mendadak ayahnya.

“Kau tidak akan kulepas, Tua Bangka.” Baso berbalik arah, menuju ke arah pusara kedua orang tuanya.

“Saya berjanji akan menjaga kalian di sini. Tenanglah! Adik-adikku sudah berada di tangan yang tepat. Biarkan saya di sini menjagamu dan menyelesaikan urusanmu dengan si Brewok yang belum selesai.”

Janji itu. Sebuah keteguhan hati yang harus Baso wujudkan, sekeras apapun rintangannya. Otak mudanya sudah mampu mencerna apa yang menimpa orang tuanya. Ini bukan kali pertama terjadi. Sudah berkali-kali ada orang yang menderita penyakit aneh hingga meninggal. Hampir semuanya terjadi setelah orang tersebut melewati rumah tua di ujung kampung. Memenuhi janji hatinya adalah menyelamatkan kampung.

Berhari-hari Baso susah memejamkan mata. Setiap akan terlelap, bayangan ayah ibunya melintas, lalu rumah di ujung kampung yang sudah berpuluh-puluh tahun dimakan rayap tetapi tetap berdiri. Suara-suara asing dari kolong rumah pun merupa benda yang mengganjal matanya agar tetap terjaga. Lalu mimpi buruk yang hadir di sela hanya beberapa menit tidurnya? Rasanya anak 15 tahun tidak akan sanggup menghadapinya. Namun Baso telah menjelma lelaki dewasa sejak jasad ibunya dibaringkan di samping jasad ayahnya. Sejak itu, hitungan usia tidak lagi menjadi barometer kedewasaan baginya.

Takdir bekerja di luar kuasa manusia. Saat malam, tak seorang pun manusia yang dapat menebak apa yang akan terjadi esok pagi. Baso siap mengeksekusi apa yang telah dirancang otaknya. Ia hanya perlu konsisten dengan rencananya. Berhasil atau tidak itu persoalan belakang. Risiko? Apa lagi yang harus ditakuti oleh seorang remaja sebatangkara? Ia hanya akan menyesal jika pasrah pada takdir. Ia tak ingin tetap terbelenggu pada pemikiran semua orang bahwa rumah di ujung kampung itu tak tersentuh.  Baso acapkali memorgoki Brewok masuk ke rumah tersebut. Hampir sama seringnya dengan ia mendapati lelaki tua itu mengendap-endap ke kolong rumahnya, entah menanam apa di sana.

Beberapa kali ayahnya menemukan buntalan hitam kecil berisi rambut, telur dan jarum. Baso tidak mengerti khasiat benda tersebut, tetapi melihat wajah lembut ayahnya berubah tegang dan memerah, Baso yakin benda itu mengantar aura negatif. Pemikiran kanak-kanak Baso menghubungkannya dengan selentingan cerita tetangga yang pernah ia dengar, bahwa Brewok menginginkan ibunya. Lelaki tua itu tanpa malu mengancam tidak akan membiarkan keluarga Baso tenang, hingga ia mendapatkan ibunya.  

Baso merasakan ada kejangalan hubungan antara ayahnya dan Brewok. Suatu hari Baso menemukan selembar foto. Ada seseorang yang mirip ayahnya dalam pangkuan seseorang yang mirip sekali dengan Brewok. Sayang sekali tidak ada penjelasan apapun dari ayahnya saat itu. Ia hanya tersenyum lembut sambil mengusap kepala Baso. Ada kalimat misterius yang mengikuti belaiannya.

“Suatu hari kamu akan tau semuanya, Nak.” Bisiknya.

Pikiran Baso kini dipenuhi rasa penasaran. Mengingat keakraban di foto itu, rasanya menimbulkan beribu tanya mengapa kini keduanya seperti bermusuhan? Ayahnya selalu menghindar untuk bertemu Brewok, sementara Brewok selalu mencuri kesempatan untuk dapat mengganggu keluarga Baso. Apakah cinta segitiga? Ah, Baso tak pernah terpikirkan hal itu. Jarak usia ayahnya dan Brewok sangat jauh. Mereka bagaikan ayah dan anak.

“Rumah tua itu warisan ibumu dari orangtuanya. Brewok dulu Bapak tiri ibumu. Sejak dulu Brewok tergila-gila pada ibumu sejak nenekmu meninggal.” Itu penjelasan yang didapat dari tetangga terdekat Baso. Cerita itu dibisikkan padanya oleh nenek sepuh yang dipanggilnya Indo’. Baso dapat merasakan ketakutan Indo’ saat bercerita.

“Bersiaplah, Brewok Tua! Saya tidak gentar denganmu, sekalipun kau mengerahkan seluruh dedemitmu,” geram Baso sambil mengasah badik. Suara batu asah bergesekan dengan besi tempa itu memecah hening kampung yang sudah lelap sebelum pukul 22.00. Suara jangkrik, lolong anjing atau aum anjing hutan entah lenyap ke mana. Baso tersenyum, merasa niatnya direstui semesta. Karena itulah, dengan mantap kakinya menuruni satu per satu anak tangga rumah peninggalan orang tuanya. Badik yang sudah mengkilap ia selip di pinggang, di balik sarung.

Bulu kuduk Baso berdiri ketika melewati depan rumah Brrewok. Tak ada cahaya barang setitik. Seperti tak berpenghuni, tetapi Baso seolah merasa ada yang mengintipnya. Ia meneruskan langkah. Tujuannya bukan rumah itu. Ia mengarah ke rumah di ujung kampung. Rumah tua itu semakin dekat. Baso mempercepat langkahnya.

“Sekali kau melangkah mendekati rumah itu, kau tidak akan melihat lagi matahari esok hari.” Bentakan besar mengagetkan Baso. Langkahnya terhenti. Ia berbalik ke belakang. Lelaki tua yang nyaris seluruh mukanya ditumbuhi bulu itu kini berada di hadapannya dengan tatapan mematikan. Baso tersenyum miring. Ia pernah mendengar ayahnya menyebutkan kelemahan Brewok. Pinggang sebelah kanan. Mungkin ia tidak akan langsung mati, tetapi tenaga tuanya tidak akan mampu melawan tenaga anak 15 tahun, apatah lagi dengan sobekan di pinggang.

“Hentikan kesombonganmu, Kakek Tua!” Erang Baso sambil secepat kilat menancapkan badik di pinggang Brewok. Brewok menghindar, tetapi Baso lebih cekatan. Emosi yang telah menguasainya membuatnya menyerang Brewok tanpa belas kasihan. Hening terjeda oleh erang kesakitan dari Brewok dan teriakan penuh amarah Baso.

“Berani sekali kau, Anak Kecil.”

“Apa yang harus saya takuti? Hidup atau mati bagiku sama saja.”

Pertarungan beda usia itu masih saja berlanjut. Warga diselimuti ketakutan, bahkan tak berani untuk sekadar batuk kecil. Dari balik selimut, para ibu menahan nafas, menetralisir kengerian yang mereka rasakan. Mereka hampir memastikan Baso tak akan lagi menikmati cahaya mentari esok hari.

Rembulan bulat penuh. Purnama. Lolong anjing di kejauhan menukilkan kemistikan perkampungan kecil itu. Senyum kemenangan tersungging di bibir Baso melihat Brewok yang susah payah berusaha untuk bangkit. Darah semakin banyak keluar. Setelah memastikan lelaki tua itu tidak akan bisa lagi berdiri, Baso meninggalkannya sendirian. Membiarkannya tetap di tengah jalan.

Teriakan marah berbalut kesakitan Brewok melengking menyelimuti jagad kampung tua itu. Membangunkan raga-raga yang sedang nyenyak. Bulu kuduk meremang, hati ketar ketir. Mereka penasaran dengan nasib Brewok, dukun sakti yang ditakuti seluruh warga kampung. Namun, rasa penasaran untuk melihat apa yang terjadi tidaklah lebih besar dari rasa takut. Karena itulah tak ada seorang pun yang membuka pintu rumah. Mereka tetap berdiam di atas tempat tidur, merapatkan selimut sambil saling memeluk menguatkan antar anggota keluarga. Menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mereka bukan tidak tahu sudah berapa nyawa yang melayang karena Brewok. Mereka pun mengetahui penyebab kematian orang tua Baso. Namun berkata terus terang hanya akan membuat mereka mengalami nasib yang sama. Karena itulah mereka hanya membeo ketika Brewok mengatakan bahwa penjaga kampunglah yang marah.

***

Baso melangkah pelan, meninggalkan gundukan tanah merah di belakangnya. Sejak keluar dari penjara, setiap sore sepulang dari ladang, lelaki berambut landak itu ia pasti singgah di makam tersebut, berdoa, mempersembahkan bakti. Ziarah ke makam itu setiap hari baginya adalah kewajiban, demi menunaikan janji untuk menjaga kedua orang tuanya. Seperti pula janji pada dirinya untuk membuat kampung damai tanpa ancaman dari Brewok. Riwayat si tua bangka itu telah berakhir. Ia mati di tangan Baso.




Bagikan:

Penulis →

Mira Pasolong

Lahir di Selayar, Sulawesi Selatan. Sejak kecil senang membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, puisi dan artikel dimuat di berbagai surat kabar. Juara III Sayembara penulisan buku pengayaan yang diadakan oleh Pusat Perbukuan untuk kategori Novel SMA (Juni 2010). Novelnya yang telah terbit Singgasana Tak Bertuah, Simpul Hati, Purnama di Langit Bissorang, Kau, Aku bukan Kita dan Love will Lead You Back. Selain itu beberapa karyanya tergabung dalam beberapa antologi bersama. Rutinitas hariannya adalah sebagai pendidik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *