Mereka yang Lebih Dulu Pergi

DUA orang yang kukenal dengan baik telah padam nyawa pada bulan yang sama tiga tahun lalu. Yang pertama adalah Mbak Lila, adik kandung Mas Tyo kakak iparku. Biarpun sempat diopname lantaran ada gangguan di jantungnya beberapa pekan sebelumnya, tapi kondisi tubuhnya sedang terlihat sehat. Ia bahkan tengah berada di tempat keramaian ketika malaikat maut menghampirinya. Menurut adik ipar Mbak Lila yang menemani saat-saat terakhirnya, mereka baru saja berbelanja kain dan pernak-pernik lain untuk persiapan pernikahan putri sang adik ipar yang berlangsung sekian bulan lagi. Mbak Lila tampak menikmati berjalan dari toko ke toko hari itu bersama adik ipar dan ibu mertuanya. Mereka baru saja duduk di sebuah gerai kuliner dan memesan makanan, ketika tiba-tiba Mbak Lila mengalami sesak di dadanya, terjatuh dari kursi, lantas serta-merta tak sadarkan diri. Diperkirakan ia sudah mengembuskan napas terakhirnya ketika dibawa ke rumah sakit. Betapa terperanjatnya suami dan anak-anak Mbak Lila ketika mereka mendapatkan kabar duka itu. Demikian pula ibu dan saudara-saudaranya yang tinggal di kota yang berbeda, termasuk Mas Tyo tentunya.

Yang kedua adalah Om Ardi, adik kandung ibuku. Kendati sudah divonis menderita tekanan darah tinggi sejak lama, pamanku sebenarnya relatif sehat dan bugar. Buktinya, Om Ardi mampu berkeliling Nusantara menjalankan pekerjaannya yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Tentu saja ia tak pernah lupa untuk minum obat secara rutin, termasuk ketika bepergian. Bahkan ia sempat sekali melawat ke Eropa untuk menjalankan tugas mendampingi sebuah misi kebudayaan. Om Ardi juga dikenal berpembawaan ceria di mana pun berada, termasuk di tempat kerjanya. Suatu pagi ia jatuh dan kehilangan kesadarannya setelah keluar dari kamar mandi. Pamanku yang terserang stroke untuk pertama kalinya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh tim paramedis untuk memperbaiki kondisi kesehatan Om Ardi. Namun, setelah mengalami koma selama empat hari, pamanku menutup mata selamanya. Jelas kurasakan kehilangan yang dalam karena mesti melepas pergi pamanku, yang setiap kali kami bertemu tak pernah kehabisan materi pembicaraan itu. Sosoknya tinggal menjadi kenangan dan sebatas mampu kurindukan. Aku baru bisa menyempatkan diri berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Om Ardi tujuh hari setelah wafatnya.

Usia Mbak Lila dan Om Ardi memang berbeda sepuluh tahun. Adik kandung kakak iparku 45 tahun, sedangkan adik kandung ibuku 55 tahun. Tetapi, keduanya pergi begitu saja, seakan tanpa pertanda. Menjadi hal yang sangat mengejutkan bagi kami yang ditinggalkan. Mereka memiliki sebuah persamaan lainnya, yakni menjadi anak bungsu di keluarga masing-masing. Almarhumah Mbak Lila memiliki empat orang kakak yang masih ada di atas buana, termasuk Mas Tyo yang usianya paling dekat dengannya. Sang ibu bahkan masih sehat walafiat di masa tuanya. Sementara itu, mendiang Om Ardi masih memiliki dua kakak kandung yang tersisa. Seorang kakak perempuan dan seorang kakak lelaki. Tujuh kakak lainnya telah lebih dahulu tiada, termasuk ibu kandungku.

Ternyata beberapa orang yang kukenal juga lebih dahulu tutup usia ketimbang kakak-kakaknya. Ada adik misanku, adik nenekku, dan adik sepupu ibuku. Kepergian mereka sudah berlangsung bertahun-tahun silam. Sehabis itu terjadi juga tiga tahun silam, ada seorang anak bungsu yang wafat mendahului kakak lelaki satu-satunya. Ia mengembuskan napas terakhirnya dalam tidur siangnya. Ah, siapa yang tak terperanjat tatkala mendengar kabar kepergian tiba-tiba keponakan perempuan Mas Ahmad, kakak iparku yang lain, yang masih cukup muda itu. Usianya bahkan tiga tahun lebih muda ketimbang diriku.

Kakak sulungku yang bernama Mbak Ria wafat belasan tahun silam ketika usianya sebaya denganku saat ini. Sebuah dukacita yang sungguh mengejutkan keluarga kami waktu itu. Mbak Ria sebelumnya tidak memiliki gangguan kesehatan yang signifikan, kecuali hanya pernah sekali diopname di rumah sakit karena sesak napas akibat asma, penyakit yang kuderita pula. Kurang dari sepekan sehabis kepergiannya, tiba-tiba saja Mbak Ria hadir dalam mimpiku pada sebuah siang. Aku ketiduran di kamarku sehabis pulang dari masjid menjalankan salat Jumat.

“Sepertinya kepergianku ini harus diantarkan, lho,” ucap Mbak Ria sembari tersenyum, sebagaimana ciri khasnya sehari-hari tatkala masih hidup. Serta-merta aku terbangun dengan rasa cemas dan lekas beranjak keluar dari kamar. Aku pun mengungkapkan materi mimpiku di depan anak perempuan Mbak Ria, ibuku, nenekku, dan Om Aji pamanku yang sedang berkumpul di ruang makan. Om Aji mencoba menafsirkannya dengan bijaksana.

“Mungkin itu pesan untuk anak perempuannya agar senantiasa mendoakannya sepenuh hati dan menjadi anak yang lebih berbakti kepada ibunya.”

Terus terang aku rada lega mendengar penjelasan pamanku karena semula kukira pesan mendiang kakakku ditujukan kepadaku. Tak mampu kubayangkan bagaimana caranya aku mengantarkan kepergian kakakku sehabis ia dimakamkan. Semula kukira aku mesti lekas menyusulnya pergi ke alam berbeda. Kala kusuratkan cerita pendek ini, Ibu, Nenek, dan Om Aji sudah padam nyawa. Ibu dan nenekku bahkan tutup usia pada tahun yang sama berselang tiga bulan belaka. Om Aji pergi untuk selamanya menjelang 50 tahun usianya. Sementara itu, anak perempuan Mbak Ria sudah berkeluarga dan tak tinggal serumah denganku lagi. Ia menikah sekitar setahun setelah ibunya tercinta kembali ke haribaan Ilahi.

Aku adalah anak bungsu dalam keluargaku. Jujur saja, aku belum siap pergi dalam waktu dekat ini –sebagaimana para bungsu yang kukenal– dan mendahului lima orang kakakku yang tersisa. Kuharap ini bukan tulisan pamungkasku yang bisa Anda baca. Biarpun sesungguhnya setelah melewati dua puluh bulan masa pandemi, aku sempat tak mengerti lagi untuk apa menjalani hidup di atas buana, tanpa bisa mengerjakan hal-hal yang berguna sebagaimana selama ini. Sudah lebih satu tahun tak lagi kumiliki pekerjaan maupun penghasilan tetap yang kuterima setiap bulan. Kegalauanku bahkan sempat bertambah tatkala mengingat usiaku pada tahun kedua pandemi ternyata seumuran dengan usia kakakku ketika padam nyawa.

Mengapa kematian terasa begitu menyeramkan jika sekonyong-konyong datang kepadaku? Barangkali lantaran aku telanjur percaya adanya kehidupan selanjutnya sehabis kematian. Apa pun yang kulakukan di atas buana pasti bakal mendapatkan balasan di alam sana. Sialnya, aku tahu diri bahwa koleksi dosa beserta kesalahanku cukup berlimpah. Sedangkan perbuatan baikku sepanjang hayat tampaknya masih secuil belaka. Demi menenangkan diri mesti kurenungkan kembali satu nasihat orang bijak. Menurutnya, kematian sejatinya adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan yang lebih indah dan berkualitas karena kenikmatan ruhani derajatnya lebih tinggi ketimbang kenikmatan jasmani di muka bumi

Tetapi, ketika kenyataannya kini jiwa ragaku masih saja bersatu, maka berarti Tuhan masih memberiku tugas maupun kesempatan. Aku yakin masih banyak hal yang dapat kulakukan. Siap kulangkahkan diri ke mana saja aku mampu Aku mesti berdaya agar tetap berguna.


Bagikan:

Penulis →

Luhur Satya Pambudi

Lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun digital. Kumpulan cerpennya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *