Membaca Riwayat Sagu


Perang Masa Kecil

sebelum mengubur luka di bawah
akar sagu yang serabut, ia tak sempat
menakar berapa duka yang mesti
ia rawat sepanjang hidupnya.

setiap hari ia menyaksikan perang
di dalam tubuhnya. masa depan sulit
mengalahkan masa lalu.

kecamuk peristiwa melukai ingatannya,
umpama cambuk yang ia dapatkan setiap
hari di masa kecilnya.

ia sendiri, dan sepanjang tahun
merindukan biji-biji kapurung
melewati kerongkongannya.
namun, di dalam hatinya, cinta
tak cukup memberi alamat untuk
pulang. hanya ada memar di tubuhnya
dan bangkai ulat sagu yang telah mengering
di saku celananya.

ia telah berhenti berbicara kepada cermin
perihal masa kecilnya. ia memilih memelihara
luka dan memilin duka.




Ada yang Perlu Kautebas

apa yang mesti kita letakkan
di atas kesalahan untuk menerima
kekalahan?

kau sering kali tiba di depan
pintuku dengan olahan dari sagu.
“aku membuatnya dari resep
pemberian ibuku,” katamu.

kau membuatnya dengan kesalahan
menutupi rahasia-rahasia.

aku mencintai warna sagu, tapi membenci
warna matamu.

kau tak perlu menjadi pengingat
di langit-langit kamarku
sebab untuk menebus kesalahan
ada perasaan yang perlu kautebas.




Mencari yang Tersisa di Luar Tubuh Puisi

aku melihat kedalaman diri sendiri.
masa kecil tenggelam dan tak ada satu pun
yang mampu menyelaminya.

aku membayangkan ibu membakar sagu
pada tungku kayu. aku membayangkan kelaparan
menjauhi rumah kami.
aku membayangkan…

ada ingatan yang mencintai kantukku.
selalu tiba dan menyalakan lampu kamarku

aku membayangkan ayah sedang menyulam
daun sagu. aku membayangkan langit
menumpahkan lautan.
aku membayangkan…

di meja kerjaku, puisi sedang menuliskan dirinya sendiri.
sagu, kapurung, sinole, dange, ulat sagu, tersaji dan
memasukkan dirinya ke genangan mataku.

aku membayangkan menemui seluruh masa kecilku.




Mengamati Tahun-Tahun dari Prakiraan Cuaca

sepanjang jalan, seluruh mata lampu sedang murung.          
jika kau tanya mengapa, mereka lebih memilih bunuh
diri.

di kepala setiap orang, cuaca sedang meramalkan
diri sendiri. badai dan kesedihan diprediksi
akan mengganti seluruh angka di kalender.

di tengah rasa sakit, kau tak mampu menikmati
kapurung dan mungkin lebih memilih menjadi
kumbang sagu.

tidak ada yang ingin dipaksa tabah di tengah wabah.




Bagikan:

Penulis →

Arham Taheer

Lahir di Luwu, Sulawesi Selatan. Pernah menjadi salah satu Emerging Writers pada perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun 2017. Kini menetap di Mamuju Tengah, Sulawesi Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *