Judul Buku : Seni Menerjemahkan Karya Sastra (Panduan, Gagasan, dan Pengalaman) Penulis : Anton Kurnia Penerbit : Diva Press Cetakan : 2022 Tebal Buku : 204 halaman ISBN : 978-623-293-650-8
APA artinya penerjemahan karya sastra bagi kemajuan bangsa suatu negara? Kita tahu, bangsa yang besar merupakan mereka yang memiliki sumber daya dan kemajuan teknologi yang pesat. Dalam taraf tertentu, keadaban mereka lebih unggul ketimbang negara lainnya. Pengaturan pemerintahan yang tertata, sistem pemerintah yang menguntungkan masyarakatnya, hingga kualitas hidup masyarakatnya yang baik, bisa menjadi indikator baik atau tidaknya kualitas bangsa suatu negara. Dari situ, barangkali masih menjadi hal yang belum lumrah, bahwa kemajuan suatu bangsa juga ditopang oleh keberadaan karya sastranya yang kaya dan beragam.
Berdirinya suatu bangsa yang kuat dan maju, mestilah juga melahirkan karya-karya sastra berkualitas, yang nasibnya dapat berbagai melintasi zaman. Kita mengenang abad-abad penting peradaban dunia dengan sejumlah karya besar yang menandakan kemonceran suatu bangsa dan masa. Di masa lalu, kejayaan bangsa Yunani turut mewariskan karya sastra penting yang masih dibaca sampai hari ini. Bisa kita dapati pula pada masa-masa kejayaan kekhalifahan Islam di masa lalu, sebab selain keberhasilan menguasai wilayah di sejumlah daerah di dunia, mereka pun menghasilkan karya-karya adiluhung yang menjadi penanda kebesaran mereka.
Adapun kebesaran mereka, misalnya saat filsuf-filsuf Islam berjaya, ditopang oleh sejumlah budaya baik yang terus dijaga. Mereka menguatkan pengajaran sastra dan literasi, dan salah satunya yang menjadi kunci penting di dalamnya, mereka pun mempelajari dan menerjemahkan pelbagai jenis karya sastra. Sebagai contoh, kita mengenang keberadaan filsuf Ibnu Sina yang banyak mempelajari dan menerjemahkan karya-karya adiluhung dari bangsa Yunani. Terkait pentingnya penerjemahan sastra bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa inilah, Anton Kurnia, menggarisbawahi pada buku yang terbarunya: Seni Menerjemahkan Sastra (Panduan, Gagasan, dan Pengalaman).
Anton mendedah berbagai ihwal penerjemahan sastra, dari kisah perjalanannya selama 20 tahun berkecimpung di dunia penerjemahan sampai harapannya terkait keadaan dan kualitas penerjemahan sastra di Indonesia. Pada bagian kisah dirinya itu, Anton menyebut kalau bertungkus-lumusnya ia dengan dunia penerjemahan diakibatkan kecelakaan. Dulu, ia kuliah di jurusan teknik di ITB, tapi lantaran kesukaannya pada buku, dan kala itu ia ingin mempelajari banyak teknik menulis, maka mau tidak mau ia mesti menerjemahkan karya sastra. Hasil terjemahannya itu lantas ia kirim ke koran, dan tak dinyana, koran itu, Koran Tempo, memuatnya. Sejak itu, Anton keranjingan menerjemahkan karya sastra. Sekian judul buku lahir dari hasil terjemahannya, bahkan ia pernah mengalami satu tahun penuh berhasil melahirkan 70 buku terjemahan. Sungguh bukan jumlah yang sedikit.
Lalu, apakah upaya penerjemahan sastra adalah hal yang mudah? Seturut perjalanan Anton, upaya itu bukan upaya yang mudah dan instan. Proses penerjemahan mesti dilalui dengan berbagai kesulitan, baik teknis maupun filosofis, sebab menerjemahkan tidak hanya perkara mengalihbahasakan karya ke bahasa lain atau bahasa tujuan (BT), tetapi juga sebagai upaya transfer kebudayaan bahasa sumber (BS) supaya mendapat keberterimaan tanpa mengalami kehilangan jati diri serta kekhasannya. Tentu, akibat perbedaan bahasa dan budaya yang berbeda antara bahasa karya dengan bahasa lainnya, proses penerjemahan bisa menghadirkan ketidakmulusan atau bahkan buruknya hasil terjemahan tersebut. Para penerjemah bisa terjebak dalam satu frasa, idiom, klausa, atau kalimat tertentu yang gagal dipahami dengan konteks sesungguhnya, sehingga mereka gagal menyulihkannya ke dalam bahasa tujuan (BT).
Soal sulitnya proses ini, bahkan sosok penerjemah dari Rusia, yaitu Mikhail Rudnitzky, sampai menggambarkan kalau proses penerjemahan itu terkadang seperti seseorang yang harus melukiskan sebuah rumah indah di negara lain, sementara di negaranya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda (hal. 15). Oleh sebab itu, apa yang mesti dipersiapkan oleh para penerjemah bukan saja kemampuannya menguasai bahasa sumber dan bahasa tujuan. Setidaknya, para penerjemah (sastra) yang baik harus menguasai hal-hal berikut: Teks yang diterjemahkan, bahasa sumber, bahasa tujuan, teknik menerjemahkan, dan referensi yang berkaitan dengan teks (hal. 43). Untuk yang pertama, seturut pendapat Anton ini, penerjemah mesti menguasai teks atau karya, upaya seperti membaca terlebih dahulu atau memahaminya secara komprehensif bisa menjadikan penerjemah mengambil langkah pertama dalam hal mengenali atau memahami karya yang akan diterjemahkan.
Selanjutnya, para penerjemah juga harus memiliki penguasaan yang baik terhadap bahasa sumber (BS) dan bahasa tujuan (BT). Kalau mereka hanya menguasai salah satunya, maka besar kemungkinan hasil terjemahannya tidak sepadan (equivalent), sebab pesan yang disampaikan karya tersebut gagal menemukan keberterimaan dan kesepadanan dalam bahasa lainnya, misalnya bahasa tujuan. Penguasaan ini penting, selain demi mendapat kesan sepadan dan berterima, penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa tujuan juga membuat hasil terjemahan terkesan wajar, bahkan dikesankan bukan karya terjemahan. Adapun demi mencapai hasil terjemahan yang baik seperti itu, penguasaan atas teks dan dua tipe bahasa pun tidak cukup, sebab penerjemah mesti mempertimbangkan teknik penerjemahan yang sesuai dengan kerja penerjemahannya.
Anton menyebut setidaknya ada dua ideologi yang beririsan dengan teknik penerjemahan ini, yaitu “domestication” (mengutamakan BT) dan “foreignization” (mengutamakan BS). Kedua ideologi itu bisa dipilih atau digunakan sesuai preferensi dan kebutuhan penerjemahan. Ada penerjemah yang memilih salah satunya, atau mengutamakan yang lainnya, tetapi ada pula yang menggabungkan keduanya. Yang pasti, pilihan itu didasarkan pada preferensi penerjemah, sebab tidak ada keharusan khusus untuk condong memilih salah satunya dan mengabaikan yang lainnya. Selain itu, di samping teknik dan ideologi ini, demi menghasilkan karya terjemahan yang natural atau wajar, penerjemah juga mesti memiliki referensi yang berkaitan dengan teks. Referensi ini pun bisa dalam bentuk apa saja, bisa saja teks itu berhubungan dengan satu kondisi zaman tertentu, kehidupan pengarangnya, memiliki latar belakang khusus dalam penciptaannya, difungsikan sebagai sesuatu hal, mengandung nilai estetika atau budaya tertentu, atau hal lainnya. Dengan begitu, penguasaan atas beragamnya informasi dan referensi berkaitan dengan teks, akan lebih membantu penerjemah dalam mengalihbahasakannya secara tepat, sesuai, dan berterima dengan bahasa sumber tanpa menanggalkan kekhasan khusus dari teks tersebut.
Lebih jauh lagi, penguasaan atas referensi yang berhubungan dengan teks ini bisa menempati posisi yang krusial, sebab membuat hasil terjemahan terhindari dari kesan kering dan nihil kecacatan. Apa landasan dari anggapan ini? Anton mengutip pendapat salah satu penerjemah sastra Rusia di Indonesia, yaitu Koesalah Soebagyo Toer yang mengatakan, “Penerjemah pada hakikatnya juga mengalihbudayakan. Karenanya, selain bahasa, juga harus menguasai banyak hal lain, seperti sejarah, tradisi, dan situasi masyarakat. Tanpa itu, terjemahan akan kering atau banyak kesalahan.” (hal. 28) Dari situ, penerjemahan sastra memang bukanlah perkara sederhana, tetapi satu upaya yang mensyaratkan banyak hal demi menghasilkan karya terjemahan yang berkualitas.
Lalu, apakah cukup sampai di situ saja? Anton berkeyakinan, bahwa demi mencapai negara yang kaya dengan kualitas karya sastra baik terjemahan ataupun bukan, sumbangsih para penerjemah sendiri tidaklah cukup. Diperlukan ekosistem yang menjaga dan mendukung kerja budaya ini. Oleh karenanya, Anton menekankan pentingnya lembaga penerjemahan sastra di Indonesia. Nantinya, lembaga ini bisa menfasilitasi dan mendanai proyek-proyek penerjemahan sastra, baik dari karya luar ke bahasa kita maupun dari karya kita ke bahasa-bahasa lain di seluruh dunia. Anton mengisahkan, selama kerja penerjemahannya, sebetulnya Anton sempat tergabung dalam satu lembaga yang memiliki kepedulian pada nasib penerjemahan sastra ini, dulu kita mengenalnya dengan lembaga LitRi, satu lembaga dalam naungan Komite Buku Nasional bentukan Kemendikbud.
Selama tahun berdirinya sejak 2016 sampai 2019, lembaga ini telah mendanai sekitar 170 judul buku para penulis yang diterbitkan ke berbagai bahasa asing, dari Maroko sampai Denmark (hal. 20). Sayangnya, lembaga itu terhenti pada tahun 2019. Padahal, keberadaan lembaga itu penting demi mendongkrak karya sastra kita ke panggung sastra dunia, atau untuk membawa sastra global ke panggung sastra kita. Ia menjadi kerja kolektif yang memberi efek nyata, sebagaimana yang dilakukan lembaga Literature Translations Institute of Korea (LIT Korea) di korea,yang secara khusus peduli dan mengemban misi memajukan ekosistem kesusastraan mereka. Anton ingin, kelak lembaga yang berorientasi sebagai kerja kolektif ini dikembangkan lagi dan bisa berumur panjang, sehingga proses pemajuan penerjemahan karya sastra kita bisa terus berlangsung.
Hal lainnya, bila kita melihat situasi kiwari yang segala sesuatunya berhubungan erat dengan teknologi, misalnya adanya Artificial Intelligence (AI) yang merambah kerja-kerja kreatif, ekosistem penerjemahan mendapat sisi positif dan negatif. Bisa saja, dalam penerjemahan formal, AI dapat membantu penerjemah dalam melakukan kerja awal, sebelum melakukan penyuntingan terhadapnya. Namun, AI tidak serta-merta dapat menggantikan kerja penerjemahan sepenuhnya. Apalagi dalam ranah penerjemahan sastra yang mengedepankan rasa terjemahan yang khas. Rasa terjemahan itu berhubungan dengan kreatifitas penerjemah itu sendiri, di samping juga pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Sebab, apabila kerja penerjemahan sepenuhnya digantikan oleh AI, prospek masa depan ekosistem terjemahan bisa terjebak dalam rigiditas. Kendati tidak kita pungkiri, kemampuan AI akan terus diperbarui seiring perkembangan zaman, tapi tetap, tidak akan ada yang bisa menggantikan kekhasan yang dimiliki otak dan kreatifitas manusia (hal yang dimiliki penerjemah). Oleh sebab itu, sekali lagi, kerja penerjemahan bukanlah kerja yang simpel. Banyak faktor yang memengaruhi, perlu kepedulian negara atas keberlangsungannya, berikut lembaga-lembaga yang memiliki kepeduliannya, juga ekosistem baik berisi orang-orang sadar dalam merespons zaman tapi tak terlena atas segala bentuk kemajuan yang ada.
Mengapa hal tersebut sedemikian penting? Kutipan Anton memberikan penjelasan yang sejalan, bahwa, “… kerja penerjemahan tak hanya penting dan perlu, tapi juga amat strategis. Tanpa kerja-kerja penerjemahan yang terencana dan berkelanjutan, tak akan ada pertukaran karya dan wacana yang pada gilirannya membentuk dan memperkaya peradaban (hal.20).” Ya, pada akhirnya ini perkara pemajuan peradaban bangsa. Dengan ekosistem penerjemahan sastra yang baik, terencana, dan berkelanjutan, kita berharap peradaban dan generasi mendatang memiliki kualitas intelektual yang jauh lebih baik dari hari ini.
============
Indonesia.