Hal-hal Aneh di Kepala


LELAKI itu duduk bersila, dan mulai menunjuk ke arah yang tak beraturan, pertama ke atas satu kali, lalu ke depan tiga kali. Kemudian dia mengaum keras seperti harimau yang memperkenalkan dirinya sebagai raja hutan. Lelaki yang duduk di depanku ini adalah orang yang merasa dirinya paling tertekan. Lihat tangannya, begitu lihai dan sigap dalam menghadapi ancaman. Entah apa yang ada dipikirannya. Andai saja aku bisa melihat isi kepalanya, pasti akan aku lakukan. Apakah kecil? Apakah besar? Atau mungkin kosong tak berotak? Aku hanya ingin melihat isi kepalamu.

Orang itu sangat waspada setiap kali ada bahaya. Namanya Loken, tapi ia sesekali tidak mengakui dirinya bernama Loken. Biasanya dia mengaku namanya Dani, Irgan, Mahmud, Faiz dan nama-nama lainnya yang bahkan tak masuk akal, misal singa, kelinci, marmut, dan jenis-jenis hewan lainnya.

“Siapa sebenarnya kau ini!” tanyanya dengan tegas. Matanya melotot memandangku. “Aku harus berjaga-jaga darimu.”

Nah, betul kan, ia selalu dalam keadaan berhati-hati.

“Berasal dari pihak mana kau?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang selalu ditanyakan tatkala berpapasan denganku.

Beribu jawaban kulontarkan tapi tak ada satu pun yang didengar. Terkadang pikiran jahatku menyapa, dengan sesekali membohonginya dengan jawaban-jawaban yang membuat dia marah. Awalnya aku selalu mengaku bahwa aku adalah dokter yang akan menyuntikkan obat kesehatannya. Tapi ia masih tak percaya. Maka aku jawab saja bahwa aku adalah prajurit musuh yang diutus untuk membunuhnya.

Tapi alangkah konyol reaksinya yang berbeda-beda tiap aku memberikan jawaban yang berbeda pula. Tapi ada persamaan yakni saat dia memberikan jawaban pasti selalu waspada. Baginya teman tak ada, pun keluarga yang meninggalkannya. Loken berusia tiga puluh tahun, umur yang masih muda untuk dirinya yang sekarang menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa. Dia masuk Rumah Sakit sekitar tiga bulan yang lalu, karena terkena benturan peluru di tempurung kepalanya. Ya.. karena pekerjaan sebelumnya adalah tentara. Dia dilatih untuk selalu berjaga-jaga di perbatasan negara, oleh karenanya dia selalu merasa berhati-hati ketika ada orang di depannya yang disangka penyelundup narkoba. Dia mengaku telah membunuh sebanyak 100 orang selama bekerja.

Keahliannya ialah mampu menembakkan satu peluru tepat mengenai dahi musuh-musuhnya. Ia biasa tidur di mana dan kapan saja bahkan di pohon kelapa, kadang pula ia tak tidur selama berhari-hari, tentu karena pekerjaannya. Kuawasi dia yang selalu nyaman walaupun kamarnya bukan tempat yang aman. Buruknya adalah ia selalu mencurigai orang-orang. Pasien lain pun terkena dampaknya, mereka diserang tanpa sebab yang jelas. Penjaga yang mengurusnya dengan sigap mengikat tangan dan kakinya dengan tali. Bahkan perawat juga diserang olehnya, termasuk aku.

Terkadang Loken menjadi orang yang sangat soleh. Dia solat dan mengaji sepanjang waktu. Pikirnya, dia telah berbuat banyak dosa, menembak, hingga membunuh. Maka dia harus tobat akan kesalahannya agar saat ia meninggal tuhan dapat meringankan siksaannya.

Sebenarnya, aku mulai bosan merawat pasien-pasien yang di kepalanya penuh dengan hal-hal aneh, terutama untuk pasien khusus seperti Loken. Dia dikirim oleh orang yang mengajaknya menjadi tentara, dia gila karena terlalu banyak beban dengan misi-misi yang dikerjakan dan tak kuat mengembannya. Dari sekian banyak kegilaannya,  yang paling ditakutkan adalah ketika dia membunuh dirinya sendiri, karena pernah suatu ketika ia bercerita bahwa ia telah dilatih segala cara untuk membunuh dirinya sendiri apabila dalam keadaan terdesak seperti tertangkap musuh.

Lanjut cerita bahwa dalam setiap misi yang dilakukannya dia selalu dibekali sebuah racun berbentuk semacam cairan, dan siap ditenggak kapan pun jika dia tertangkap musuh. Jika racun ini ditelan, maka dalam sekejap nyawa akan hilang.

“Ha.. Ha.. Untung aku tak pernah sampai menelan racun itu dan selalu kubuang saat selesai melaksanakan misi.” Dengan bangga ia berkata.

“Lalu, apa rencanamu kali ini?”, tanyaku pada interogasi saat ini.

Sesaat ia mendekatkan mulutnya kepadaku. Sontak aku berhati-hati, sebab bisa saja ia hendak menyerangku seperti yang biasa ia lakukan pada pasien lainnya.

“Kenapa kau tanya itu?” tegasnya.

“Hanya ingin tahu apakah kau masih sama dengan jawaban-jawaban sebelumnya,” jawabku.

“Apa aku bisa mengandalkanmu?” katanya lagi. Aku mengiyakan, sekaligus meyakinkan bahwa aku bukanlah musuhnya. Aku hanya ingin tahu isi khayalannya kali ini. Akhirnya dia percaya. Kemudian dia membisikkan sebuah misi di telingaku.

“Kau terkecoh!” kataku tegas, senyumku mulai pudar.

“Kau salah, aku adalah utusan dari pihak musuh yang akan mencuri strategi perangmu! Kau harus mati!” Aku tertawa senang. Seketika wajahnya berubah murka, dia menyerangku. Memporak-porandakan ruangan serta merobek-robek catatanku.

“Kalau begitu kau juga harus ikut mati! Mati bersamaku!” Dia menarik-narik bajuku.

“Penjaga! Penjaga!” teriakku sambil berusaha melepaskan tangannya dari bajuku. Empat penjaga laki-laki kemudian masuk ruangan, memisahkan kami. Dengan dia yang masih berusaha menyerangku. Aku hampir kehabisan napas, dia telah benar-benar ingin membunuhku.

“Ikat dia! Kurung dia sendirian dalam ruangan belakang!” Perintahku.

Empat perawat saling memegangi tubuhnya lalu membawanya, memastikan bahwa Loken kali ini akan dikurung lagi. Aku masih tersengal-sengal. Menyatukan kertas-kertas catatanku yang sobek, merapikan kembali bajuku yang jadi berantakan.

Catatan: Mengabarkan bahwa pasien Loken (30 tahun) hari ini telah menyerangku. Dasar orang gila! Ga punya otak!

“Perawat, anda dipanggil ke ruang dokter kepala rumah sakit,” ucap orang yang berpakaian seperti penjaga tadi.

“Baiklah. Aku membereskan laporan ini dulu, ya,” jawabku pelan.

Laporan demi laporan sudah beberapa kali aku setorkan ke dokter kepala tentang Loken. Tapi kali ini laporan yang paling sial, sebab aku hampir terbunuh karenanya.

“Apa yang sudah kau lakukan?” tanya dokter kepala.

“Orang gila itu kurang ajar! Dia telah menyerangku, Dok!” jawabku marah. Lalu aku memberikan laporan itu ke dokter kepala. Dia membacanya, seraya membayangkan kejadian.

“Memang apa yang kau tanyakan?”

“Aku hanya mengecohnya. Dengan mengatakan aku dari pihak musuh.”

“Itu hal buruk. Kau telah membahayakan dirinya dan dirimu! Camkan itu!” Reflek dokter kepala marah sambil menggebrak-gebrak meja.

Aku tak terima dengan tanggapan dokter kepala. Kurasa ia lebih membela orang gila itu ketimbang aku.

 “Kau tak boleh untuk melakukan interogasi pada pasien lagi!” Aku kaget dengan putusan dokter kepala itu.

“Maksudnya apa, Dok?!” Aku protes. Kenapa bisa? Aku kan seorang perawat seperti dokter kepala. Pekerjaanku pun sama untuk membantu menyembuhkan orang-orang gila itu. Tapi sekarang dokter kepala malah ingin mencegahku.

“Tidak bisa!” Aku menolak putusan dokter kepala.

“Oleh karena itu kau kupecat.” Kata dokter kepala dengan nada kencang. Aku terdiam, menerima putusan dokter kepala tersebut. Dokter kepala memandangi mataku dengan tajam.

“Baiklah, aku tak akan melakukan interogasi lagi.” Aku tak mau kehilangan pekerjaan ini, terpaksa aku harus mengalah.

“Silahkan kembali bertugas di ruanganmu.” Aku keluar dari ruangan itu dan kembali ke ruanganku sendiri. Seraya berharap dokter kepala merubah putusannya.

“Jadi, bagaimana keadaan kepalanya, Dok?” Tanya penjaga kepada dokter kepala.

“Masih seperti biasa dan belum ada perubahan, kepalanya masih terisi oleh hal-hal aneh tak masuk akal, kali ini ia menghayal bahwa dirinya adalah seorang perawat,” jawab dokter kepala.

“Jaga dia, jangan sampai berulah dan membahayakan pasien lainnya lagi,” ujar dokter kepala sebelum dia beranjak dari tempat duduknya.


Purwokerto 19 Januari 2022


Bagikan:

Penulis →

Musyafa Asyari

Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri KH Syaifuddin Zuhri Purwokerto. Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni. Bergiat menjadi anggota SKSP ( Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban). Karyanya dipublikasikan di beberapa media online. Sekarang sedang berdomisili di Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *