Sumpah Tamu-tamu yang Sampah


SEANDAINYA aku tidak pincang, kan kubantu Bapak menyambut tamu-tamu yang hampir setiap hari datang,” gumamku di balik kaca jendela yang berdebu tebal. Semenjak Ibu meninggal satu tahun lalu karena menderita sakit liver, jendela ini memang selalu berdebu. Bapak sibuk dengan pekerjaannya sebagai pedagang ikan asin. Sedangkan dia hanya mempunyai satu orang putra. Meskipun sudah dewasa, yang seharusnya bisa menjadi ladang untuk menata kebersihan rumah, namun itu dia, pincang.

Lagi-lagi Bapak kedatangan tamu. Dan seperti biasa, tamu-tamu yang datang silih berganti sejak satu bulan ke belakang itu selalu menyisakan tanya di benak ku. Tidak biasanya rumah kumuh ini ramai dengan tamu. Apa gerangan yang membuat Bapak menjadi tiba-tiba sibuk menjamu? Rata-rata mereka berpakaian rapi seperti Direktur di perkantoran. Setiap mereka yang bertamu pasti membawakan buah tangan. Terkadang berupa makanan seperti cake dan buah-buahan, terkadang pula berupa barang sandang seperti baju dan jam tangan.

Dan hari ini, tamu yang datang sedikit istimewa. Dia tampil bak sultan di istana. Mengenakan jubah berwarna arummanis yang menjuntai hingga ke betis. Dipadu dengan surban yang terlilit dari pangkal lengan.

Bapak mulai bercakap dengan tamu itu, namun aku tetap tak bisa ikut mendengarkan. Ruang tamu di rumahku tertata paling belakang, sedangkan aku berada di depan dengan jarak sepanjang lima belas meter persegi. Setiap hari seusai sarapan pagi, Bapak memang selalu menggendongku menuju ruang televisi yang berada di bagian depan rumah. Aku pun melelap siang hari di atas kursi rotan di ruangan tersebut. Jika ada hajat ke kamar kecil, aku menurunkan tubuhku perlahan dan pergi dengan posisi ngesot. Bapak tidak mampu membelikanku kursi roda, karena penghasilan penjajak ikan asin di pasaran memang tak seberapa.

Penataan ruang di rumah Bapak memang unik. Ruang televisi tertata paling depan, sedang ruang tamu berada paling belakang. Sehingga siapapun yang hendak berkunjung harus rela melangkahkan kaki melewati beberapa tembok penyangga sebelum benar-benar sampai di tempat penjamuan yang beralaskan permadani.

Pernah ku tanyakan pada Bapak perihal alasan yang dia punya.

“Kita ini orang biasa, tidak akan banyak yang bertamu pada kita. Jadi untuk apa Bapak meletakkan ruang tamu di depan?. Jawab Bapak dengan konyolnya saat itu.

Cukup lama si tamu dan Bapak bercengkrama, dan yang terdengar nyaring hanya beberapa intonasi tawa. Aku semakin penasaran, namun diam-diam mengintip bukan keputusan yang nyaman.

Setelah hampir dua jam tamu itu pun berpamitan. Sebelum langkahnya benar-benar menghabiskan semua sudut-sudut rumah, dia sempatkan menghampiriku.

“Ini anak Bapak?” pungkasnya di depan kursi yang ku duduki sembari menolehkan muka ke arah Bapak yang hendak mengantarkan si tamu sampai ke teras.

“Iya Ustadz, mohon do’anya,”sahut bapak dengan kerling mata yang ia sudutkan padaku, seolah dia berkata, “Cepat cium tangan, itu ustadz.” Dan akupun bergegas mengulurkan tangan sebelum kepala Bapak bertanduk.

Tak lama selembar uang berwarna merah hati memangku di atas pahaku.
“Ini buat beli bakso ya, nak,” ucap si tamu seraya menguliti tubuh bagian bawahku. Sepertinya kakiku yang pincang telah membuat dia terharu.

Ini tentu bukanlah kali pertama tamu Bapak mengepaliku uang saku. Hampir setiap tamu yang tiba melakukan hal yang sama dengan tanya yang serupa.

***

Satu Minggu sudah rumahku kembali sepi. Tak ada lagi tamu-tamu yang mengetuk pintu ruang televisi. Seolah kedatangan sang Ustadz kala itu menjadi tamu untuk terakhir kali. Dan ku lihat Bapak kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Pergi pagi pulang petang menjajakkan ikan asin di pasar kecamatan.

Sepulangnya Bapak dari berniaga, aku  menurunkan tubuhku dari kursi, ku hampiri Bapak dengan hati-hati. Bapak yang sedang mengemasi ikan dari para-para penjemuran untuk kemudian dibawa ke pasar keesokan hari, sejenak menolehkan ekor matanya ke arahku yang sudah duduk menyandar di daun pintu.

“Sudah makan, Le?”
Begitulah panggilan sayang dari Bapak untuk anak semata wayang. Jika anak-anak lain disahut dengan panggilan nak, dek, dan lain-lainnya. Maka Bapak mengakrabkan panggilannya padaku dengan sebutan Tole.

“Sudah Pak, tadi mbok Tarmi ngirimi aku nasi pecel sisa jualannya.”

Bapak hanya menyahut dengan senyuman, ia menggeser tubuh gemuknya sedikit menghadap ke wadah-wadah kedap udara. Sebagai pedagang yang tidak memiliki cukup waktu, Bapak selalu merasa beruntung karena memiliki tetangga yang dermawan seperti mbok Tarmi, mantan kekasih Bapak sebelum pada akhirnya menikah dengan Ibuku. 

Di tengah Bapak sibuk menabur-naburkan garam ke dalam wadah berisi ikan-ikan segar tersebut, aku menyambung kembali percakapan tadi.

“Kok sudah lama tidak ada tamu lagi, Pak?” Tanyaku dengan sedikit kernyit di dahi.

Bapak hanya mereaksikan senyuman Tanpa peduli bahwa keinginanku untuk tahu hampir membuatku mati penasaran.

“Tamu-tamu kemarin itu memang siapa saja Pak?”

Melihatku yang semakin bertanya-tanya, Bapak menurunkan ritme gerakan tangannya yang masih asyik dengan remahan-remahan garam.

“Jangan khawatir, Le, rumah ini akan tetap kedatangan tamu. Dua hari lagi paman mu datang ke sini menjenguk kita.”

“Aku tahu, tapi kan tidak biasanya Bapak kedatangan tamu sampai berminggu-minggu lamanya?”

Wajah Bapak masih serupa raut datar yang menganggap sanggahanku itu tidaklah penting.

“Itu namanya tamu dalam rangka,” pungkasnya tanpa menoleh padaku.

Aku semakin penasaran. Dan jawaban Bapak masih belum bisa membuatku menarik kesimpulan.

“Maksud Bapak?”

“Tamu-tamu itu sudah tidak akan datang lagi, seminggu yang lalu sudah dilaksanakan pemilihan Kepala Desa.”

Setelah sedikit memaku, akhirnya aku paham apa maksud sebaris kalimat terakhir Bapak itu. Kepalaku mencoba manggut-manggut meski masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang berlarut-larut.

Bapak memang hanya seorang pedagang ikan asin, namun dedikasinya terhadap sesama membuat dia menyemai pengaruh penting dalam hidup tetangga-tetangganya, sahabat-sahabatnya. Mungkin itu sebabnya tamu-tamu menaruh banyak harapan kepada Bapak.

“Jadi, yang mana yang Bapak pilih?”

“Bapak tidak ikut milih, Bapak bingung.”

“Kenapa bingung Pak? Semuanya bagus?”

“Bukan, semuanya jelek.”

Aku sedikit terperanjat, punggung yang semula rapat menyandar di pintu sedikit aku angkat.

“Kok jelek, Pak?”

“Program-program yang mereka janjikan bagus semua, Le. Dari mulai pembangunan infrastruktur, pemerataan ekonomi, pemberdayaan UMKM, peningkatan nasib buruh tani, dan lain-lain.”

“Nah itu bagus. Kenapa Bapak bilang jelek?”

Bapak berusaha meyakinkan anggapannya. Dia mengelap kedua tangannya dengan kain serbet berwarna abu motif kotak-kotak, dan lantas menghampiriku sejenak sebelum bertolak menuju kamar mandi. Sesaat dia pantulkan sorot matanya menuju kedua kaki ku, berjongkok dengan satu tangan memegang pundakku, dan satunya lagi diletakkan dengan posisi horizontal di atas lututnya yang terbungkus celana training berwarna biru.

“Mereka berani bersumpah atas semua janji-janjinya, tapi Mereka tak akan mampu mewujudkannya. Setiap hendak pulang dari rumah ini, mereka menyempatkan diri menyapamu bukan? Tapi tak ada satupun yang mempedulikan nasib kedua milikmu ini. Padahal harga kursi roda jauh lebih murah dibanding biaya perbaikan jalan.” Tukas Bapak panjang lebar sembari jari telunjuknya menukik ke arah kedua kaki pincangku.

Menjadi seperti Bapak bukanlah hal yang mudah. Dari kedatangan mereka selama sebulan ini, kamar Bapak sudah disesaki dengan beberapa stel baju, dua buah jam tangan tali rantai silver, parcel buah, sembako dan beberapa lembar amplop berisikan ratusan ribu alat tukar barang. Siapa yang tidak terlena dengan semua itu? Jika aku jadi Bapak, sudah pasti kujatuhkan pilihanku kepada dia yang membawakan cendramata dengan kuantitas paling banyak. Tapi rupanya Bapak tidak semurah itu. Pengalaman hidupnya yang pahit disaat dulu ikut membela Negara dalam balutan seragam veteran, tak lantas membuatnya menjadi manusia pecundang yang bisa ditawar hanya dengan sekeranjang manggis dan dikelabuai oleh poin-poin janji manis.

“Termasuk pak Ustadz itu juga Pak?” Sambungku yang masih berharap mendapat jawaban yang akan membuatku tak perlu bertanya lagi.

“Dia itu baru jadi Ustadz lima hari sebelum pemilihan,” sahut Bapak seraya beranjak meninggalkanku yang masih bersandar keheranan.



Bagikan:

Penulis →

Zahro Diniyah

Lahir di Cianjur pada tanggal 01 November 1987. Selain aktif memimpin lembaga pendidikan pondok pesantren miliknya, ia juga aktif mengisi beberapa portal online dengan tulisan-tulisan sederhananya. Ibu dari tiga orang anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *