Stoisisme: Hidup Tenang Tanpa Ribet

Judul Buku   : Filosofi Teras Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini
Penulis      : Henry Manampiring
Penerbit     : PT Kompas Media Nusantara
Cetakan      : Juli 2021, Cetakan ke-4
Tebal Buku   : xxiv + 320 halaman 
ISBN         : 978-602-412-518-9


DEWASA ini kehidupan kita beranjak dari satu persoalan ke persoalan lain tanpa batas. Salah satu alasan masalah selalu muncul, karena interaksi kita yang tanpa henti. Persoalan sederhana atau bahkan kompleks sekalipun terjadi dengan sendirinya tanpa terpikirkan sebelumnya. Terlebih lagi hidup pada usia yang penuh dengan tuntutan kerja, keluarga dan lingkungan, bukan bagian termudah. Mental, nalar dan rasionalitas harus dijaga sedemikian cara agar tetap sehat.

Media sosial turut menjadi pengaruh yang tidak bisa kita anggap remeh. Satu sisi memiliki nilai positif sebagai wadah mengekspresikan karya, tetapi sisi lainnya digunakan untuk menyebar ujaran kebencian. Menjadi manusia yang tetap waras dan dapat mengendalikan diri adalah suatu keharusan. Kita memang sudah melalui banyak peristiwa, baik dalam interaksi langsung ataupun dunia maya. Tetapi terkadang kita belum mampu menyesuaikan dengan keadaan, menanggapi persoalan secara berlebihan, dan masih suka terburu-buru dalam memaknai sesuatu yang terjadi sebagai hal yang negatif.

Situasi terburuknya jika kita gagal melalui persoalan hidup, kita akan jatuh dalam posisi yang tidak menyenangkan, khawatir, pesimis, atau bahkan depresi berkepanjangan. Sialnya kita terkadang sulit untuk bangkit. Pada akhirnya mempengaruhi cara kita berinteraksi dan cenderung memiliki pandangan hidup yang sempit. Pada situasi tertentu tanpa sadar membuat kita menjadi manusia  temperamental, karena mengganggap dunia tidak pernah berpihak hingga merasa Tuhan tidak adil dalam menentapkan nasib.

Buku Filosofi Teras (2019) karya Henry Manapiring memberikan alternatif jalan keluar untuk kita menghadapi persoalan dalam menjalani hidup, tanpa harus mencari siapa yang paling harus disalahkan. Sejatinya persoalan yang ada di sekeliling kita berasal dari nalar dan rasionalitas yang keliru. Sebab itu, fokus pembahasan buku ini tentang sudut pandang penerimaan yang berasal dari dalam diri manusia. Buku ini juga menyajikan jalan keluar yang praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang cukup realate untuk menghadapi persoalan masa kini.

Filosifi teras atau stoisisme merupakan aliran filsafat Yunani-Romawi yang usianya sudah lebih dari 2000 tahun yang lalu. Cikal bakal aliran filsafat ini selalu dikaitkan dengan kisah Zeno dari Citium, ketika mengalami sebuah ‘bencana’ kapal karam jauh dari tempat tinggal asalnya dan terpaksa untuk tinggal di tempat asing. Peristiwa itu msenjadi titik balik dirinya untuk memulai kehidupan yang lebih makmur. Dari sepenggal kisah asal mula stoisisme tersebut kita menangkap makna bahwa aliran filsafat ini mengajarkan bahwa segala peristiwa tergantung bagaimana penerimaan untuk mengendalikan emosi negatif.

Stoisisme bukan aliran filsafat yang diperuntukan mendapat hal-hal yang bersifat eksternal, melainkan meraih kebahagiaan sejati yang berasal dari kondisi mental, a state of mind  yang abstrak. Stoisisme tidak mengajarkan penganutnya untuk pasrah menerima keadaan dan membela diri dalam membela segala kemalangan. Namun untuk menjalani hidup sesuai dengan kebajikan (virtue/arete)—atau cara hidup sebagiamana sebaik-baiknya kita sebagai manusia.

Henry memberikan tawaran bahwa stoisisme mampu menyelesaikan kekhawatiran yang tidak bisa kita anggap remeh, karena aliran ini memiliki prinsip yang bersifat practical dan bisa diterapkan oleh siapa saja. Sepanjang pembahasan dalam buku ini Henry menekankan masalah utamanya pada bagaimana seseorang mengendalikan persepsi, nalar dan rasionalitas. Kekhawatiran atau depresi yang diderita bukanlah diakibat dari peristiwa itu sendiri, melainkan diakibatkan reaksi/resepsi terhadapnya. Stoisisme menganggap bahwa sebetulnya peristiwa yang terjadi bersifat netral (tidak baik atau tidak buruk). Namun persepi, tanggapan, dan pertimbanganlah yang membuat peristiwa memiliki nilai yang negatif atau positif. Cara kita menanggapi sesuatu yang terjadi di luar kendali menentukan kondisi psikis sehari-hari.

Buku ini mengarahkan kita untuk menerima dan menyadari segala peristiwa, karena segala yang terjadi memiliki saling keterkaitan, baik yang dapat kita kendalikan ataupun yang tidak dapat dikendalikan. Kita diharuskan menjalani kehidupan sebagaimana layaknya garis takdir sebagai manusia. Hal ini berdasarkan salah satu prinsip stoisime yaitu ‘selaras dengan alam’ yang berarti manusia harus hidup sesuai kodratnya yaitu bernalar. Prinsip inilah yang menjadi batas tegas antara manusia dengan binatang, dan interpretasi atas peristiwa mesti dilandaskan berdasarkan nalar serta rasionalitas bukan nafsu belaka.

Merasa kesal ketingggal kereta, menghadapi ibu-ibu di jalanan, dimarahi bos saat telat masuk kantor dan lain-lain, sejatinya bersumber dari dalam diri kita yaitu reaksi kita yang menciptakan perasaan tersebut. Agar kita mampu menjaga nalar dan rasionalitas agar tetap sehat dan tidak selalu terjebak dalam perasaan kesal, jengkel dan sejenisnya yaitu dengan menggunakan prinsip ‘dikotomi kendali’ dalam stoisisme. Dikotomi kendali merupakan prinsip yang membagi dua kategori antara hal yang bisa dikendalikan yaitu persepsi pribadi, keinginan, tujuan dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri. Sedang hal yang tidak bisa dikendalikan tindakan orang lain, opini orang lain, popularitas kita dan masih banyak lagi.

Setidaknya dengan memahami prinsip ‘dikotomi kendali’ kita diharapkan mampu menangkal perasaan negatif terhadap suatu peristiwa, karena hanya sedikit yang dapat kendalikan dan jauh lebih banyak di luar kendali kita. Menurut Stoisisme memusingkan hal yang terjadi di luar kendali kita adalah irasional dan kebahagia sejati datang dari hal-hal yang dapat kita kendalikan. Lebih luas lagi dari ‘dikotomi kendali’ yakni ‘trikotomi kendali’ yang diperkenalkan William Irvine. ‘Trikotomi kendali’ terdiri dari hal yang bisa dikendalikan, hal yang tidak bisa dikendalikan dan hal yang bisa dikendalikan sebagian. Pada bagian ketiga misalnya studi, karir, dan bisnis kita tetap untuk memfokuskan internal goals yang masih di bawah kendali dan siap menerima risiko yang terjadi di luar kendali kita.

Ketika memahami hal yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan setidaknya memberikan ruang bagi kita untuk menelusuri persepsi negatif/emosi negatif. Pada dasarnya persepsi negatif/emosi negatif masih dapat diubah, bukan lagi untuk kita perangi. Selain itu, supaya kita memiliki banyak alternatif persepsi yang menguntungkan.

Kita sebagai makhluk sosial yang tiada henti berinteraksi, nyatanya sering kali memaknai peristiwa secara instan atau yang disebut dengan interpretasi otomatis. Misalnya kita terjebak macet (peristiwa netral), kita seketika merasa waktu terbuang sia-sia (interpretasi otomatis), dan pada akhirnya kita marah menyumpahserapahi (emosi negatif). Peristiwa lain pun kadangkala kita menilainya secara instan, alhasil interpretasi otomatis itu membawa kita dalam kehidupan yang tidak menyenangkan, membosankan, dan merasa hidup hanya untuk merasakan persoalan duniawi saja.

Henry menjelaskan bahwa kita sesungguhnya memiliki kendali penuh  terhadap rasa cemas, khawatir, dan emosi negatif yaitu jika kita bisa mengendalikan interpretasi secara aktif. Artinya sesuatu yang ada dalam kendali kita secara utuh dapat kita ubah pada hal positif. Henry memiliki resep untuk kita senantiasa melatih kendali emosi negatif yang ia namai metode STAR (Stop, Think & Assess, Respond). Stop (berhenti) ketika kita merasakan emosi negatif, secara sadar kita harus berhenti dan jangan biarkan berlarut. Think & Assess (dipikirkan dan dinilai) setelah berenti merasakan emosi negatif, saatnya kita menggunakan nalar dan rasioanal kita terhadap interpretasi otomatis, kemudian barulah kita menilai interpretasi otomatis yang diterima bisa dibenarkan atau tidak. Terakhir Respond (reaksi) untuk menentukan reaksi apa yang akan diberikan, baik merespons dengan ucapan atau tindakan.

Resep STAR mencegah kita untuk memberikan respons yang berlebihan atau lebay mengingat banyak hal tidak dapat kita kendalikan (tidak tergantung kita), ketimbang hal yang dapat dikendalikan (tergantung kita). Perlu kita sadari juga bahwa peristiwa dalam kehidupan tidak ada yang benar-benar baru dan segalanya akan terlupakan. Resep yang diberikan Henry perlu kita latih setiap merasakan emosi negatif agar terbiasa mengendalikan emosi negatif. Tidak ada yang tidak mungkin selama sepenuhnya masih dalam kendali.

Buku ini selain memaparkan cara mengendalikan persepsi dan interpretasi, emosi negatif, nalar dan rasionalitas, juga menjelaskan cara memperkuat mental dengan menggunakan prinsip stoisisme yang lain yaitu Premeditatio Molarium:sebuah ‘imunisasi’ mental. Jika kebanyakan orang akan melarang untuk membayangkan hal-hal yang buruk, justru dalam stoisisme kita diminta untuk membayangkan kejadian yang buruk sebelum melaksanakan kegiatan sehari-hari.

Konsep prinsip ini sama halnya dengan imunisasi dalam kesehatan. Memasukan kuman yang sudah dilemahkan, agar membentuk sistem kekebalan tubuh untuk menghadapi kuman yang sesungguhnya. Stoisisme berpandangan ketika kita mensimulasikan kemungkinan terburuk, kita sedang mempersiapkan mental yang lebih kuat daripada sebelumnya. Dengan sadar kita pula akan menyiapkan skenario untuk menghadapi kemalangan. Jika pada akhirnya bayangan peristiwa buruk itu tidak terjadi, maka kita akan mendapatkan kebahagian yang lebih. Tentu konsep ini tidak terlepas kesadaran tentang dikotomi kendali.

Premeditatio Molarium diawali dengan dikotomi kendali dan diakhiri dengan simpulan apa yang harus dilakukan. Untuk mendapatkan mental yang kuat berdasarkan prinsip ini yaitu tidak membesar-besarkan masalah dan fokus terhadap apa yang bisa dilakukan. Keputusan untuk melakukan tindakan praktis bernilai positif lebih rasioanal, daripada meluapkan membuang emosi yang tidak perlu. Karena Marcus Aurelius mengatakan bahwa pada dasarnya hidup ini memang penuh dengan hal enggak enak, itu fakta.

Buku Filosofi Teras mematahkan anggapan saya tentang buku-buku filosofi yang ribet. Ini sebuah buku yang sangat aplikatif, karena sepanjang penjelasan yang diberikan Henry pembaca tidak akan risih dengan teori-teori tapi lebih pada contoh praktiknya. Cara penyajian dan pemilihan masalah sangat dekat dengan seluruh umat manusia di berbagai kalangan. Melalui buku ini saya menyadari bahwa kekhawatiran atau perasaan negatif lainnya bukan berasal dari tindakan orang lain, tapi persepi, reaksi, atau tanggapan saya secara pribadi.

Selain itu saya juga akhirnya lebih baik mencari tahu kenapa orang lain bertindak tidak menyenangkan, mungkin karena mereka tidak memiliki pengetahuan sopan santun atau sebenarnya mereka tidak ingin melakukan hal yang tidak menyenangkan tapi karena persepsi kita yang keliru. Sebagaimana yang dibahas dalam bab “Hidup di Antara Orang yang Menyebalkan” tentang butuh dua pihak untuk merasa terhina, saya tidak akan merasa terhina jika saya pribadi tidak merasakannya atau mengijinkan hinaan itu menjadi interpretasi negatif.

Siapa pun yang sedang merasa lingkungan kerja kurang asik, menjalani hari seoalah penuh dengan perasaan negatif, atau yang sedang merancang resolusi baru pada tahun ini namun takut gagal, buku self improvement  ini bisa menjadi alternatif jalan keluar. Jika seorang koki memiliki buku resep makanan untuk tetap menjaga cita rasanya, maka buku Filosofi Teras resep untuk setiap orang menjaga kewarasan (terlebih sebentar lagi tahun politik, ups). Buku dengan tebal 320 halaman, terdiri dari 12 bab serta dengan ilustrasi ciamik dari Levina Lesmana bisa kita jadikan sebagai panduan menjalani hidup tenang tanpa ribet.

Alinesalavana, 2023




Bagikan:

Penulis →

Irvan Syahril

Seorang penulis kelahiran Subang, Jawa Barat. Peraih penghargaan Sastra Litera 2021. Bergiat dalam komunitas Gubuk Benih Pena dan Bengkel Menulis dan Kreativitas Unsika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *