PEMANDANGAN kala senja, saat langit barat menjingga menjadikan setiap wujud menampakkan sisi gelapnya, adalah salah satu pemandangan yang paling mempesonaku. Sayangnya, periode keindahan ini segera berlalu. Sebagaimana disebutkan oleh rekan saya, Enci Win Oei, magrib mengajarkan bahwa hidup ini sangat singkat.
50, 60, atau 90 tahun usia kita, tak sebanding dengan kehidupan akhirat yang kekal selama-lamanya. Karenanya, tak semestinya kita terlena dalam kehidupan senda-gurau yang menipu, yang menghindarkan kita dari tujuan pengabdian kepada Tuhan Yang Sesungguhnya.
Pengabdian adalah naluri dasar manusia, ketika kita cenderung mengabdi kepada sosok-sosok yang kita puja sedemikian rupa sehingga setara dengan Tuhan: benda-benda langit seperti matahari dan bintang-bintang, ketua suku, penjaga adat, penguasa negeri, juga diri-sendiri berupa hasrat dan nafsu-nafsu.
Sampai Allah mengirimkan para rasul dan nabi dengan membawa kabar dari Sang Pencipta. Ketika kitab suci Al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad Rasullah menyebutkan sabda Allah, “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” {Quran surah 51: 56}.
Para rasul dan nabi yang mengabarkan agama, yaitu jalan yang dilalui dan pakaian yang dipakai ketika mengabdi kepada Allah Yang Esa. Agama yang mengilhami berdirinya peradaban-peradaban dunia.
Penguasa Nusantara
Telah berabad-abad lamanya agama wahyu dianut masyarakat di kepulauan nusantara. Tapi, kita saksikan masih banyak daerah tertinggal, tidak hanya secara fisik tapi –yang lebih serius– secara moral-spiritual, ketika banyak kepala daerah gagal mencontohkan bagaimana menjadi manusia beradab itu seharusnya.
Sebagian di antara mereka menjadi raja-raja (dan ratu-ratu) kecil di daerah, sebagian ditangkap penegak hukum karena korupsi, sebagian membiarkan rakyat di daerahnya tetap bodoh dan lemah agar tak ada yang berani menegurnya jika ia bersalah.
Tampaknya, pemerintah menolak berpegang kepada kitab “konstitusi” ilahiah yang diturunkan Allah. Ia menolak merujuk kepada satu-satunya rujukan yang terbebas dari kepentingan-kepentingan pribadi karena Quran bukan ciptaan manusia. Penolakan ini membuat kekosongan jiwanya diisi oleh setan, musuh sejati manusia.
Kombinasi kepentingan pribadi dan bisikan setan menjadikan kekuasaan berbahaya. Karena pengaruh kekuasaannya, rakyat, juga kelompok rohaniwan, tunduk kepada dirinya sebagai sosok pemerintah yang tampak kuat tapi sesungguhnya amat lemah dalam akidah.
Ini sebuah ironi. Sejarah Indonesia bagi saya adalah sejarah penyebaran Islam di kepulauan nusantara. Raja-raja lokal memeluk Islam membuat rakyat mengikuti raja memeluk Islam. Itu penyebaran yang terus berlangsung hingga kini, ketika RI tercatat sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak, meski posisi itu tampaknya mulai tergeser oleh Pakistan (200.500.000-an tahun 2019).
Tapi, perubahan bentuk kekuasaan dari kerajan menjadi republik, yang seharusnya jadi lebih islami karena sistem monarki tak diajarkan Rasulullah, kelihatannya tidak membuat negara menjadi lebih baik.
Keimanan para pemimpin mempengaruhi keberislaman rakyat yang masih setengah-setengah. Ada pemimpin yang otoriter dan menyingkirkan kelompok Islam yang dinilai radikal dan ekstrem; ada pemimpin yang tampil dengan wajah moderat dan mengambil kelompok Muslim yang pro-pluralisme dan kebangsaan sebagai teman.
Karenanya, jika ingin tahu kita berhadapan dengan orang seperti apa, lihatlah dengan siapa ia berteman (al-hadis). Maka, sahabat karibmu menunjukkan siapa dirimu.
Para pejabat yang ditangkap dan dihukum ini tentu punya banyak teman. Tapi, apa gunanya teman kalau menyimpang semua. Para pesakitan itu punya banyak teman sekampung, atau teman makan malam di restoran atau di kedai kopi. Tapi, tak ada satu pun yang memperingatkannya agar tak berbuat maksiat.
Teman yang baik bukanlah dia yang hanya mau diajak bersenang-senang saja, tapi juga yang mau mengingatkan agar tidak mencuri harta orang atau agar tidak membela yang salah. Tak adakah yang pernah mengingatkan, kalau sudah memeluk Islam jangan lagi mengagung-agungkan ‘ashobiyyah atau fanatisme kelompok?
`Ashobiyyaĥ
“Barangsiapa mati dalam membela ‘ashobiyyaĥ, dia mati dalam jahilliyah,” kata Rasulullah dalam sebuah hadis dari Jundub bin Abdullah al-Balajiy.
Persaudaraan seiman, sebagai sesama orang beriman yang taat kepada Yang Mahagaib, itu lebih penting ketimbang persaudaraan sedarah atau sedaerah atau sekampung. Persaudaraan seiman jelas lebih penting ketimbang pertemanan berdasarkan kelompok, partai politik, juga kelompok pengajian atau mazhab keilmuan.
“Wahai orang orang beriman. Janganlah kamu jadikan bapak bapakmu dan saudara saudaramu sebagai wali (awliyã-) jika mereka lebih menyukai kekafiran daripada keimanan. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka pelindung, maka mereka itulah orang orang yang zalim.”
{QS 9: 23}
Sudah ada peradaban Islam tapi masih menyekat-nyekat diri menjadi kelompok yang sempit. Mengikuti kemauan pihak adikuasa yang mengampanyekan ideologi nasionalisme, ketika satu bangsa Muslim yang semula besar lalu mengecil karena terpecah-pecah dan menjadi seteru bagi bangsa lain yang sesama muslim. Ini kan Islamofobia juga namanya. Menjadi besar kok takut.
Belajarlah dari bangsa lain. Kekhalifahan Turki Uťmani (Ottoman Empire) yang pernah berkuasa selama tujuh abad (1292—1922) yang pengaruhnya meliputi kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Selatan, kini tinggal kenangan. Wilayahnya menjadi hanya sebatas Turki yang sekarang, seiring getolnya bangsa Turki menerapkan paham kebangsaan.
Atau kekhalifahan Arab sebagai salah satu umat yang turut membentuk peradaban Eropa, sehingga salah satu rujukan menyebutkan bahwa Mediterania atau Laut Tengah pada abad pertengahan pernah menjadi “danau memancing” kaum Arab muslim (John King Fairbank 1984), kaum yang juga menduduki Andalusia di Spanyol dan menyumbangkan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, penemu angka nol –sebagai basis setiap penghitungan termasuk yang terdapat pada mesin komputasi yang disebut komputer, adalah ilmuwan muslim bernama Al-Khawarizmi, lahir 780 M. Khawarizmi adalah seorang astronom dan matematis penemu ilmu aljabar dan logaritma.
Ibn Hazm asal Spanyol (994–1064) mewakili kebanyakan sarjana muslim yang meyakini bahwa bumi berbentuk bola, dan ia mengatakan bahwa, “Matahari selalu vertikal terhadap suatu tempat tertentu di bumi”. Itu pendapatnya 500 tahun sebelum pemahamannya dimulai oleh Galileo. Kalkulasi astronom muslim sangat akurat sehingga pada abad ke-9 mereka menghitung keliling bumi sebesar 40.253,4 km –itu kurang dari 200 km dari yang kini diketahui;
Ada lagi Al-Idrisi (lahir 1100) menunjukkan sebuah bola untuk mengilustrasikan dunia di hadapan Raja Roger dari Sisilia pada 1139. Ibnu Hazm juga terkenal akan pandangan fiqh zahri-nya yang menyatakan bahwa konsensus (ijma’) merupakan dasar dari segala takhyul;
Kaum ilmuwan muslim telah memelopori penerjemahan buku-buku Yunani Kuno dan mendirikan perpustakaan umum, seperti Ibnu Rusyd (Averroes) yang kajiannya tentang Aristoteles mempengaruhi lahirnya Abad Pencerahan di Eropa. Seorang penulis, Robert Spencer (2004), melontarkan pendapatnya bahwa Islam adalah “the world fastest growing faith”.
Sunnatullah
Tapi, kejayaan maupun kekalahan itu sunnatullah yang perlu dipelajari, bahwa, setiap kebaikan itu datangnya dari Allah dan setiap keburukan datang dari dirimu sendiri. Pada abad ke-12 dunia Islam mengalami kehancuran serius akibat serbuan mesin perang bangsa Mongol.
Jengis Khan (1155—1227) lalu disusul cucunya, Hulagu Khan (1217—1265) memimpin pasukan berkuda mereka meluluhlantakkan bangsa-bangsa di Eropa dan peradaban Arab-Persia secara bengis.
Mereka membakar perpustakaan Islam serta membunuhi para sarjana muslim. Lalu, perusakan dan penjarahan kota Baghdad seakan menjadi penanda berakhirnya kekuasaan muslim yang telah turut membentuk peradaban-peradaban dunia lainnya. Direbutnya Granada oleh Ferdinand dan Isabella pada 1491 memberi pukulan yang sama kepada kebudayaan Arab di Andalusia.
Bahkan, penulis Lothrop Stoddard yang dikenal rasis dan Islamofobik menyebutkan, “Monoteisme Muhammad yang murni telah tertutup oleh takhyul dan mistisisme kekanak-kanakan yang tumbuh dengan subur. Islam tampaknya telah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang telah kering kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhyul yang telah merendahkan martabat. Seandainya Muhammad bisa kembali ke bumi, ia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik.”
Stoddard adalah seorang sejarawan dan jurnalis yang terkenal akan pandangan rasialnya bahwa bangsa kulit berwarna akan berkuasa setelah merobohkan supremasi peradaban bangsa kulit putih, karenanya ia menganjurkan pembatasan imigrasi ke Amerika dan kontrol kelahiran untuk menekan bertambahnya jumlah warga dari kelas bawah (lihat misalnya CA Qadir, 1988, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam).
Bagiku, eksistensi Stoddard belum tentu buruk buat kita. Terkadang Allah memberi pengajaran lewat musuh-musuh kita. Agama ini diperkuat oleh bekas-bekas musuh Islam (al-hadis). Ingat riwayat khalifah `Umar bin Khattab, orang yang pembenci Islam dan bercita-cita mau membunuh Rasululah sebelum akhirnya ia sendiri menjadi amirul mu’minin yang tangguh.
Mengenai mundurnya semangat keilmuan Islam, Stoddard tampaknya mengacu kepada periode kemunduran ketika Dinasti Moghul di India, Safavid di Persia, dan Imperium Uťmani di Turki yang telah berakhir riwayatnya, dan menurut Stoddard seluruh dunia Islam bertekuk lutut di hadapan bangsa Barat yang menguasainya, memerasnya, dan dalam beberapa kasus menghinanya. Sejarah kekuasaan muslim atas aspek-aspek kebudayaan Barat tak pernah disebut-sebut lagi sejak itu, menyusul imperialisme bangsa Eropa ke seluruh dunia.
Yang tersisa tinggal pola pikir mistik-religius bercampur takhyul, konformisme terhadap otoritas tradisi, xenophobia (ketakutan dan antipati terhadap hal-hal yang baru), taqlid buta (ikut-ikutan belaka), dan penyimpangan terhadap jalan yang lurus. Jalan pengabdian kepada Sang Pencipta {QS 36: 61}.
Terbentuknya Eropa, sebagai cikal bakal bangsa Barat di seluruh dunia, adalah hasil kontribusi banyak peradaban, yaitu Yunani Kuno, Bani Israil, Kristen, Islam, Persia, Mongol. Pada akhirnya, peradaban Eropa adalah juga peradaban umat manusia sebagai satu spesies tunggal yang menerima pengaruh dari berbagai budaya dan saling melengkapi. Manusia menurut Allah diciptakan untuk menjadi pengganti (khalifah) di muka bumi {QS 2: 30}; pengganti yang lebih baik bagi penguasa sebelumnya{QS 24: 55}.
Apakah Uni Eropa kini mampu mempertahankan supremasinya sebagai wakil peradaban yang pernah merintis penaklukan dunia lewat imperialisme? Ataukah ia pun akan tenggelam seperti peradaban-peradaban lainnya? Bagaimana dengan Adidaya Amerika Serikat? Biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Jangan membenamkan matahari di bumimu sendiri dengan menyia-nyiakan akalmu. Para pendahulu telah memperjuangkan kemandirian akal sebagai karunia Allah yang sangat berharga. Akal yang bukan hanya otak di kepala, tapi juga hati di dada tempat manusia berkomunikasi dengan-Nya.