“KITA tak dapat melawan takdir,” kata kawan kecilku puluhan tahun silam, tetapi masih terngiang-ngiang di telingaku seolah barusan saja ia teriakkan. Biarpun aku mengamininya, ketika itu seorang kawan berkata lain, “Kita bisa mengubah takdir. Kita bisa kalau mau.” Namun, kebanyakan orang putus asa memang tak mau berusaha. Mereka cuma mengeluh dan diam menunggu seseorang mengubah. Pemikiranku agak goyah. Lalu, katanya dengan lirih dan hati-hati, “Hidup ini bukan dongeng yang pada akhir cerita akan diselamatkan peri dengan sekali simsalabim!” Ia menatap kami berdua, pandangan yang menyiratkan kebencian pada manusia-manusia pengeluh.
Hari-hari berikutnya kami melupakan perbincangan mengenai takdir. Aku tidak benar-benar melupakannya. Hanya saja aku tidak mau dua kawanku itu berdebat lagi tak jelas ujung pangkal, dan aku terpaksa menyimak mereka dengan tanpa bisa menyela. Begitu pun aku percaya, masing-masing mereka juga sepertiku, tetap mengingat isi-isi perdebatan soal takdir dan kebuntuan diskusi itu. Hanya karena tak mau berdebat dan pihak lain menyadari kelemahan pendapat masing-masing, yang mungkin memang asal bunyi, mereka lantas berbicara tentang panen bawang yang gagal dan pasukan bintang yang mulai menduduki ibukota di timur laut.
Itu adalah musim ketika orang dusun kami harus semakin cermat dalam mengurus bahan makanan karena hasil ladang yang buruknya sungguh keterlaluan. Ditambah musim dingin yang datang begitu cepat dengan badai yang tiba-tiba dapat datang dan pergi tanpa permisi; mampu mengangkat semua benda yang ada di tanah, mengaduknya dalam pusaran angin dan mengempaskannya lagi, atau membawanya terlebih dulu ke tempat yang jauh. Entah itu ke puncak bukit di dusun tetangga, mendaratkanya ke seberang sungai atau menjatuhkannya ke perut bendungan. Pada musim badai menyerang tiga tahun sebelumnya, kami menemukan hewan ternak kami telah lenyap bersama kandang-kandangnya dan sepekan setelah badai paling ganas itu, bangkai sapi tergeletak di dekat hutan bambu yang jauh di luar dusun. Sekawanan anjing hutan sedang berpesta memamah sapi-sapi yang malang.
Aku pergi dari sengkarut itu. Sebuah kereta membawaku dari dusun di tengah perbukitan. Lewat jendela kereta, aku saksikan bentang alam yang kutinggalkan. Aku merasa jadi sangat melankolis. Ladang, desa, sungai kecil berbatu yang airnya dingin dan segar, rumah-rumah desa yang hangat dengan tungku kayu bakar. Semuanya kutinggalkan, demi melarikan diri dari takdir.
Kawan pertama kukejar ke rumah yang daun pintunya sudah remuk. Ia sudah tergeletak di dapur dekat kendi air minum. Tersungkur seakan sedang menyembah seperangkat peralatan makan, dan kulihat mulutnya mengucurkan sungai darah.
Aku mengoyang-goyang bahunya yang lemah itu, memanggil-manggilnya dan menampar-nampar wajahnya. Aku memintanya bangun untuk melarikan diri. Namun, ia tetap saja tak sadarkan. Ia memang memilih mempertahankan takdirnya untuk mati, dan apakah ini memang tanda-tanda yang diberikannya dengan perkataan menyerah di hari-hari kemarin. Bukankah orang yang akan mati kerap menunjukkan isyarat bahwa tak lagi lama akan meninggalkan dunia, dengan pesan-pesan dan perilaku tak biasa.
Memikirkan itu, aku langsung teringat pada kawanku satunya yang sempat bersikeras bahwa takdir dapat diubah. Setelah takdir menemui dusun kami untuk diserang, apakah ia memberi tanda bahwa ia akan bertahan hidup dan berusaha melawan takdir? Aku berlari-lari menuju rumahnya yang ternyata telah dimamah bara. Rumah kawanku itu telah merah dilalap api yang semestinya membawa kesenangan dengan kebiasaan ibu yang kalau sudah menyalakan api berarti akan tiba makanan nikmat. Akan tetapi, api kali ini telah melahap kawanku, kawan dekatku yang aku miliki.
Kereta ini adalah langkahku melawan takdir, membuktikan bahwa takdir itu bisa dilawan. Ya, setidaknya aku telah melawan untuk terus bertahan hidup.
Di stasiun terakhir, kereta memuntahkanku untuk kemudian memaksaku bersatu dengan ratusan penumpang lain di kota ujung daratan. Kalau masih kuat berjalan, akan aku saksikan pemandangan lautan luas yang lepas dengan kegiatan bongkar-muat pelabuhan yang ramai.
Apakah aku menjauhi takdir atau aku benar-benar telah dengan bodoh hendak melawan takdir. Aku menjauh dari tempat di mana semestinya—mungkin harus habis dan aku menghindar, tetapi ternyata kini aku malah ke kota di mana sang pembunuh itu berada, ibukota daratan yang kukenal suci dengan berlimpahnya para penerang jiwa. Namun, kini ke mana saja aku melihat bendera-bendera merah berkibar, kuil-kuil telah dicat merah, naga-naga telah hilang atau barangkali melarikan diri dengan terbang dan sang penjaga kota saat ini adalah para lelaki berseragam rapi yang memanggul senapan laras panjang itu, kaku, dan membekukan perasaan siapa pun yang mendengar langkah sepatunya yang berdekak-dekak di jalanan, lalu berpindah ke gendang telinga dan aku merasakan keadaan resah saat aku berlari-lari mengejar kawanku yang telah pergi entah ke mana.
Lampu-lampu tembak menusuk mataku. Berkerlap-kerlip berganti warna. Aku tersedot dalam arus kehidupan masyarakat urban, hiruk-pikuk masyarakat keparat yang dulu aku benci, dan kini entah karena takdir atau hukuman karena aku berkeras melawan takdir, ia datang dan menonjokku untuk kemudian menyadarkanku bahwa sekuat apapun upaya lari dari takdir, akan gagal juga. Tetapi memang ada yang tidak pasti, semua ini merupakan ambiguitas dari kenyataan yang ada.
Aku merasa ada yang tengah mengawasiku. Saat aku bangun tidur di pagi hari dan duduk di kloset dalam toilet yang sempit. Seperti seorang anak yang sedang ketakutan bila ketahuan berbuat buruk oleh ibunya. Aku mengendap-endap keluar-masuk kamarku di apartemen kumuh di penggiran ibukota, seolah-olah ada orang yang akan mengrebekku. Menemui aku yang baru pulang ketika jam menunjuk pada angka empat dini hari, saat para penyiar stasiun berita di televisi memulai hari dengan senyum dan semangat penuh kesegaran dan kesadaran serta kebahagian, aku tergolek di sofa dengan tangan terjuntai memegangi remote, dan masuk dalam tidur yang menggelisahkan. Televisi menonton aku tidur dan tugas di antara kami bertukar peran. Aku merasa seorang telah mengawasiku.
Aku memutuskan kembali ke hutan bambu yang teduh. Tempat aku bertumbuh. Sesungguhnya aku yakin bukan aku yang ingin kembali. Tetapi seorang yang mengikutiku itulah yang telah membawaku pulang. Mengakrabi lagi masa lalu. Menghidupkan lagi kenangan, sebelum kejadian merah itu.
Kusaksikan dusun yang telah kutinggalkan itu telah mulai bangkit dibangun ulang, walau waktu berjalan lama, tetapi apa-apa yang ada di sana masih jauh dari keadaan semula yang meski dibilang sederhana tetapi lebih baik dari saat ini. Aku merasakan bahwa dusun ini telah kehilangan jiwanya, orang-orang yang tersisa kukenali dengan lupa-lupa ingat. Meraih kenangan yang telah lama terlupakan begitu sulit, seperti halnya mengupas bawang merah ketika mata masih menangis setelah ditinggal orang tercinta. Begitu mengiris-iris, menyakitkan dan menyedihkan.
Aku berusaha menuju rumah tempat tinggal, mengingat-ingat letaknya di mana. Kucari pohon-pohon jeruk yang telah jadi arang. Hanya pertanda jeruk itulah aku dapat memastikan letak rumah, sebab setelah penyerangan yang lebih pantas disebut sebgai penghabisan dusun dan penduduk, tempat-tempat dan letak tak lagi dapat ditebak dengan pasti. Ia ada tetapi tak jelas ukurannya, tak lagi pasti, tak lagi memberi keyakinan yang teguh. Ia bisa sangat lucu karena apa yang dulu tak boleh kami jangkau—misalnya, kebun milik pak tua, tuan tanah, yang punya lahan paling subur dengan jeruk paling menggiurkan—kini rasanya telah jadi jalan umum yang aku lewati, atau padang semak yang penuh belalang.
Aku menemukannya di ladang bawang. Terkurung dalam balutan baju terusan yang kebesaran, tak menunjukkan lekukkan badan. Kutanyakan, “Nyonya tahu pohon jeruk yang sudah jadi arang?”
“Jeruk yang hangus terbakar dalam penyerangan? Ada di sana,” tunjuknya, “Empat petak ladang dari sini.”
Ia memegang keranjang rotan. Di dalamnya terdapat beberapa jenis sayuran.
“Apa sayur itu dijual?”
Ia terkejut lantas tersenyum. “Tidak, Tuan, kami menanam untuk dimakan sendiri.” Jawabnya dengan ramah, “Tetapi kalau Tuan mau, tentu saya tak berkeberatan untuk berbagi separuh.”
“Ya, ya, kalau boleh, tentu saya akan sangat senang.”
Ia lalu mencarikan aku kantong kertas dan membagikan aku separuh sayurnya.
Ia lalu berkata padaku bahwa jarang sekali orang datang kemari sejak penyerangan puluhan tahun lalu. Kawan-kawannya hilang entah ke mana, kebanyakan tewas, kisahnya, tapi yang lain mungkin ditawan tentara dan dikirim untuk dipekerjakan ke kota lain, bekerja di pertambangan atau dipaksa menjadi tentara, siapa pun tak tahu. “Beruntung saya sempat lari dari sini sendiri, padahal saya ingin sekali mengajak orangtua saya, dan dua kawan kecil saya,” tambahnya.
Aku baru tersadar bahwa ia mungkin seumuran denganku, karena ia pun mengalami apa yang aku alami pada peristiwa berdarah. Saat aku hendak bertanya mengenai masa kecilnya, seorang lelaki berseru panjang. Ia yang mengenakan kemeja lengan panjang tergulung, berjalan di setapak pagar pondok ini, ia tersenyum pada perempuan itu yang kemudian beralih padaku.
“Kenalkan, dia suamiku, Tuan.”
Ia ramah menyambutku. Pertanyaanku pada perempuan itu tertunda dan kami, para lelaki mulai berbincang tentang kedatanganku.
“Oh, kalau kamu mau menyusuri dusun, aku bersedia menemani. Ayolah tak usah sungkan, anggaplah sekalian aku jalan-jalan sore.”
Kami berjalan di setapak tanah yang merah. Ia bercerita tentang dusun itu seperti aku ini seorang pendatang baru saja. Ia banyak bercerita dan lupa menanyakan ceritaku. Ia hanya menanyakan namaku dan asal. Dan ia bercerita tentang kedatangannya dan istrinya di dusun itu. Dan aku terus bertanya-tanya sendiri. Ia kah kawan kecilku?
===========
Wendy Fermana lahir di Palembang, 10 November 1994. Ia menulis cerita pendek, puisi, dan esai di berbagai media nasional. Bukunya yang telah terbit Kawan Lama (Teras Budaya Jakarta, 2017) dan Ratu Bagus Kuning (Balai Bahasa Sumsel, 2017). Saat ini, ia bergiat di Komunitas Kota Kata dan berkhidmat sebagai pengajar bahasa Indonesia di MTs Negeri 1 Lubuklinggau.