Judul Buku : Muhammad, The World Changer Penulis : Mohamad Jebara Penerjemah : Berliani M. Nugrahani Penerbit : PT. Bentang Pustaka Cetakan : I, November 2022 Tebal Buku : xv + 389 halaman ISBN : 978-602-291-979-7
BAGAIMANAPUN, sirah tak pernah terlepas dari kepentingan para penulisnya. Salah satu sirah tertua yang masih ada, ialah The Chronicles of The Mesengger of God yang diminta Khalifah Al-Mansur agar didongengkan kepada anaknya yang masih berusia 10 tahun, oleh seorang pendongeng handal pada masa itu yakni Ibnu Ishaq. Karena Al-Mansur membutuhkan teladan yang pas untuk anaknya agar meneruskan estafet kekuasaannya, maka jadilah Muhammad versi Ibnu Ishaq digambarkan sebagai sosok penakluk yang gagah berani dan seorang pemimpin besar. Sebaliknya dalam karyanya yang berjudul Asy-syifa, ‘Iyadh al-Yahsubi yang merupakan seorang qadhi, menggambarkan Sang Nabi sebagai sosok yang lembut, seorang humanis yang empatik, tokoh yang pintar dan tidak mengintimidasi, alih-alih sebagai pendekar padang pasir yang gagah berani dan ditakuti. Begitupun dalam buku ini Muhammad, The World Changer, kendati Jebara melakukan riset mendalam hingga bepuluh tahun lamanya, mencari sumber-sumber yang menceritakan napak tilas Sang Nabi hingga ke pelosok dunia, namun tetap saja, ada setidaknya unsur subjektivitas dalam karyanya ini.
Muhammad, Sang Nabi. Digambarkan Jebara sebagai sosok pemikir kontemplatif dengan gagasan revolusioner, pria lembut penyayang keluarga dan kaum lemah, juga sosok yang sangat humanis. Islam yang dibawakan Sang Nabi, bukanlah Islam dogmatis sebagaimana yang lazim diketahui saat ini, ajakan untuk berkembang dan memperbaiki diri menjadi gagasan awal dari berkembangnya ajaran yang suci ini. sebagaimana tertera dalam wahyu pertama yang diterimanya, Iqra’ bukanlah berkisar pada sekadar membaca atau membaca alam raya (sebagaimana yang dikatakan Quraish Shihab), akan tetapi Iqra’ diartikan sebagai ajakan untuk berkembang, Jebara memahaminya dari bahasa semit awal atau bahasa Arab para tetua yang telah hilang. Sebagaimana ia juga mengatakan, bahwa mode bahasa di dalam Al-qur’an memilki beberapa mode, yakni mode nomaden, agraris hingga urban. Secara strategis, hal ini dimaksudkan agar Al-Qur’an dapat dimengerti oleh pembaca yang beragam.
Akibat dari pengartian bahasa arab (dalam buku ini) yang dilihat dari asal mula kata itu terbentuk maka, banyak menimbulkan interpretasi baru mengenai pola pikir Sang Nabi. Berdasarkan buku ini, penulis sendiri melihat Sang Nabi sebagai sosok yang filosofis, yang memerangi kemandekan berpikir. Ia menyayangkan orang-orang yang tidak ingin bertindak untuk berubah (menjadi lebih baik) memperbaiki dirinya sendiri. Bila dilihat dari sisi historis-geografis, orang-orang Mekkah dahulu adalah masyarakat yang anti-perubahan. Sang Nabi, memilki pola pikir progresif, juga gagasan-gagasan revolusiner, hal ini dapat dilihat bagaimana ia mencetuskan Piagam Madinah, awal mula konsep zakat atau lebih jauh lagi yakni saat beliau masih muda, ia membuat perjanjian Hifful Fudhul yang merupakan jaminan keamanan bagi mereka (umumnya para pendatang) yang dizholimi oleh para pemuka Makkah dalam melakukan transaksi jual-beli.
Islam yang dibawakan Nabi Muhammad SAW, pada mulanya berupa pola pikir untuk melawan hegemoni pandangan hidup jahiliyyah pada masa itu. Selain itu, juga bertujuan untuk mengembalikan konsep-konsep ajaran Ibrahim yang telah tereduksi jauh dari ajaran awalnya. Hal ini dapat terlihat bagaimana kegiatan haji pada masa jahiliyyah Makkah dijadikan sebagai lahan untuk mengeksploitasi para peziarah dengan mereguk keuntungan sebanyak-banyaknya melalui komersialisasi dengan motif penjualan komoditas yang “hanya” ada di Makkah, semisal busana upacara untuk perayaan haji dan beragam azimat tertentu, yang hanya ada dan harus dibeli di Makkah. Komoditas-komoditas yang dipatok dengan harga mahal tersebut, mengakibatkan kesenjangan yang jelas antara si kaya dan si miskin. Mereka yang tidak bisa membeli busana upacara serta azimat-azimat tertentu, tidak diperbolehkan memasuki area Ka’bah. Pada akhirnya, mereka terpaksa melakukan ritual-ritual ziarah -yang cukup jangggal- di luar ka’bah seperti thawaf sambil bertepuk tangan maupun bersiul, yang ironisnya dilakukan dalam keadaan telanjang. Setelah Fathu Makkah, Nabi kemudian mengembalikan ajaran haji kepada konsep asalnya, yakni berkumpul bersama untuk menyampaikan beragam gagasan. Tidak ada lagi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, laki-laki dan perempuan derajatnya sama. Nabi menyampaikan gagasan-gagasannya saat semua peziarah berkumpul di ‘Arafah, dan dihadiri tidak hanya oleh para penganut Islam melainkan juga oleh para Kristiani dan Yahudi. Mereka turut menyaksikan penyelenggaraan “rapat” akbar tersebut.
Tidak hanya itu, cara Nabi dalam menata masyarakat juga sangat modern -bila mengacu pada masa itu-, di manapun dibangun sebuah Masjid haruslah ada pasar di sekitarnya. Tak dapat dipungkiri bahwa pasar merupakan tonggak dari berjalannya suatu ekosistem yang bernama masyarakat, bila mereka ingin maju haruslah ada pasar, hal ini menunjukkan bentuk kemandirian dan kemerdekaan suatu masyarakat. Dan mengapa harus pasar? Sebab orang yang beribadah dengan perut kosong tidak lebih baik dari mereka yang sudah tercukupi kebutuhan primernya, yakni sandang, pangan dan papan. Nabi berusaha memenuhi kebutuhan primer ini terlebih dahulu, bahkan mengajak para saudagar untuk membuka lahan pekerjaan sebanyak-banyaknya agar tidak ada yang menganggur. Prinsipnya, sekalipun kau hanya bisa menyuruh seseorang menggali parit lalu menimbun parit yang sama, maka lakukanlah, agar orang-orang tidak menganggur. Menganggur merupakan pintu kemandekan berpikir, dan dengan tak terpenuhinya kebutuhan primer, orang-orang mudah terpengaruhi atau dijadikan alat untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya.
Ajaran Islam yang dibawakan Sang Nabi dengan corak dakwah kasih-sayang antar manusia (tidak peduli terhadap siapapun itu), kebebasan dalam berpikir serta kesetaraan, masih terus terjaga hingga masa Khalifah ‘Umar bin Khattab. Namun ironisnya, corak filosofis dalam Islam yang merupakan ajaran awalnya, mulai melenceng sejak kekhalifahan Utsman bin Affan. Pemahaman jahiliyyah yang baru saja ditaklukkan oleh Nabi, dua tahun sebelum wafatnya, masih memiliki kemungkinan untuk bangkit kembali. Sebab, biarpun Nabi melakukan Fathu Makkah lewat jalan non-kekerasan, tetap saja ada orang-orang picik yang masih ingin membalaskan dendamnya -akibat kematian para tetua mereka di Badar dan peperangan lainnya- dengan mengembalikan ajaran leluhur mereka, tentunya dengan cara yang lebih halus.
Cara-cara halus itu salah satunya berupa penghasutan terhadap khalifah Utsman, yang masih memiliki darah dengan keturunan Umayyah. Di masa Utsman inilah mulai terjadi beragam pelencengan berupa nepotisme, bertolak belakang dengan ajaran nabi yang bercorak meritokrasi. Bani Umayyah mendapat posisi mumpuni di lingkup pemerintahan. Tidak hanya Utsman, mereka pun menghasut ‘Aisyah sehingga terjadilah perang antara ummahatul mukminin ini dengan Ali. Sejak saat itu, kemelut dalam dunia Islam mulai merambah. Nabi hanya meninggalkan dua wasiat berupa Al-Qur’an dan sunnahnya atau gagasan pola pikirnya, di mana kedua hal ini dapat digunakan oleh siapa saja. Sebagian di antara pengikutnya ada yang menafsirkannya demi memajukan kesejahteraan umat, namun sebagian yang lain melakukan penafsiran demi kepentingan pribadi dan maksud-maksud politis tertentu.
Setelah 90 tahun kekuasaan Bani Umayyah, mereka pun berhasil mereduksi ajaran Islam yang awalnya bercorak filososis dan inklusif, menjadi ajaran dogmatis yang kaku. Al-Qur’an bahkan dijadikan pajangan yang hanya bisa dipelajari oleh sekelompok orang tertentu, kitab ini tidak lagi dapat dinikmati oleh mereka yang awam (dalam artian, para awam harus menyesuaikan pandangan mereka dengan sekelompok orang itu). Akibatnya, terjadi kesenjangan yang begitu jauh antara Islam dengan dua ajaran pendahulunya yakni Nasrani dan Yahudi, kedogmatisan ini menjadikan Islam sebagai ajaran yang eksklusif, jauh dari tujuan awal Sang Nabi.
Masih banyak lagi informasi dalam buku ini, terkait tentang pola pikir Sang Nabi dan faktor-faktor historis-kultural yang mengakibatkan kemandekan berpikir dalam Islam setelah masa kejayaannya beratus tahun silam. Narasi yang dihadirkan Jebara tidak hanya begitu memikat namun juga dapat teruji validitasnya, karena berasal dari riset yang mandalam dan sitasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka tak ayal, akan kita temui beberapa fakta dalam buku ini yang bertentangan dengan fakta yang lazim diketahui selama ini. Fakta-fakta dalam buku ini sedikit banyak telah diketahui oleh kalangan akademisi, namun ironisnya akademisi yang terhitung jari itu, tak sebanding dengan jumlah masyarakat awam yang masih terjebak dalam informasi turun-temurun yang lazim diketahui. Jebara menghadirkan makna asli Islam yang membumi, inklusif dan filsosofis. Buku yang patut dibaca dan dihadirkan kepada generasi saat ini dan seterusnya, agar tidak lagi menerima fakta turun temurun yang dianggap benar hanya karena mayoritas menganggapnya benar. Bacalah buku ini dengan pikiran terbuka.