SEWAKTU aku umur tiga tahun, ayahku berangkat merantau ke negeri jiran. Sejak saat itu aku merasa tidak punya ayah lagi karena aku hanya melihat ibu yang setia di sampingku. Entah mengapa aku juga tidak menanyakan ayah ada di mana atau mungkin aku yang lupa. Setiap dua tahun sekali, ayahku pulang kampung demi keluarga yang selalu diingatnya tanpa pernah aku tahu. Dan karena aku merasa tidak punya ayah lagi, aku pun jadi takut ketika melihat di rumahku ada orang asing berambut gondrong yang tersenyum kepadaku. Saat itu ibu baru saja menjemputku dari Taman Kanak-kanak. Ibu bilang dia ayahku. Aku yang kehilangan ingatan tentang ayah pun hanya diam dan takut untuk memandangnya, bahkan aku tidak mau lepas dari gendongan ibu. Orang-orang banyak berdatangan mengunjungi rumahku, atau setidaknya seperti itulah yang aku lihat. Aku tidak mengerti kalau mereka sedang menjenguk orang yang disebut ibu sebagai ayahku itu, yang baru saja tiba dari negeri seberang.
Tak ada yang aku pahami selain hanya keramaian orang-orang yang saling bersalaman dan bercakap-cakap dengan ayahku. Kadang-kadang di antara mereka menggodaku dengan nada guyon karena aku takut kepada ayah sendiri, “Itu ayahmu lho, mbok disapa.” Pada waktu itu aku benar-benar takut kepada orang yang baru saja kutemui itu. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau aku punya ayah yang terlihat menakutkan. Aku tidak ingat persis ketika ayah berangkat merantau untuk pertama kalinya. Entah saat itu aku ada di mana? Ibu selalu memberitahuku kalau ayah sedang mencari rezeki di tempat yang jauh demi kita. Tapi karena bayang ayah tak cukup kuat di ingatanku aku jadi melongo saja sambil tetap mendengarkan kata-kata ibu. Segala yang aku lihat dan rasakan di hidupku hanya ibuku.
Hanya ibu yang selalu berada di sampingku selama bertahun-tahun. Ketika ayah pulang kampung, paling lama hanya satu bulan di rumah, dan waktu satu bulan itu tak pernah cukup untukku mengakuinya bahwa dia adalah ayahku, setidaknya aku belum siap untuk memanggilnya ayah. Bahkan ketika awal-awal kedatangannya saja aku memanggilnya dengan sebutan “Heh.” Kudengar orang-orang pada heran dan tertawa mengejek “Itu ayahmu lho, masa manggilnya begitu.” Bukannya menolak atau tidak mau memanggilnya ayah, hanya saja aku belum siap untuk memanggil seperti itu. Bayangkan, anak kecil yang sudah bertahun-tahun ditinggal ayahnya dan hanya pulang setiap dua tahun sekali, kemudian dalam satu bulan dipaksa untuk memanggil orang asing, gondrong, dan menakutkan itu dengan sebutan ayah. Itu sangat mengerikan buatku. Aku bahkan tidak ingat wajah ayah saat ia masih menggendongku dulu. Ayah pergi merantau ketika aku masih balita.
Tak ada bau yang tersisa dari ayahku, tak ada foto yang terpampang di gedek rumahku yang menunjukkan bahwa itu ayahku. Hanya ibuku yang selalu mengingatkanku bahwa ayah masih ada. Tak ada ekspresi apa pun dariku ketika ibu menyebut ayah, karena bayangnya tak pernah kutemukan dalam selimut malamku. Ayah tak pernah hadir saat aku kedinginan malam-malam, karena air hujan yang menetes dari atap rumah yang tidak rata gentingnya. Dan esok paginya aku bangun dengan berteriak-teriak karena di atas kelambu aku melihat ada ular besar. Ibu yang dengan sigap berlari menuju kamarku untuk menenangkanku. Ibu mengatakan kalau itu bukan ular, tapi tumpasan bekas air hujan yang terlihat seperti jalur memanjang. Tapi bagiku itu terlihat seperti ular. Di atas kelambu ranjangku itu memang dipasangi plastik untuk menahan agar air hujan tidak jatuh menimpaku di kasur.
“Oh ayah, andaikan engkau berangkat merantau ketika ingatanku sudah benar-benar matang, mungkin aku tidak akan lupa dan tidak takut kepadamu. Meski engkau pulang-pulang dengan penampilan gondrong dan menakutkanmu pun aku tetap akan ingat karena bayangmu telah abadi dalam ingatanku.” Namun karena keadaan yang menjepit, ayah terpaksa pergi ke tempat jauh itu dan meninggalkanku yang masih kecil. Sehingga ibu tidak usah ikut bekerja keras dan punya banyak waktu untuk merawat dan menjagaku dengan baik.
Setiap bulan, ibu selalu mengajakku ke kota untuk mengambil uang yang dikirimkan ayah. Ibu mengajakku ke ruang kaca sempit dan dingin di pinggiran jalan sambil mencet-mencet sesuatu di sebuah mesin kotak. Lalu dengan polosnya aku bertanya “Ibu kalau mencet-mencet kok keluar uang?” Ruang sempit itu sering dihampiri orang-orang, bahkan terkadang ada yang sampai antri. Aku pikir orang-orang yang masuk ke ruang kaca itu tidak hanya ingin mencet-mencet yang kemudian keluar uang, tapi juga mencari kesejukan. Karena di dalam memang sejuk, bahkan dingin untuk kulitku yang masih tipis. Ibu yang mendengar pertanyaanku hanya tersenyum saja, mungkin ibu kesulitan menjelaskan kepadaku apa sebenarnya ruang sempit itu, makanya ibu hanya tersenyum. Belakangan aku baru tahu kalau itu yang namanya ATM (Automatic Teller Machine). Mesin yang bisa mengeluarkan uang setelah dipencet-pencet dahulu.
Aku juga tidak pernah lupa ketika ibu membeli HP, handphone Nokia 2300 untuk pertama kalinya setelah dapat kiriman uang dari ayah. Ayah yang belum berani kupanggil ayah. Ibuku belajar menggunakan HP baru itu kepada tetangga yang sudah punya lebih dulu. Waktu itu di kampungku masih jarang sekali orang punya HP, apalagi harga Nokia 2300 cukup mahal bagi orang kampung. Kecuali orang kaya atau ada anggota keluarganya yang sedang merantau di luar negeri. Ibuku bukan orang kaya, tapi masuk kelompok yang kedua. Bu Lek-ku yang penasaran pun ingin melihat dan mencet-mencet pula HP mahal itu.
Sejak ibu punya HP itulah ayah sering menelepon ke rumah. Dari suaranya ia terdengar bahagia sekali dapat bercakap-cakap dengan keluarganya yang berada jauh darinya. Padahal ia sendiri yang menjauh dari kami, tapi ibu mengatakan jika ayah melakukan itu demi aku, demi keluarganya. Ayah juga ingin mendengar suaraku, anak yang diam-diam selalu dirindukannya tanpa pernah aku tahu, padahal aku sendiri belum berani memanggilnya ayah. Aku penasaran juga untuk merasakan bagaimana sih rasanya rindu kepada ayah itu. Namun, bayanganku tidak pernah sampai kepada ayah, aku seperti tidak punya ikatan dengannya. Berbeda dengan ibu yang selalu ada buatku. Selain itu, aku jadi lebih tahu bahwa tidak hanya teve dan radio saja yang bisa berbicara seperti manusia, tetapi handphone juga bisa. Barang kecil itu bisa bicara walau terkadang terputus-putus suaranya. Kalau sudah begitu, biasanya ibu keluar rumah untuk melanjutkan bicara dengan ayah agar suaranya jadi lancar. Atau kalau tidak ibu mematikan HP-nya saja lalu menemaniku untuk tidur.
Ayah juga tidak pernah tahu ketika aku sempat menghebohkan satu kampung, gara-gara aku pergi setelah mengaji tanpa pamit dan izin ibu. Waktu itu aku diajak tetangga untuk tilik bayi di kampung sebelah tanpa memberitahu orang tuaku dulu. Sewaktu aku dalam perjalanan pulang terlihat dari kejauhan ada keramaian di depan rumahku. Aku pikir ada maling, tapi setelah tiba di keramaian itu terdengar keras ada orang berteriak, “Lha iki bocahe!” Ternyata orang-orang kampung mengira aku diculik Wewe Gombel dan mencariku beramai-ramai. Sebagian orang ada yang bawa senter, obor, ada yang bawa panci dan alat-alat dapur. Mereka bilang sempat menyenteri ke rumpun bambu belakang rumah sekiranya menemukanku, tapi tidak ada yang tahu kalau aku ternyata sedang diajak tilik bayi. Nenekku yang pertama memarahiku, sementara ibuku hanya tersenyum saja. Aku tentu saja hanya meringis melihat wajah orang-orang di situ, mungkin mereka kesal karena dikerjai oleh anak kecil. Tapi aku benar-benar tidak berniat untuk melakukan itu.
Kuharap aku bisa menceritakan kisah ini kepada ayah. Aku tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya nanti, setelah berani memanggilnya ayah tentunya. Aku membayangkan kalau ia akan tertawa ngakak atau malah memarahiku seperti nenek, entahlah. Membayangkannya saja sudah membuatku tersenyum. Ah, andaikan memang seperti itu. Di mata kecilku ayah tidak pernah mengajari apa pun, tapi kata ibu ia selalu mendoakanku di setiap tidurnya yang tak pernah lelap karena memikirkanku di tanah seberang sana. Kata ibu, ayah itulah pahlawan yang sebenarnya. Ia rela meninggalkan keluarganya, kampungnya dan negerinya demi menjagaku dari kejauhan dan memastikan kebahagiaanku tidak terganggu oleh apa pun.
Pati, 13-19 Oktober 2022
==========
Aji Shofwan Ashari, lahir di Pati, pernah jadi kontributor di situs berita online Tagar.id. Masih aktif mencatat dan menulis sampai sekarang.