1
Adegan ini terjadi ketika sore sehabis hujan, di belakang rumah. Di sana, ada pohon rambutan, ada pohon ketepeng; ada kamar mandi yang terbuat dari bahan seadanya: seng dan anyaman bambu. Di sana, ada pula tali jemuran yang membentang, yang diikatkan pada pohon rambutan dan pohon ketepeng ke bagian ujung dari rumah dan kamar mandi. Di dekat pintu, ada sebuah bangku yang tidak terlalu panjang.
Untuk sesaat hening—
Angin berembus lembut, dan beberapa sisa hujan di ujung daunan jatuh…
Tampak Pon keluar dari rumah, membawa sebuah kursi plastik berwarna merah; membuka kaos dan mencantolkan kaos itu ke tali jemuran yang masih agak basah. Tak lama, keluar pula Pak Amat, membawa tas hijau yang biasa dipakainya untuk menyimpan alat-alat cukur.
Diletakkanya tas hijau berisi alat cukur itu di bangku dekat pintu: membuka, mengambil gunting, dan sisir yang berwarna belang jingga-coklat. Pon duduk diam, dan Pak Amat pun mulai menyisir rambut anaknya. Mulailah Pak Amat memotong rambut; dan Pon mengikuti arahan tangan bapaknya. Pak Amat pun memotong dari belakang Pon, samping, dan juga depan.
Sesudah selesai, Pak Amat pun mendekati tasnya, mengambil sikat—untuk membersihkan sisa rambut yang menempel pada Pon. Dan seperti ketika dipotong, Pon pun diam; sesekali melihat langit, melihat kejauhan pandang.
Ada kegamangan dalam diri Pon, tapi diberanikannya untuk berkata:
Pak…
Pak Amat pun mendekati Pon, sambil membawa sikatnya, dan menjawab:
Ada apa, Pon?
Bukankah seharusnya sepetak tanah di utara dekat rel, di dekat lapangan itu, adalah hak Bapak yang diberikan dari Mbah Alus?
Pak Amat diam sesaat, lalu tetap membersihkan tubuh Pon yang tertunduk; Pon tertunduk menantikan jawaban, memikirkan tentang ucapannya barusan. Saat dirasa sudah cukup bersih, maka berkatalah Pak Amat dengan nada yang lembut:
Pon, itu tak perlu dipikirkan. Semua sudah diatur oleh Gusti.
Tapi, Pak, bukannya Bapak yang diberi alat cukur dan sepetak tanah yang seharusnya digunakan untuk lapak cukur? Tapi oleh—
Pon, dengarkan Bapak. Dengarkan. Bapak tak pernah mempersalahkan hal itu; biar saja. Mungkin, memang hak Bapak—untuk memiliki dan mengunakannya. Tapi, biarlah.
Kalau saja . . .
Mbah Alus, simbah kakungmu itu, memang mewasiatkan sepetak tanah dan alat cukur ini untuk Bapak, Pon. Bahkan, untukmu juga: nanti. Namun, biarlah; meski akhirnya tanah itu tidak dipakai, dan dibiarkan terbengkalai oleh paman-pamanmu, Pon. Jangan; jangan biarkan ada dendam dan iri di dalam hatimu, Pon.
Pon tertunduk; meski, ingin menyampaikan sesuatu.
Pak Amat pun kembali berkata:
Tanpa dendam dan kebencian, hati manusia akan damai; hidupnya akan tentram. Mungkin, memang kita tampak kesulitan, tetapi hati kita tentram, Pon. Hal itu mesti diingat.
Iya, Pak…
Bapak tahu, maksud dan arah pembicaranmu, Pon. Tapi, biarlah. Yang jelas, Pon harus dan mesti belajar; harus rajin membaca. Bapak sudah senang dan tidak mengharapkan apa-apa. Kalaupun Bapak mengharapkan sesuatu hal, Bapak hanya ingin Pon dan Sinta nantinya bisa menjadi anak baik. Jadi manusia yang berguna. Manusia yang sebenar-benarnya manusia. Cukup itu.
Iya, Pak—
Angin berembus kembali, dan tetes sisa hujan mengenai Pon dan Pak Amat.
Pon janji akan belajar rajin dan menabung untuk membeli rumah sendiri, meski kecil; dan akan buatkan Bapak lapak cukuran rambut.
Pak Amat tersenyum, lalu berkata:
Bapak bersyukur. Itu sudah lebih dari cukup. Selama Ibuk, Pon, dan juga Sinta bahagia, Bapak juga ikut bahagia. Jadi, jangan ada dendam-kebencian atau sejenisnya di dalam hatimu, Pon. Ingat baik-baik.
Terdengar suara Sinta, adik Pon, memanggil Pon—
Tampak Sinta keluar sambil ditemani Bu Amat.
Mas Pon… Mas Pon…
Ada apa, Dik?
Pak Amat pun bertanya:
Ada apa, Buk?
Sinta baru ingat, Pak, kalau besok diminta gurunya membawa kertas lipat untuk kerajinan tangan.
Sinta yang mendengar itu menganggukkan kepala: mengiyakan.
Pon pun mengambil kaosnya yang ada di tali jemuran, dan Pak Amat yang menangkap maksud anak lelakinya itu pun segera berkata:
Sudah-sudah. Biar Bapak saja yang temani. Pon kan habis potong rambut; mandi dulu saja—
Dan kepada Sinta Pak Amat berkata:
Bapak yang temani, bagaimana?
Sinta pun amat riang mendengarnya!
Ya, Pak. Nanti sekalian beli es krim, ya?
Mendengar itu, Bu Amat lekas-lekas berkata dengan lembut pada Sinta:
Habis hujan, kok makan es krim.
Pak Amat tertawa mendapati gadis ciliknya yang riang; dan sebuah suasana yang teramat menghibur hatinya yang sehari-hari dibingungkan pekerjaan. Lantas, berkatalah Pak Amat kepada gadis ciliknya, Sinta:
Nanti beli gorengan panas saja, ya, biar bisa dimakan sama-sama—
Dan kepada Bu Amat, Pak Amat berkata:
Buatkan kopi, ya, Buk?
Ya, Pak. Hati-hati di jalan.
Pak Amat dan Sinta pun meninggalkan Bu Amat dan Pon.
Bu Amat mengambil sapu dan serok, hendak membersihkan rambut
Biar Pon saja, Bu, ucap Pon lembut.
Sudah. Tidak apa, Pon.
Bu Amat pun memandang dalam-dalam mata Pon, dan mendapati sebuah kegelisahan juga setumpuk pertanyaan, dan Bu Amat pun berkata:
Ada apa, Pon?
Bukan apa-apa, Buk…
Matamu tidak bisa bohong, Pon. Ceritalah pada Ibuk.
Pon terdiam sesaat, lantas berkata:
Buk, apakah benar Gusti itu Mahaadil? ucap Pon, amat lirih.
Pon… Gusti itu Mahawelas-asih. Mungkin, kelihatannya hidup kita susah dan kekurangan, tapi kita senang dan bahagia. Dan itu lebih dari cukup, Pon. Pon belajarlah yang rajin, dan nanti beli rumah sendiri. Untuk sekarang ini, belajar lebih dari cukup.
Pon tertunduk—
Buk, apakah takdir manusia bisa diubah atau diganti?
Bu Amat mendekati Pon dan mengelus kepalanya.
Pon… Apakah Pon tahu takdir milik sendiri? Apa daun itu, ucap Bu Amat sambil menunjuk ke arah pohon Rambutan, tahu kalau akan Ibuk tunjuk sekarang?
Pon hanya terdiam; mencoba memasukan ucapan ibunya.
Manusia tidak tahu takdirnya, Pon. Lalu, bagaimana mungkin Pon mau mengubah sesuatu yang Pon sendiri tidaklah tahu. Pon hanya perlu bersyukur, dan juga bersabar. Takdir itu rahasia; dan untuk mengetahuinya, Pon harus berusaha dan berdoa, agar tahu apa yang ada di ujung sana.
Iya, Buk.
Ya sudah, sekarang, lekas mandi; dinginkan kepala. Jangan lupa keramas, kan habis potong rambut.
Ya, Buk.
Pon pun pergi mandi.
Bu Amat menyapu sisa potongan rambut, memasukannya ke plastik khusus; dan meletakkan kotoran lain, seperti daunan gugur, juga sapu dan serok pada tempat semula. Lalu, Bu Amat pun masuk ke rumah.
Terdengar suara Pon mandi: membasuhkan air ke tubuhnya—
Pon keluar dan melihat kejauhan kembali; air dari rambutnya menetes, dan jatuh mengenai genangan air yang masih ada di sana.
Burung-burung itu, ucap Pon dengan pandang mata kemilau, tengah menuju rumah atau malah sedang mencarinya…… Apakah mereka seperti manusia yang mana terjebak pada panjang kembara dan hanya bisa sesekali singgah?
2
Adengan ini terjadi ketika malam, di dalam rumah. Di dalam sana, berisi perabotan yang tak terlalu banyak. Ada sebuah rak yang dipenuhi oleh buku-buku—milik Pon dan Sinta. Pak Amat sedang menemani putri kecilnya, Sinta, belajar.
Malam ini ditemani Bapak tidak apa, kan? Mas Pon sedang mengerjakan tugas di perpus kota; dan katanya, buku yang dicari tidak boleh dibawa pulang, jadi baca di tempat. Kalau Ibuk sedang pengajian.
Tidak apa, Pak. Sinta senang kok ditemani Bapak.
Ya sudah, bukunya diambil dan dibuka. Nanti, kalau pas Bapak tidak bisa, dikosongi dulu; nanti tanya Ibuk atau Mas Pon, ya?
Ya, Pak, ucap Sinta sambil mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas.
Oh, iya, kertas lipat yang tadi jangan lupa dimasukan tas.
Iya, Pak, jawab Sinta dan segera dimasukannya kertas lipat ke dalam tasnya.
Pak Amat memberi isyarat berdoa—dengan mengangkat kedua tangannya. Dan Sinta pun menangkap maksud bapaknya itu. Pak Amat dan Sinta pun berdoa. Sesudahnya, Sinta membuka bukunya dan mulai mengerjakan tugas isiannya.
Nabi yang mukjizatnya membelah lautan itu…
Sita mengingat-ingat—
Nabi Musa!
Sinta pun menuliskan jawaban, dan membaca soalnya kembali—
Nabi yang mukjizatnya dibakar tidak mempan itu…
Sinta mengingat-ingat, sambil memainkan pensilnya—
Nabi… Na-bi, Na-bi, Ibra- him. Ya, Nabi Ibrahim!
Sinta menuliskan jawabannya, dan membaca kembali soal lainnya; dan Pak Amat pun begitu senang melihat tingkah putrinya itu—
Nabi yang mukjizatnya bisa bicara dengan binantang…
Sinta mengingat-ingat, mengingat-ingat, tapi tak juga menemukan jawaban; dan bertanyalah Sinta pada bapaknya, pada Pak Amat:
Siapa ya, Pak? Sinta lupa.
Nabi yang bisa bicara dengan hewan itu, putranya Nabi Daud.
Sinta mengingat-ingat kembali. Dan dia pun mengingatnya!
Ah, Sita ingat! Namanya Nabi Sulaiman.
Pak Amat tersenyum, amat teduhnya, senang; dan berkata:
Sinta memang pandai.
Pak, ucap Sinta yang tersadar dan teringat sesuatu. Berarti Mas Pon itu bisa bicara dengan hewan, ya?
Pak Amat tertawa—sebab ucapan anaknya itu, juga sebab kenangan silam.
Memang kenapa? ucap Pak Amat. Apa karena nama Mas Pon itu Poniman Sulaiman?
Iya, Pak.
Sinta pun tertawa lirih.
Apa Sinta tahu kalau Nabi Sulaiman itu punya kerajaan yang sangat-sangat luasnya. Dan, umatnya dari banyak bangsa: Ada manusia, jin, hewan, dan banyak lagi—yang mungkin belum kita tahu. Dan istananya sangat luas dan amat indahnya.
Tapi, Pak, Mas Pon pernah bilang begini. Kalau rumah besar belum tentu di dalamnya ada kebahagiaan. Begitu, Pak. Rumah itu adalah tempat pulang, kata Mas Pon.
Sinta tahu maksudnya?
Sita menggelengkan kepalanya: tak tahu.
Rumah itu, ucap Pak Amat melanjutkan, tempat di mana manusia pulang.
Sita tidak paham, Pak.
Pak Amat tersenyum.
Begini, ucap Pak Amat hendak memberi contoh. Kalau Sinta punya rumah besar, rumah yang bagu sekali, tapi tinggal sendirian; tanpa Bapak, Ibuk, dan juga Mas Pon; bagaimana?
Sinta tidak mau, Pak, jawab Sinta mantap. Walau rumahnya kecil, yang penting Sinta sama Bapak-Ibuk dan Mas Pon.
Nah, seperti itulah.
Pak Amat memandang buku sekolah Sinta, dan berkata:
Itu diselesaikan dulu.
Ya, Pak…
3
Adegan ini ada di belakang rumah, ketika siang. Pak Amat dan Bu Amat sedang memandangi tanaman; dan memandangi arah kejauhan. Keduanya memikirkan hal-hal yang berkenaan dengan kepindahan.
Sudah sampai waktunya, ya, Buk…
Sepertinya begitu, Pak. Yang punya rumah mau pakai rumahnya, mau dibuat tembok dan tingkat. Kita mesti pindah, Pak.
Akhirnya sesuatu meminta kita untuk pindah, ya, Buk. Mungkin kita akan pindah tempatnya Simbah, Buk. Di sana ada tanah. Tapi, pindah dari kota ini adalah kepindahan yang berat.
Iya, Pak. Cari kontrakan juga tambah sulit, tambah mahal. Tapi, lihat Pon dan Sinta, Ibu jadi bingung—
Bu Amat terdiam sesaat.
Tapi, pasti ada jalan dari Gusti.
Iya, Buk. Kita mesti yakin.
Pak Amat teringat sesuatu!
Mbah Alus, Bapakku, pernah bilang: Di mana bocah pertama kali jatuh dari dipannya ketika bayi, atau di mana ari-arinya ditanam, di sanalah rumah si bocah akan ada, tempat kembali, tempat yang akan disebutnya sebagai kampung halaman.
Iya, Pak. Simbah pernah bilang begitu, ucap Bu Amat. Dan ari-ari Bapak dan Pon juga ada di kota ini.
Semoga saja, Buk. Gusti punya jalan-Nya sendiri. Manusia macam kita mesti yakin dan percaya. Kalau tidak kepada Gusti, mau percaya siapa lagi, Buk?
Iya, Pak.
Bu Amat pun teringat sesuatu pula!
Oh, iya, Pak, nanti malam, Pak Bagiyo minta Bapak sama Ibuk pergi ke rumahnya. Pak Bagiyo bilang mau menyampaikan sesuatu.
Ya, nanti kita datang. Pak Bagiyo sudah seperti kangmas sendiri; dan Mbah Sastro selalu Bapak anggap sebagai bapak sendiri juga, Buk.
Kalau begitu, Ibuk tak masuk dulu, Pak, mau kasih tahu Pon biar temani adiknya nanti malam.
Pak Amat mengiyakan; dan Bu Amat pun masuk.
Pak Amat pun kembali memandangi kejauhan. Dikeluarkannya sebatang rokok samsu, menyalakannya, lantas mengembuskannya perlahan. Matanya, yang telah menunjukan usia tua itu, seolah memunculkan tanya:
Adakah jalan keluar dari persoalan ini?
4
Adegan ini terjadi pada sore yang cerah, di belakang rumah. Bu Amat duduk di atas bangku dekat pintu. Bu Amat menyisiri rambut Sinta yang duduk di atas dingklik. Sinta duduk diam memandang langit ke depan: pohon-pohon, tanaman, dan langit yang masih memberi biru.
Buk, ucap Sinta, apa benar kalau bulan depan kita akan pindah ke tempatnya Simbah?
Tak ada genap tanggapan dari Bu Amat, dan Bu Amat pun masih menyisiri rambut Sinta—
Sinta tanya Mas Pon; dan katanya, di sana ada pantai sama laut. Nah, terus Sinta tanya, “Mas, laut dan pantai itu seperti apa?”
Terus dijawab apa? sahut Bu Amat.
Sinta pun menjawab dengan mantap, dengan berupaya menyerupai suara kakaknya, menyerupai mas Pon:
Laut itu seperti langit, tapi lebih basah dan aromanya asin. Kalau pantai itu tempat penuh pasir yang bisa dibuat untuk mainan, untuk buat istana-istanaan. Apa benar begitu, Buk?
Iya, jawab Bu Amat dan ada senyum tipis di wajah teduh itu. Semoga Sinta suka.
Sinta suka kok, Buk, selama ada Mas Pon, Ibuk, sama Bapak. Tapi, kalau boleh milih, Sinta lebih ingin tetap di sini.
Bu Amat pun berucap lirih:
Semoga saja, Nak…
Sita seolah lupa pada yang diucapkannya barusan meminta dikucir ibunya:
Buk, dikucir, ya?
Iya.
Buk, ucap Sinta lagi, apa liliput itu beneran ada? ….. Orang-orang yang kecil sekaliii itu, lho, Buk.
Mungkin ada, Nduk, Ibuk tidak tahu. Memang kenapa?
Sinta ingin jadi liliput yang kecil sekaliii. Nanti, Sinta mau naik Branjangan peliharaan Bapak, terus ambil satu bintang di langit sana. Agar kalau mati lampu tidak gelap. Mas Pon dan Sinta bisa baca buku deh, he-he-he.
Kalau gitu, Ibuk harus bilang sama Mas Pon biar temani Sita. Agar tidak hilang… dan tersesat.
Iya, Buk, he-he-he. Sinta tidak tahu jalan pulang soalnya.
Dilihatnya pohon Ketepeng itu oleh Sita!
Buk, Buk, lihat, ada burung!
Mana?
Bu Amat melihat ke arah mata anaknya memandang, dan mendapatinya—
Ah, iya…
Itu burung Hud-hud, ya, Buk?
Bu Amat hanya tersenyum mendapati ucapan anaknya.
Tadi, ucap Sinta antusias, di sekolah, Bu Guru bilang, “Burung Hud-hud itu mengantarkan pesan untuk dan dari Nabi Sulaiman. Nah, namanya Mas Pon itu kan ada Sulaiman-Sulaimannya…
Itu bukan Hud-hud, Nduk. Itu namanya Throthokan, Trucukan juga bisa.
Sinta pun dengan segera berkata pada burung yang ada di pohon itu:
Throthokan! Tolong sampaikan pada Tuhan, ya, agar Sinta punya rumah di sini saja.
Bu Amat merasa haru, dan tanpa sadar memanggil nama anaknya pelan:
Sinta…
Apa, Buk?
Lihatlah daun-daun itu, ucap Bu Amat lirih, kalau makin sore, daunnya akan menutup perlahan.
Iya, Buk. Kayak orang yang memberikan sembah.
Dan Sita teringat sesuatu:
Buk…
Apa?
Kepangan sudah selesai!—dan berkatalah Bu Amat lagi:
Sudah selesai.
Sinta pun mengangkat kepalanya, mengarahkan pandang ke langit—
Mas Pon pernah bilang sama Sinta begini. Kalau kita tidak bisa mempunyai rumah di atas tanah kota ini, maka kita bisa tinggal di langit yang biru itu…
Dan tangan Sinta yang mungil itu pun menunjuk ke langit jauh.
5
Adegan ini terjadi di dalam rumah, kala malam, diterangi lampu yang temaram. Di sana, tampak Sinta dan Pon yang sedang belajar. Pon menemani adiknya membuat bangau kertas.
Apa Sinta tahu, kalau bisa membuat 1000 bangau kertas, nanti akan terkabul sebuah permintaan?
Iyakah, Mas? sahut Sinta polos. Apa bisa?
Pon tersenyum mendengar ucapan adiknya, dan berkata:
Apa salahnya mencoba?
Oh, iya, Mas. Tadi, Sinta cerita sama Ibuk tentang Mas Pon mau tinggal di langit—kalau tidak bisa tinggal di atas tanah kota ini.
Mendengar itu, Pon tertawa lirih.
Terus, Ibuk bilang apa?
Ibuk hanya tersenyum. Terus…
Sinta pun menirukan gaya ibunya berucap—
Ibuk bilang, Mas Pon kan tidak bisa renang masa mau terbang.
Ibuk memang selalu begitu, ucap Pon lirih seolah pada dirinya sendiri. Tapi, Sinta mau tidak kalau punya rumah di langit?
Sinta yang penting sama Mas Pon, sama Ibuk, sama Bapak.
Sinta terdiam sesaat—
Tapi, Sinta juga agak bingung, Mas, caranya ajak teman-teman Sinta buat main pasaran-nya.
Pon mengelus pelan kepala adiknya, perlahan.
Oh, iya, Mas. Sinta tadi sore, lihat burung di atas pohon, lihat burung Thro… Throtho… Throthokan. Nah, terus, Sinta bilang begini sama burung Throtokan. Bilang sama Tuhan, ya, Throthokan, biar Mas Pon, Bapak, sama Ibuk, sama Sinta juga, tinggalnya di sini aja; di kota ini.
Semoga saja, Dik, ucap Pon lembut. Sinta selalu membawa keberuntungan ke sini soalnya
Terdengar ketukan pintu dan salam dari Pak Amat dan Bu Amat! Keduanya masuk, dan disambut amat hangatnya oleh Pon dan Sinta. Dan setelah duduk tenang dan nyaman, Pon pun bertanya begitu penasaran:
Bagaimana, Pak-Bu?
Bu Amat memangku Sita, dan barulah berkata:
Bapak mau bilang sesuatu, Pon.
Keduanya, Pak Amat dan Bu Amat, berpandangan sesaat. Ah! suatu tanda bahwa keduanya sepakat dan mesti sejalan. Maka, berkatalah Pak Amat:
Tadi, Bapak dan Ibu pergi ke rumah Pakde Bagiyo, anaknya Mbah Sastro. Dan, di sana, Pakde Bagiyo bilang, kalau beliau dapat wasiat dari Mbah Sastro.
Sinta yang penasaran, dengan polosnya, bertanya pada ibunya:
Wasiat itu apa, ta, Buk?
Pesan sebelum pergi jauh, Nduk, jawab Bu Amat.
Pak Amat tersenyum mendapati tanya gadis ciliknya, dan dikatakan bahwa anaknya itu amat pandai. Dan kepada Pon disampaikanlah lanjutan ketika sowan:
Jadi, Mbah Sastro sebelum meninggal menuliskan sebuah surat; dan baru ditemukan kemarin Ahad, setelah mencarinya 5 hari 5 malam.
Iya, Pon, tambah Bu Amat. Pakde Bagiyo sebelumnya cerita, hampir selama sepekan lebih Pakde mendapatkan mimpi didatangi oleh Mbah Sastro yang bilang: Bersihkanlah-temukanlah! Ucapan itu didengar Pakde berulang-ulang.
Isinya apa, Pak-Buk, sampai panggil Bapak sama Ibuk.
Pak Amat terdiam sesaat, mengeluarkan kertas-surat yang dimaksud, dan disampaikanlah dengan suara yang dibuat lebih dalam:
Di sini tertulis begini—
“Saat menuju Sana makin dekat, Manuk Branjangan dan manuk Throthokan mendatangiku. Mereka berkata agar hendaknya aku membuat sebuah perpustakaan penuh buku sebagai suatu penebusan dosa di masa silam, sebab kebodohan, sebab membakar rumah-rumah pengarang atas perintah seorang komandan. Lalu, rumah di seberang jalan itu, berikanlah pada Dik Amat, kalau ia atau anak lanangnya yang begitu sopan itu belum punya rumah. Semoga Bagiyo berkenan jalankan wasiat ini. Sebab, ada burung Garuda yang berjanji mau mengantarkanku ke tempat Gusti kang Mahasunyi bersemayam, setelah hal itu genap terpenuhi. Sebab hanya itu hal yang masih mengganjal dalam perjalanan panjang ini…”
Pon terdiam sesaat, merenung; dan sesudah mendapati kesadarannya lagi, berkatalah dia:
Lalu . . . apa selanjutnya, Pak?
Pakde Bagiyo bilang, bahwa mungkin itu memang sudah dalane Gusti. Dan Bapak diperbolehkan untuk tinggal di sana. Tapi, Bapak bilang, Bapak akan pindah kalau Pon sudah punya rumah sendiri, dari usaha sendiri. Bapak yakin, kalau Pon akan punya rumah sendiri di kota ini.
Ibuk juga yakin, Pon. Sebab ari-arimu ditanam di tanah ini. Iya, kan, Pak?
Pak Amat tersenyum senang; dan Bu Amat pun begitu adanya.
Ye-ye. Ye-ye. Sinta tidak jadi pindah. Sinta juga yakin Mas Pon bisa punya rumah di sini. Sinta akan bantu Mas Pon…
Pon merasa amat haru; matanya berkaca-kaca—
Syukurlah, ucap Pon sambil mengelus dada sendiri; dan kepada adiknya, Pon berkata:
Sinta memang membawa keberuntungan, Sinta memang adiknya Mas Pon.
Pon memandang bangau-bangau kertas itu, dan tertawa pelan, dan berkata:
Belum juga jadi 1000 bangau kertas…..
He-he-he, tawa lirih Sinta. Tapi, Sinta, kan, sudah titip pesan ke Tuhan lewat burung Throthokan.
Semua tersenyum lega.
Malam yang tenang, suara burung peliharaan Pak Amat lembut terdengar, suara jangkrik turut lembut terdengar; dan terdengar pula sebuah bunyi kereta dari kejauhan, terdengar membawa kepada jauh, membawa ke sebuah pernyataan bahwa duka pun begitu rapuh.
(2019—2022)
==========
Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang lulusan jurusan sastra dan kini menjadi seorang pengajar bahasa di sebuah sekolah menengah kejuruan di Sleman. Menulis sajak dan prosa-fiksi, serta esai pendek. Beberapa tulisannya tersiar di beberapa media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau di Instagram: polanco_achri.