Memanggil Gelombang Kata

Ombak, Bapakku

Bau cakalan panggang bau rinduku
Kuhirup sampai di dada wangi ibu
Doa yang menyala dari pasir karang
Menyentuh air, buih menjadi kembang

Daun dan ranting menggerakkan semoga
Perahu dan mimpi lupa luka-luka
Bolehlah kubuka tali layar ini
Agar lipatan kenangan hidup lagi

Tidak mungkin lagi bulan tak bersinar
Bila hanya sebatas awan terhampar
Darah di tubuh mengalir dari laut
Jantung berdetak dari ombak tak surut

Tak mungkin kulepas dayung dari tangan
Tak akan patah jangkar dalam ingatan
Kulit telanjur kebal karena garam
Maka hanyalah cemas yang boleh karam

Jika laut berdebur berkali-kali
Maka tak boleh berdebar perih nyeri
Matahari terbit tenggelam di dada
Bulan bintang tak akan kurang cahaya

Berangkat berlayar meninggalkan rindu
Sampai di tengah laut Allah arahku
Pulang ke rumah membawa masa lalu
Sampai di kamar Allah sunyi sepiku

Bandungan, 2023



Suara Ombak

Suara ombak adalah bunyi rindu
Yang dikirim laut dari masa lalu
Sampai pesisir diterima cemara
Burung-burung menyanyikan di rantingnya

Hancur sudah kulit lokan dalam dada
Leburlah seluruh perih di dalamnya
Perahu berayun ke pulau di seberang
Dituntun matahari bulan periang

Sepanjang pelayaran surut gelombang
Disentuh sekali lagu kasih sayang
Yang berdebur biarlah hanya yang jauh
Yang di dekat hanya kembang-kembang tumbuh

Bandungan, 2023




Surat pada Gadis Girsereng

Ingin aku jemput dirimu, Marlena
Saat mendengar kabar laut terluka
Putih pasir dicemari angan-angan
Makam leluhur dihapus di ingatan

Tinggal kenangan menunggu gugur daun
Sebab rumput halaman tak lagi rimbun
Anak-anak bagai api pada kayu
Api padam yang tersisa hanya abu

Sayang, baru kusentuh laut di bibir
Debur ombak tak sedebar angin desir
Aku bisa memanggil gelombang kata
Tetapi khawatir dirimu tak suka

Dalam begini aku tak lebih batu
Mata bulan merah jatuh ke mataku
Aku kirim perahu lewat gemuruh
Sebab rindu tak setabah angin subuh

Pulanglah padaku dirimu, Marlena
Laut dalam puisi tak pernah luka
Tak ada dusta di antara pasirnya
Tak terselip duka di balik ombaknya

Bandungan, 2023




Di Pantai Pandan Ambunten

Sebab bukan ikan yang ingin kujala
Bukan pula kepiting di lubang luka
Jaringku kurakit dari kata-kata
Malam dan bulan yang menyempurnakannya

Ini masih pagi dan hujan tak curah
Matahari menjahit hari yang gerah
Hanya bersamamu bersepeda rindu
Kita taklukkan jalan-jalan berbatu

Di dada pantai kita menyentuh sunyi
Ombak-ombaknya bagai gadis berlari
Kerudungnya bergerak menepis perih
Sepanjang pesisir penuh camar putih

Kulepas jala sepanjang masa lalu
Kaulepas doamu yang masih pemalu
Kita bawa pulang ombak paling sajak
Agar di dada Allah kian berdetak

Bandungan, 2023




Berguru pada Perahu

Aku ini hanyalah selembar daun
Yang terlepas dari jerat mata anggun
Di hadapan laut yang ombaknya denyut
Belajar jadi perahu yang tak ciut

Perahu berlayar menghadapi badai
Cemas dan waswas hanya di bibir pantai
Yang dahsyat itu cuma gelombang nafsu
Sekali menghempas terpental Allahu

Di tengah laut bagai di tengah rindu
Semakin jelas gema dari Allahu
Bergetar sampai ke balik tulang dada
Melebihi gemetar seribu luka

Yang tampak di depan bukan pelabuhan
Tapi cinta dari seluruh ‘amalan
Bila pulang hanya kembali ke fitrah
Melepaskan diri dari yang gelisah

Bandungan, 2013



Bagikan:

Penulis →

Faidi Rizal Alief

Belajar menulis puisi dan cerpen sejak nyantri di Lesehan Sastra dan Budaya Kutub Yogyakarta. Pernah membacakan puisinya di Rumah Pena Kualalumpur Malaysia. Beberapa puisinya terbit di media massa seperti Horison, MAJAS, LiteraSIP, Lensa Sastra, Kurung Buka, KR, Tribun Bali, dll. Dan terbit di antologi bersama seperti Senyuman Lembah Ijen, Jazirah, Komunitas Negeri Poci  dll. Buku puisinya Pengantar Kebahagiaan Basabasi, Juni 2017 menjadi salah satu pemenang di Banjar Baru’s Rainy Day Literary Festival 2018 kategori Promising Writer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *