Upaya Menulis Ulang Sejarah Kita

Judul Buku   : Hikayat Penguin
Penulis      : Anatoli France
Penerjemah   : Yogas Ardiansyah
Penerbit     : Moooi Pustaka
Cetakan      : 2020
Tebal Buku   : 336 halaman
ISBN         : 978-602-066-463-7

JAUH sebelum Yuval Noah Harari menulis ulang sejarah umat manusia lewat buku fenomenalnya Sapiens, Anatole France sudah lebih dulu melakukannya lewat L’Île des Pingouins (1908) yang kemudian diterjemahkan oleh Moooi Pustaka menjadi Hikayat Penguin (2020). Tidak seperti Sapiens yang ditulis dengan pendekatan akademis-populer, Hikayat Penguin adalah sebuah buku fiksi bernada satir yang menceritakan peradaban bangsa penguin setelah berevolusi menjadi manusia.

Cerita bermula setelah seorang Santo bernama Mael tidak sengaja membaptis sekelompok penguin karena ditipu iblis. Lalu digelarlah majelis surga untuk membicarakan nasib bangsa penguin ke depannya. Tuhan mengumpulkan para santo untuk duduk bersama dan berembuk guna menyikapi bagaimana bereaksi atas peristiwa ini. Setelah perdebatan yang alot, dicapailah kesepakatan: Tuhan akhirnya memutuskan bahwa bangsa penguin yang telah dibaptis ini mau tidak mau harus diubah menjadi manusia agar bisa menjadi umat gereja.

Setelah itu, Mael sebagai pembaptis bertanggungjawab membimbing bangsa penguin yang telah bermetamorfosis menjadi manusia agar bisa terus hidup di jalan agama. Tentu saja semua perjuangan Mael tidak berjalan mulus, karena bangsa penguin, seperti juga manusia, memiliki takdir untuk menjadi ingkar dari perintah Tuhan.

Membunuh Menjadikanmu Seorang Bangsawan

Setelah bangsa penguin memulai hidup menetap, mereka dipaksa untuk membangun ulang sistem sosial. Sejak itu mereka mulai mengenal apa yang disebut kepemilikan properti. Sebelum itu tentu saja tidak ada hukum yang dikenalnya selain hukum agama ajaran Santo Mael. Jadi hukum alam yang bekerja, siapa yang kuat dia yang dapat. Seorang pria besar membunuh seorang pria kecil dan mengambil tanah si pria kecil adalah sesuatu yang umum terjadi dalam proses menuju pembentukan sistem sosial. Lalu lahirlah apa yang kita kenal sebagai kaum bangsawan. Mereka adalah para pemilik tanah yang berasal dari keturunan pria besar. Bagian ini membuat saya terkenang pada dialog Jamie Lannister dan Bronn dalam season terakhir serial Game of Throne.

Ketika Bronn meminta Highgarden sebagai bayaran atas pekerjaannya, Jamie menolak. Dia berkata bahwa Highgarden tidak akan pernah menjadi milik seorang pembunuh. Bronn membalas, “Pembunuh? Kamu tahu siapa leluhurmu? Leluhur yang membuat keluargamu kaya. Mereka semua adalah pembunuh. Membunuh ribuan membuatmu jadi bangsawan. Membunuh lebih banyak lagi, kau akan jadi raja.”

Apa yang dikatakan Bronn tidak jauh dari kebenaran karena sebelum para bangsawan lahir, kekutan fisik adalah yang paling menentukan kepemilikan, seperti juga diceritakan dalam novel klasik ini.

Setelah lahirnya kaum bangsawan, peradaban berkembang, majelis pertama bangsa penguin digelar dan mereka membahas bagaimana sebaiknya sistem pemerintahan dibangun agar tercipta keteraturan. Mereka mulai membahas bagaimana mengelola pemerintahan dan saat itu lahirlah sistem perpajakan. Ketika membahas pajak, majelis berjalan alot karena susah sekali untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil. Keadilan adalah permainan kata-kata, keadilan adalah sebuah wacana, dan hal itu yang coba ditampilkan oleh novel ini. Ketika Santo Mael menjelaskan Tuhan pemberi kekayaan dan bisa mengambil sekehendaknya, gereja sebagai pusat pemerintahan meminta pajak diambil berdasarkan kekayaan warganya, dan yang pertama menolak ini adalah kaum bangsawan. 

“…. Bapa, apa yang diperlukan, apa yang dibutuhkan, bukanlah meminta banyak dari yang punya banyak. Kalau halnya demikian, yang kaya jadi berkurang, yang miskin bertambah miskin. Si miskin hidup dari kekayaan si kaya, karenanya kekayaan jadi bernilai. Jangan mengubah tatanan ini, sebab kalau dilakukan hanya akan menyebar kebencian. Dengan menarik pajak dari orang kaya, kau tak akan mendapat untung besar, karena jumlah mereka tidak banyak. Justru kau akan kehilangan sumber penghasilan dan menjerumuskan negara dalam penderitaan.  Sementara jika kau pungut sedikit dari tiap-tiap warga, tanpa memedulikan kekayaannya, kau akan mendapat jumlah yang cukup untuk kepentingan umum. Kau pun tak perlu susah menghitung setiap kekayaan warga …. Lagi pula bagaimana bisa menghitung pajak berdasarkan kekayaan? Kemarin aku punya dua ratus lembu, hari ini aku punya enam puluh ekor, besok aku punya seratus. Si Clunik punya tiga ekor sapi, namun kurus kering. Si Nicclu punya dua ekor, namun gemuk. Siapakah di antara mereka yang lebih kaya? Akan menyesatkan jika pajak dihitung berdasarkan kekayaan,” (hal. 62-63).

Setelah itu disepakatilah bahwa setiap orang, baik kaya maupun miskin, memberikan pajak sama banyaknya, gereja memungut sedikit dari tiap-tiap warga tanpa peduli mereka itu kaya atau miskin. Ini adalah fondasi peradaban kita yang mana bisa kita lihat saat ini di mana si kaya justru adalah yang paling berhasil menghindar dari kewajiban membayar pajak lewat kecerdikannya memanfaatkan sistem yang mereka sendiri adalah penciptanya.


Lahirnya Seorang Raja

Peradaban bangsa penguin berkembang pesat setelah lahirnya kerajaan yang dibangun oleh akal-akalan Kraken si naga penipu dan Orberose yang nantinya di kenal sebagai perawan suci. Ketika itu desa penguin diserang oleh Kraken yang menyamar sebagai naga dengan tujuan tidak lain merampok ternak warga. Akhirnya segala cara dicari untuk menaklukan si naga. Warga dibantu para ahli kitab untuk mencari tahu bagaimana cara melawan naga. Lalu ditemukanlah salah satu caranya, yakni dengan melibatkan perawan suci. Karena itu Orberose yang telah lama menghilang dari desa mendatangi Mael dan menjelaskan bahwa dirinya adalah perawan suci yang ditakdirkan menaklukan si naga. Tentu saja Orberose tidak perawan. Dia adalah istri Kraken. Tentu saja dia tidak suci, karena saat Kraken menyamar menjadi naga dan menyerang desa, dia mengunjungi kekasih-kekasihnya, para penggembala muda, untuk bercinta dengan mereka. Namun dia mampu menipu semua orang, bahkan seorang suci seperti Santo Mael.

Ketika ditanya oleh Santo Mael apa buktinya dia masih perawan, Orberose mengkelit, “Buktinya ya diriku sendiri.” Santo Mael tidak percaya karena tidak bisa melihatnya. Lalu Orberose berkata, “Kau akan melihat sendiri nanti.” Santo Mael tetap tidak percaya. Lalu seorang pendeta jelmaan iblis menengahi mereka dan berkata:

“Ada tiga hal yang sulit dipahami, dan yang keempat bahkan mustahil: jejak ular di atas batu, jejak burung yang terbang, jejak sampan di lautan, dan jejak laki-laki pada wanita…. Lebih sulit membuktikan keperawan daripada menjaganya,” (hal. 86).

Dengan bantuan iblis yang menyamar ini akhirnya Orberose dipercaya oleh Santo Mael untuk membantu menangkap naga. Lalu dimulailah skenario Orberose untuk menipu warga dibantu suaminya, dan ketika drama ini sukses mereka mainkan, Orberose meminta tebusan yang perlu dilakukan bangsa penguin agar naga tidak pernah lagi menyerang mereka. Tebusan itu kemudian menjadi upeti setelah Kraken dan Orberose mengangkat dirinya raja dan ratu. Sejak itu kerajaan Draco lahir dan Kraken dikenal sebagai raja pertama dan Orberose dinobatkan sebagai perawan suci tempat para wanita berdoa meminta kesuburan dan hal-hal terkait kewanitaan.


Modernitas yang Penuh Tipu Daya

Hikayat Penguin berupaya menyoroti hal-hal yang luput atau berusaha disembunyikan dari peradaban kita yang penuh tipu daya. Dan hal ini semakin mencolok ketika perbadaban bangsa penguin memasuki era modern, ketika Republik adalah sistem pemerintahan yang dipilih, dan hukum peradilan mulai menjadi payung peradaban. Tetapi hukum adalah hukum yang sama yang diciptakan para penguasa pada awal-awal peradaban bangsa penguin, seadil-adilnya ia tetaplah menjadi alat untuk kepentingan penguasa. Hukum yang manipulatif ini diperlihatkan ketika seorang warga bernama Pyrot didakwa melakukan kejahatan yang tidak pernah dia lakukan. Pyrot dipaksa mengaku oleh para petugas peradilan. Seorang jenderal yang dipesan untuk menemukan bukti bahwa Pyrot bersalah kemudian memaksa petugas peradilan untuk membuat Pyrot mengaku. Ketika gagal, sang jenderal berkata, “Mati-matian menyangkal tuduhan sama dengan mengaku,” (hal. 200). Akhirnya Pyrot ditahan. Setelah itu disediakan pelbagai bukti palsu untuk membuat Pyrot terbukti bersalah dan dihukum seberat-beratnya.

Memasuki masa modern agama mulai ditinggalkan, tetapi tidak benar-benar ditinggalkan. Modernitas ditandai dengan munculnya golongan sekuler yang sering berbenturan dengan golongan agamis. Pada bagian ini cerita diwarnai oleh pertentangan antara sekuler dan agama yang terasa konyol dan penuh sindiran. Ketika sepasang manusia yang terdiri dari lelaki sekuler dan wanita Kristen yang taat berencana menikah, timbullah pelbagai masalah. Si lelaki terus menolak ketika si wanita berkata dirinya hanya ingin dinikahi di gereja. Bukan karena si lelaki adalah seorang yang tidak percaya Tuhan makanya dia menolak menikah di gereja, melainkan karena dia takut oleh hukuman partai.

“Menikah secara agama …  menikah di gereja …. Rakyat pemilihku mungkin masih bisa terima. Tapi, orang partai tidak akan mudah menerimanya,” (hal. 270).

Si lelaki yang merupakan seorang anggota parlemen dari partai sekuler terus menolak. Keribetan urusan pernikahan ini semakin berlarut-larut karena si perempuan adalah seorang Kristen yang taat dan dia ingin ketika menikah mendapat berkat dari gereja. Akhirnya si lelaki, demi cintanya pada si perempuan, mengalah dan mengikuti mau si perempuan menikah di geraja.

Setelah pernikahan itu mereka hidup bahagia selama-lamanya. Tentu saja tidak, ini bukan cerita dongeng, dan Anatole France tampaknya cukup kejam dalam menyiapkan takdir-takdir bagi tokoh dalam ceritanya. Setelah kehidupan yang tenang di awal pernikahan akhirnya si perempuan ini tergoda oleh seorang lelaki dan kemudian berselingkuh. Wanita ini berselingkuh dengan Perdana Menteri. Meski tahu bahwa istrinya berselingkuh, si lelaki tidak menceraikannya. Dia malah mencoba membalasnya di politik. Ini membuat cerita mulai dipenuhi intrik-intrik politik. Kekotoran permainan politik diceritakan dengan gamblang. Para elit saling tendang, tapi rakyat yang terjungkang. Kemudian si istri yang menjadi pusat dari konflik ini di akhir hidupnya meninggal dengan damai di usia 79 tahun. Dia sangat dihormati karena meninggal sebagai janda dari seorang mantan pejabat.

Modernitas yang penuh tipu daya mencapai puncaknya ketika bangsa penguin mulai melupakan esensi kehidupan. Mereka tidak lagi menghargai tradisi, budaya, dan seni; mereka tergila-gila pada kekayaan. Kekayaan menjadi hal penting dalam pencarian jati diri bangsa penguin. “Sebagian bekerja keras memburu harta, sebagian lainnya yang tidak berpangku tangan justru berlimpah kekayaan,” (hal. 304). Ini persis seperti peradaban yang kita kenal. Kita diimingi bahwa untuk bisa sejahtera kita harus kerja keras (kerja, kerja, kerja), tapi nyatanya kita tidak pernah sejahtera, apalagi sampai menjadi kaya. Tidak peduli sekeras apa pun kita bekerja, justru segelintir yang tidak kerja yang jadi kaya. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan karena bagaimanapun peradaban kita dibangun oleh orang-orang kaya. Mereka, para orang kaya ini, adalah yang paling mengerti bagaimana ekonomi bekerja. Mereka menciptakan bank. Bank menciptakan uang. Orang-orang mengejar uang. Dan tetap yang paling kaya bukanlah mereka yang bekerja keras mengejar uang, melainkan para bankir yang dari kantongnya keluar uang. Jika si bankir gagal, artinya ekonomi hancur, artinya negara harus mensubsidi mereka karena raksasa yang jatuh bisa merubuhkan tatanan sosial.

Dalam pola ekonomi yang seperti ini, kelas pekerja adalah yang paling menderita. Mereka tidak tahu cara memperbaiki nasib. Jika mereka protes atau berdemo, mereka akan digantikan karena sistem yang dibangun memungkinkan hal ini terjadi. Sistem kerja kontrak yang diterapkan oleh industri kapitalis memungkinkan begitu banyak kelas pekerja yang menganggur begitu kontrak mereka habis. Karenanya tidak ada yang berani protes. Protes hanya akan membuat mereka kehilangan pekerjaan, dan ada banyak kelas pekerja lain yang mengantre demi menggantikan mereka yang suka protes. Akhirnya para pekerja tidak punya pilihan selain mengabdi pada sistem yang menyiksa ini. Sampai kemudian mereka berani melawan, sampai kemudian mereka berani menghancurkan peradaban mereka, sampai kemudian mereka berani mencoba membangun kembali peradaban baru dan menulis ulang cerita mereka sendiri, barulah mereka bisa punya nasib yang lebih baik. (*)




Bagikan:

Penulis →

Aliurridha Al-Habsyi

Pengajar di Universitas Terbuka. Tinggal di Lombok Barat dan bergiat di komunitas Akarpohon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *