Mencabik Kirmizi Mimpi

Munajat Waktu

Merah kasih yang tertuang
lewat alunan deru ambigu
Bak perkabungan yang
menyimpan sejuta makna.

Tetes dan deras konspirasi
Bercampur dengan waktu
Menyumbang puing derita

Sebagai perjumpaan yang
diterpa duka malam
Terpaku di relung sukma

Musim dan suara kian percaya
Lima menit kita bermusik
Memainkan alunan kasih
Menceritakan sejarah perih

Munajat kasih menyublim
pertarungan mata malam
Hinga kita diam  terlelap
dalam mimpi tarian  kelam

2022




Hitam

Hilang, lalang, diam, semuanya bercerita
Hitam. Mencariku dalam puisi, entah!

Kopi di meja malam, membaca suasana
Meski panorama enggan ada di sisinya

Matanya, terpaku melihat dua pipi pintu
Sandal, asbak, berencana membongkar kata

Dalam kamar sejadah meminta kata-kata
Berusaha menjadi putih, walau nyata perih

Bergerak menjumpai suara waktu. Entah,
Entah kapan ia berakhir di pundak takbir

2022




Tabiat Air

dengan tabahnya ia bersuara
menelusuri punggung waktu
menceritakan lagu kedinginan

seutas jernih cahaya dalam
tubuhnya, menceritakan segala
perih yang sering kali luka bawa

walau luka menghantamnya, walau
perih menusuknya, air tak pernah
kecewa atas segala yang menimpa

2022




Nyanyian Air

sepagi canda yang tertawa di
dekat cerita-cerita jumpa, dan
ia bernyanyi, merajut puisi sepi

sapa sepi air mencabik kirmizi
mimpi, setelah september lahir
di angka kata dua puluh dua

setabah itu air bernyanyi, hingga
sepi, ilusi, tersapa mulut puisi

2022




Sejarah Kopi

zat kopi dan malam teriak mengiris kata
air doa. tersisa ranum sejarah perdamaian.

ia, abadi di atas deru perkawinan waktu.
riwayat tanah rawi menyambut perdamaian.
tersesat di malamnya. tercabik iga makna.

tertiba hitam menyembah lamunan kopi
semalaman. ibadah kopi: putih menetas
di permukaan tajam batu. tangan-tangan
hitam merenggut ritual dosa pura-pura.
sekali di pahitnya, seribu manis merayu.

Sumenep 2022




Lelap

Masih buram kasih tertidur
di pangkalan doa-doa para Nabi
Menyibak sengit-senyum waktu
Beranjak sabil musim ke musimnya
Beriak, mengeja epilog asmaraloka

Kuntum bunga putik menyiram
daun kembang tujuh rupa.
Lama sudah ia temaram di
amperan derita air mata

2022




Makam KH. Khalil Bangkalan

di sini, sepertiga malam menyapu langit
membicarakan ketabahan sunyi dan puisi
yang tak pernah benci akan api dan melodi

sekian jumpa yang tertinggal di masjid tua
sujud dan takbir menyaksikan ketabahan
seperti air yang tetap saja ia mengalir

bangkalan, semerbak kembang kenanga
setelah amsal dan tabiat jumpa di dadaku
terpatri jelas dalam cerita dan peristiwa

2022

Bagikan:

Penulis →

Saiful Bahri

kelahiran Sumenep-Madura, O5 Februari 1995. Menulis Puisi, Cerpen, Cernak, Esai, Resensi, Artikel, Opini, dll. Tulisannya pernah dimuat di koran Lokal maupun koran Nasional, seperti: Jawa Pos, Republika, Riau Pos, Bangka Pos, Palembang Ekspres, Radar Madura, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat Jogjakarta, Solo Pos, Kabar Madura (2018), Jurnal Asia-Medan (2018), Ideide.id (2019), Iqra.id (2019), Magrib.id (2020), Gokenje.id (2020), dan Duniasantri.com (2021). Penulis Buku Puisi Terbit Gratis: Senandung Asmara dalam Jiwa (2018). Saat ini mengabdi di Madrasah Al-Huda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *