Amuk Api

Muasal Tubuh Aktor

: Ken Zuraida

Muasal terbit seonggok tubuh di atas panggung Taman Ismail Marzuki
Bermandikan cahaya lampu yang menyorot kemana-arah langkahku berganti
Seperti sebuah wajah mimpi yang menggelung benang kusut
dan terlihat kusam dan hampir temaram
Kaulah ibuku—aku bersaksi bahwa kaulah rahim dari segala rahim
Keningku kau kecup—tumbuhlah bunga-bunga di dadaku
Akulah aktor dari tubuhmu yang hilang
Bilah rusuk yang kau buang itu bukan aku—itu kekasihku, Emak!
Tapi, katamu aku hanya seorang aktor
Tak pantas mengemis cinta darinya
Jakarta hari ini, esok dan nanti
Akan selamanya kota yang berselimut kabut dan maut
Kulipat jarak tempuh menuju Cipayung
Tempatku istirah kala senja menantimu dan menangis
Tempias segala yang tragis
Kaki basah dan gelisah
Melipat seluruh ucap dalam satu kecupan
Pada kening, pada kening, pada kening
Aku cinta padamu, katamu.

Jogja 2022




Kitalah Sungkawa Itu

Di tengah selubung
Estuari bertepi bibir merah
Di bawah kolong langit ini,
mata yang berpagut linang embun
membuat rona di sepasang alismu hitam sempurna
Kita adalah sungkawa yang terpecah. Mencari serpihan-serpihan itu.
Menampung tempias air mata
Cinta dan segala yang purba
Menjuntai di kening orang-orang batu
Akulah air, dan
Kaulah batu itu
Kepadanya telah ku bangun
Rumah-rumah sunyi
Bertabur mimpi
Melimpah-ruah, dan kau berkata lagi
“Sampai kapan kita akan menukar takdir?”
Keringat jadi darah
Istirah dalam lukisan penuh lara

2021-2022




Yang Ku Tak Tahu dari Amuk Api

Yang ku tak tahu dari amuk api,
Amarah yang merambat di sekujur tubuh sang nabi
Meranggas melumat segela kegelapan dalam hati
Betapa sanjung embun pagi menembus belulang belakang, merasuk
pada pori-pori dadaku paling dalam
Katamu, seperti rona di wajah pelangi
Yang sedari pergi tak akan kembali
Yang sedari kembali tak akan pergi
Seperti kali yang mengait lupa dan ingat melupa-lupa.
Memberi kabar pada langit dan mengabur pada haluan niskala
Kau sering bertanya padaku tentang kabar dan keadaanku di sana.
Aku selalu mempunyai jawaban yang sama,
“Jalanan masih basah dan bukan hujan tapi serpihan-serpihan kesedihan,”
Kata Mas Cindil

Yang ku tahu dari amuk api
Menyala serupa hawa yang memeluk adam tanpa helai benang
yang mengalung pada leher sang pendosa

Jogja, 2022




Fajar yang Memancar

Beratap langit, berselimut tanah.
Di atas Monas aku mencari pusar bumi
Yang tertutup kebohongan karena kabut fajar menjelma
gema azan yang bersahutan
awan berarak ke timur
sekawanan burung berceracau mengemas malam
membawanya kepada bulan yang kedinginan
Apakah tak cukup segela terjemah pelukku padamu, Kasih?
Selama fajar memancar, Ibu menanak nasib anak-anaknya
dengan air mata dengan tungku kehangatan yang mampu membuatnya tiada
Tapi kau tak hanya sekadar buah—kau adalah anakku
Kau tak perlu tahu tentang warna kematian
Kau hanya perlu menyapa fajar Jakarta yang mengawali
Hidup bukanlah soal dusta

Jogja, 2022




Aku Menunggumu

Di seberang garis khatulistiwa
Orang-orang itu berdiri di atas sebuah nama
Mencari tubuh yang hilang, yang hilang entah kemana
Segala durja telah menimpaku
Kota mulai redup, senja tenggelam di balik hari
Muram durja, kusam aroma karsa
Siapa lagi?
Seorang ibu menggendong waktu
Melantun syair-syair kematian
Ia mengingat buah yang jatuh dari rating-rantingnya yang rapuh itu
Matahari tergantung di atas langit
Turun menggantikan hari yang berlari
Di ufuk timur kau bernyanyi
Dan tenggelam di hari kesebelas
Selamat tinggal, kasih.
Aku menunggumu.

Yogyakarta, 2021




Malam Ini Bulan tak Berbentuk Sabit

Barangkali, puisi adalah rumah terakhir
Rumah para kembara yang beristirah di Karavansara
Setelah melihat cara kerja kata dan makna
Kau membisu dan menjadi sebuah kegaduhan dalam pintu takdir
Mantra yang kau lantunkan setiap kali kita bertemu
Itu dusta atau renjana?
Sihir yang kau sematkan pada pertautan mata kita
Itu cinta atau sebuah isyarat?
Malam ini bulan tak berbentuk bulan sabit
Para dewa memakannya sebagian
untuk hidangan makan malam
Ia begitu lapar setelah tak makan sekian ribu tahun lamanya
Masih ingatkah kau tentang kisah itu?

Yogyakarta, 2022




Bukan Satu Malam Kita Tidur di Jakarta

Kami hidup dari asap dan riuh kota Jakarta
Masa lalu yang hanyut oleh banjir bandang
Dan rumah hanyalah sebuah mimpi
Dan mimpi tak selamanya menjadi mimpi
Bersama teman-teman ku yang nasibnya sudah menjadi bubur
Masa depan yang suram, gelap dan aku tak sanggup melihatnya
Langit pun menangis setiap kali ia menannyakan kabar tentang aku
dan keluargaku
Bukan satu malam kita tidur di Jakarta
Kita telah menjadi daging-daging Jakarta
Kita hanya sebuah daging yang busuk dan berbau
seperti anjing-anjing liar yang memangsa kawanannya

Yogyakarta, 2022



Bagikan:

Penulis →

Syamsul Bahri

lahir di Subang dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Sajak-sajaknya pernah tersiar di berbagai platform media daring dan luring.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *