Ikan Tua dan Laut

  • Untuk Ernest Hemingway

Ketika Ikan Besar ditarik ke atas, terlihat bias sinar matahari di pemukaan laut, senar bening tebal mengangkatnya, dan bayangan seorang lelaki tua sendu seperti akan mati. Pandangannya beralih pada langit biru yang sedikit silau hingga pandangan itu menjadi kelabu, perlahan menggelap menjadi hitam. Hitam terkelam yang pernah dilihatnya, lebih gelap daripada malam-malam yang dilaluinya.

Terkadang dia bertanya-tanya mengapa tak ada ikan yang ingin berteman dengannya. Mungkin karena wajahku, mungkin karena tubuhku, mungkin karena aku makan mareka, pikirnya. “Ya, aku selalu makan mereka, mulutku selalu haus dan terus menganga. Begitu juga ikan yang lebih besar dariku. Pun jika aku berteman dengan mereka, mereka pasti akan memakanku,” ucapnya sambil berenang, menjauh dari terumbu karang.

Dari kejauhan terumbu karang kelabu sedikit kekuningan, ikan-ikan kecil sudah tak lagi berada di sana sejak tempat itu perlahan rusak karena sampah dan limbah. Tempat itu rapuh, menyedihkan, hanya hewan-hewan menyedihkan yang tinggal di sana.

Ikan Besar membayangkan sekelompok ikan berenang, berwarna biru keperakan. Alangkah enaknya jika menu makanan hari ini adalah ikan berkelompok. Selain mudah ditangkap, sekali cengkaman dapat banyak daging, cukup untuk sehari atau dua hari ke depan, pikirnya. “Sudah lama sekali aku belum makan, dua atau tiga hari? Bahkan aku tidak ingat kapan dan apa yang terakhir kumakan. Tempat ini seperti pengasingan, biru paling biru, tidak ada siapapun selain gelembung-gelembung kecil. Aku harap mendapat seorang teman, teman yang bisa kumakan,” ucap Ikan Besar, siripnya melambai-lambai, terus berenang membuat gelembung-gelembung kecil mengapung.

Dari kejauhan ikan kecil terlihat berenang sendirian, dikuti darah yang keluar dari badannya. Mata Ikan Besar membesar, dipelankannya gerakan tubuh, menggerakkan sirip tanpa bunyi, mulutnya menganga, sekali lahap gigi-giginya menerkam ikan kecil itu. “Tidak terlalu buruk ikan kecil, sayangnya kita belum berkenalan. Maafkan aku,” ucapnya bergegas pergi. Namun ada sesuatu yang tergantung dalam tubuhnya, senar yang tak terlihat menyangkut di mulutnya. Senar itu bening mengikuti warna sekitar. Mata Ikan Besar mengecil, dia merasa bagian dalam tubuhnya ditarik oleh senar itu. Ikan Besar bergerak ke arah sebaliknya, rasa sakit bagian dalam semakin menusuk. Bagian dalam perutnya mulai terkoyak. Ini perangkap, ini perangkap. Bagaimana bisa ini terjadi padaku. Pasti karena rasa lapar sialan ini. Seharusnya tadi aku lebih bersabar, seharusnya aku tahu ini hanya tipuan. Dasar ikan kecil sialan, batin Ikan Besar. Dia tetap berusaha menarik senar itu, namun senar berganti menariknya. Darah keluar dari mulut Ikan Besar, kemudian menyatu dengan air laut.

Ikan Besar teringat pengalamannya seperti situasi saat ini, itu terjadi ketika dia beranjak besar. Kail menggantung di mulutnya, dia berhasil mengelabui dengan gerakan yang tangkas dan cekatan, sehingga kail dan senar lepas dari mulutnya. Sisa luka itu masih di mulutnya, lubang kecil di bawah bibir. Tapi itu sudah lama sekali, sekarang dia sudah sangat besar dan tua, tubuhnya seolah membengkak.

Apa yang dilakukan manusia di tengah laut seperti ini? Perahu kecil itu, dia pasti sedang sendirian. Aku yakin dia tak mampu menarikku. Tidak, aku harus punya rencana sebelum dia memikirkan rencana untuk menangkapku, sebelum dia dapat menyentuhku, pikirnya ketika melihat bayangan hitam di atas permukaan laut. Samar-samar Ikan Besar dapat melihat alat pancing yang digunakan manusia itu, alat yang panjang dan lancip.

Ikan Besar menarik senar, berenang menjauh sekuat tenaga. Dia bisa membayangkan seandainya bagian dalamnya keluar, yang tersisa dari dirinya hanyalah badan tak berisi seperti cangkang keong tak bertuan. Ikan Besar tak mau hal itu terjadi. Walau dirinya sudah tua dan mungkin kali ini maut benar-benar menghampirinya, dia masih ingin hidup.

Ketika dia mulai sedikit kewalahan, justru senar itu yang menariknya. Badannya mengikuti arah senar, dia seperti melayang sekaligus jatuh. Ikan Besar segera menutup mulutnya rapat-rapat agar bagian dalam tubuhnya masih bertahan, dia berenang mundur memperhatikan jarak perahu dan dirinya yang semakin jauh.

“Kasihan manusia itu, dia berjuang sendiri sepertiku. Apa lebih baik kubiarkan dia menangkapku. Lagi pula aku sudah tua, mungkin dia sudah berhari-hari belum makan, mungkin sudah berhari-hari juga dia berada di tengah laut, belum mendapatkan ikan sama sekali,” ucap Ikan Besar melihat bayangan perahu yang menggelombang seperti bayangan ikan raksasa. Tapi aku tak boleh ingin mati begitu saja, mungkin aku hanya kasihan padanya. Seharusnya dia juga merasa kasihan padaku. Mungkin kita sama-sama belum makan berhari-hari. Tapi tetap saja, aku tidak boleh mati seperti ini. Kecepatan berenangnya semakin cepat dan gesit, terkadang siripnya menggunakan tempo pelan dan cepat. Dia cepat ketika senar mulai kendur, istirahat sebentar ketika senar menariknya. Ikan Besar loncat, memperlihatkan badannya yang besar. Dilihatnya manusia yang berada di atas perahu itu adalah manusia tua, lelaki tua seperti dia.

Apa yang kamu lakukan manusia tua? Berusaha menangkapku di tengah lautan sendiri. Mungkin nasib kita tak jauh sama. Antara kamu bisa menangkap dan membunuhku, atau kamu mati kelelahan karena berusaha menangkapku. Aku tidak mungkin lelah, walau aku hidup sendirian, walau aku sebenarnya mengasihani kamu. Mungkin saat ini kita sudah berteman, walau belum sempat berkenalan, dan sekarang saatnya kita bertarung. Siapa yang akan mendapatkan siapa, batinnya.

Ikan Besar tak lagi bisa mengingat hari atau waktu, bahkan dia tak menyadari matahari sudah terbit dan terbenam kembali. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun aku terperangkap, ditarik dan diulur oleh senar ini oleh pak tua itu, batinnya. Gelembung-gelembung kecil keluar dari mulutnya, gelembung itu naik ke atas seolah berhasil dipancing oleh manusia. Laut yang dilihatnya seolah buta, tidak melihat dirinya sedang sekarat. “Tapi memang sejak dulu laut buta, dia tidak pernah menganggap keadaanku di lautan ini. Mungkin aku hidup untuk mati. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya aku menghindari pemangsa. Aku tidak pernah membayangkan diriku kembali pada situasi saat ini,” ucap Ikan Besar menarik senar lebih kuat. Sisi mulutnya mulai bergesek dengan senar, membuat bibirnya mendapatkan luka baru. Seandainya aku punya teman, apa kira yang dia lakukan ketika aku sedang kondisi seperti ini? Ah, teman ya. Mungkin dia akan memakanku, mungkin aku yang akan memakannya. Seandainya ada hal lain yang bisa kumakan selain ikan, pasti aku memakan itu. Pasir, terumbu karang, rumput laut. Tapi aku tak bisa memakan itu kecuali ikan-ikan, teman-temanku sendiri, batin Ikan Besar merasakan kail pancing berhasil merobek lambungnya, darah makin banyak keluar dari mulutnya.

“Sampai kapan manusia tua itu berusaha? Dia sudah tua, mungkin lebih tua daripada aku. Apa yang dia harapkan dariku? Aku hanya penyendiri yang memakan ikan berukuran lebih kecil dariku. Tubuhku tidak sesegar ikan lain, dagingku tidak terlalu enak walau aku tidak pernah mencobanya, tapi aku yakin akan hal itu,” ucap Ikan Besar berenang ke sana kemari.

Laut biru yang sunyi mengingatkan Ikan Besar pada darah yang keluar dari mulutnya. Air laut perlahan-lahan menjadi keunguan. Mungkin bau darahnya dapat mengundang beberapa ikan buas kepadanya, tapi Ikan Besar berhenti memikirkan itu. Dia tidak ingin dimakan oleh ikan buas ataupun manusia yang berusaha menangkapnya.

Arah berenang Ikan Besar semakin tak karuan. Rasa sakit dalam tubuhnya menyayat dari ujung bawah sampai ujung atas. Darah keluar dari mulut dan perutnya. Ikan Besar semakin dekat dengan bayangan perahu, seolah bayangan itulah yang akan melahapnya.

Kepala Ikan Besar keluar dari permukaan laut, dilihatnya manusia tua sendu seperti akan mati. Pandangannya beralih pada langit biru yang sedikit silau hingga pandangan itu menjadi kelabu, perlahan menggelap menjadi hitam. Hitam terkelam yang pernah dilihatnya, lebih gelap daripada malam-malam yang dilaluinya.

Mataram, Agustus 2022




Bagikan:

Penulis →

Nuraisah Maulida Adnani

Lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, baik online mau pun offline. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *