SAAT orang tuanya bercerai, dia masih berumur dua bulan. Dia tinggal bersama sang ayah, sedang ibunya pergi entah ke mana. Sejak Liliana bisa mengingat, dia tak benar-benar tahu bagaimana kasih sayang seorang ibu.
Waktu menumbuhkan Liliana menjadi bunga mekar yang gersang meski di sekitar ada begitu banyak mata air. Dia tumbuh jadi gadis periang yang manja, terutama pada kaum Adam. Aku bukan bicara tentang perempuan nakal, tapi Liliana tak menunjukkan sikap dia bisa mempercayai wanita lain. Jadi, dia hanya bertemankan kaum lelaki sampai akhirnya kami berkenalan saat dia menginjak usia 19 tahun.
Saat itu, Liliana adalah bunga yang kadang memikul watak gersang di waktu-waktu yang tak terduga, dan sumber mata air yang bertebar di sekeliling–para pria yang tak tak tahan melihat gadis cantik, saling berebut demi dirinya.
Aku tidak termasuk sumber mata air, sebab aku lelaki yang payah. Ya, aku akui itu. Aku tidak pernah benar-benar memiliki pacar. Yang kualami bersama Liliana hanyalah hubungan antar teman yang datar dan nyaris tak bermakna. Yang membuat Liliana percaya adalah caraku bersikap, yang sering berbeda dari kebanyakan lelaki.
“Kamu tidak menggodaku dan juga tidak memaksaku menjadi pacarmu,” katanya suatu ketika.
Kami berkenalan karena kami sama-sama anggota sebuah klub buku. Di sanalah Liliana dapat menenangkan diri dari serbuan kaum Adam yang tak kunjung sukses menaklukkannya. Di sana pula dia dapat lari sejenak dari masalah bersama ayahnya yang keras dan suka menerapkan aturan-aturan sehingga gadis itu merasa dikekang. Kami banyak mengobrol dan dari obrolan-obrolan dalam beberapa momen itu, Liliana akhirnya tahu motivasiku berteman dengannya adalah bukan karena berharap ia menjadi pacarku, melainkan karena kepintarannya.
Harus kukatakan, selain cantik, Liliana juga mempunyai kepintaran yang jarang kutemui di diri wanita lain. Barangkali karena aku juga kurang bergaul, sehingga tak banyak kuselami kepribadian dan kecerdasan kaum wanita di sekitarku, tapi bagiku Liliana luar biasa.
“Kalau saja aku tidak berusaha sekeras ini, mungkin aku tidak akan pernah mampu menginjak bangku kuliah, karena tanpa beasiswa itu mustahil,” tuturnya suatu kali, saat kami bicara soal nasib, yang mana aku tak bisa menutupi pengalaman penolakan orang tuaku terhadap cita-citaku menjadi penulis.
Kubilang, “Aku menuntut ilmu setinggi yang mereka inginkan, tapi aku juga tidak akan berhenti mengejar keinginanku.”
Sejak itu, satu per satu bagian dari masa lalunya menggelontor dan masuk ke liang telingaku. Kusimpan cerita Liliana dalam ingatan baik-baik, dan membawanya tiap hari bersama lamunanku saat pergi dan pulang kuliah di bus kota.
Aku tidak peduli apa dia juga memperlakukan cerita-ceritaku dengan cara serupa; cara yang istimewa seperti cerita-cerita itu adalah benda berharga yang tak boleh diletakkan di sembarang tempat agar tetap utuh dan tak hilang. Aku tidak peduli apakah dia ingat suatu kali aku bercerita soal usaha kaburku dari rumah gara-gara memboyong seluruh naskahku agar kertas-kertas berharga itu tidak dibakar Ayah.
Kadang-kadang, karena saking seringnya kubawa cerita-cerita Liliana ini, saat dia berada bersamaku, aku tidak berhenti melamunkannya. Bagaimana kira-kira kehidupan gadis seperiang dan sepintar ini, padahal ayahnya sangatlah kasar dan pemarah menurut gadis itu sendiri?
Liliana sering beradu argumen dengan ayahnya dan kerap menghasilkan keputusan dia tidak akan pulang sampai seminggu penuh. Di saat-saat seperti itu, di tempatkulah Liliana menginap.
“Aku tak pernah menginap di tempat yang lebih dekat dengan kampus, tapi kali ini lain. Terima kasih. Moga Tuhan membalas kebaikanmu!” katanya.
Kedekatan ini membuat beberapa pemuda iri, dan sering juga kualami kejadian tak terduga seperti ban motorku tiba-tiba rusak, atau pernah juga sekelompok pemuda yang tak kukenal mencegat dan menghajarku sampai harus dirawat. Kupikir, semua kejadian itu tidak lepas dari kecemburuan orang.
Kedekatanku dan Liliana jadi kabar terhangat di kampus. Suatu saat aku menyadari aku diam-diam menyukainya. Bukan hanya karena dia pintar, tetapi juga karena cantik. Kusampaikan itu pada Liliana, tapi dia bilang: “Kamu tak lebih dari teman.”
Belakangan, setelah kejadian itu, Liliana jarang menghubungiku. Kemudian, secara mendadak, dia hilang. Dia tidak lagi hadir di klub buku. Bahkan dia juga kabarnya pergi ke kota lain untuk melanjutkan pendidikannya.
Sering kali, dalam hari-hari sepiku, kudengar bisik-bisik semua orang tentang gadis itu, yakni bahwa dia anak orang kaya yang dapat saja pindah ke mana pun yang dia mau. Ada juga yang beranggapan Liliana mendapat begitu banyak kebaikan yang seharusnya dibagi rata untuk setiap gadis seumurannya. Ini karena saking banyaknya kaum Adam yang memburunya. Sayangnya mereka tak pernah tahu masa kecil Liliana yang tumbuh tanpa Ibu. Bahkan, ayahnya itu tidak pernah menikah hingga detik ketika terakhir kali kami bertemu. Setidaknya itulah yang kutahu.
Aku tidak tahu seberapa lama aku menunggu kemunculan Liliana. Aku sendiri juga sudah mencari ke rumahnya yang sepi. Sang ayah meninggal setahun sebelumnya.
“Tak ada yang menempati rumah ini. Anak itu sendiri sudah menyumbangkannya untuk dibangun jadi masjid,” kata seseorang yang kutemui di jalan.
Kucoba mencari info lain dan memang itulah yang Liliana lakukan. Semua orang desa tahu dia memang meninggalkan rumah itu dan pergi entah ke mana.
“Tidak ada saudara atau kerabat. Mereka dulu juga datang dari tempat yang sangat jauh, di luar pulau,” kata seseorang yang lain.
Aku kembali ke rutinitasku dengan kondisi yang kian hari kian buruk saja. Aku tak dapat hidup tanpa Liliana, satu-satunya gadis yang mau kuajak berbagi cerita.
Ketika aku lulus dan kembali ke rumah orang tuaku, kondisi rumah tidak nyaman. Aku didesak agar menikah entah dengan siapa, dan bahkan, jika tidak sanggup mencari, akan dicarikan oleh kerabat atau kenalan orang tuaku agar aku tak lama membujang.
“Lelaki sepertimu, yang cerdas dan punya ijazah bergengsi, harusnya segera nikah dan berkarier. Bukannya mendekam di rumah!” kata ibuku sengak.
Aku menunduk diam, karena sadar aku tidak dapat lepas dari pikiran soal Liliana sampai nasib gadis itu jelas.
Kapan itu terjadi? Aku merasa hidupku berbentuk serupa ini: berhenti total, bahkan termasuk gairah menggapai cita-cita, karena gadis yang kucinta hilang begitu saja.
Aku sering melamun dan berpikir, dan tiba pada kesimpulan seutuhnya tentang diri Liliana di hatiku. Bahwa gadis sebatang kara itu layak mendapatkan cinta, mendapatkan sumber terbaik dan tersegar dari mata air mana pun. Aku mata air sederhana yang bisa memberi gadis itu cinta terbaik, sebab hanya aku dan Tuhan sajalah yang tahu apa yang dia lalui sedari kecil.
Aku membayangkan bisa memeluk Liliana dan mendekapnya erat selamanya agar dia tidak ketakutan dan tidak cemas. Aku membayangkan bisa memasukkannya ke saku bajuku, atau sekalian ke aliran darahku, agar dia tidak pernah benar-benar sendirian di dunia ini. Aku membayangkan bisa mengubah diriku dan dirinya menjadi apa saja demi menghindarkannya dari hidup sendirian dengan kekurangan cinta. Liliana begitu dekat dengan banyak lelaki, tetapi mereka semua tidak lebih dari teman. Kegersangan hatinya terjadi karena dia tak pernah percaya pada kaum Adam. Inilah yang membuatku hilang gairah hidup.
Tapi, toh aku tetap hidup.
Sampai bertahun-tahun setelah kepergian Liliana, aku tetap hidup dan membujang. Tidak ada istri dan anak membuatku bebas berkelana ke mana pun sambil melanjutkan karya-karyaku yang tertunda. Ada masterpiece yang menunggu kuwujudkan di dalam salah satu bundel tulisan yang kubawa ke mana pun.
Pada suatu hari, pengelanaanku tiba di pinggiran kota kecil. Aku haus dan berniat membeli minum di sebuah kedai. Di sana aku bertemu Liliana. Aku melihatnya dengan mata berbinar, tapi dengan hati yang mendadak layu oleh cemburu. Tak tahu bagaimana Tuhan merancang takdirku dengan cara ini. Kutemui Liliana di kedai minum itu, dan dia tidak melupakan wajahku, tetapi pada saat yang sama, wanita itu juga memperkenalkan seorang lelaki padaku sebagai suaminya. Dan aku tahu dia tidak pernah bahagia dengan pernikahannya. Tapi, aku juga tahu Liliana tak bisa membuat anak-anaknya mengalami nasib yang sama seperti yang dahulu dia alami sejak usia dua bulan. [ ]
Gempol, 2017-2023
===========
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Buku Panduan Mati (2022).