Stockholm – Lima

SAAT sipir memberitahunya perihal kabar gadis itu, dia terpaku. Matanya lurus ke depan namun ingatannya terbang ke luar dari tempurung kepalanya. Melayang menembus jeruji, melewati tubuh tambun sipir berkulit hitam itu, lalu memanjat jendela, melesat ke halaman depan, ke kawat duri di atas tembok beton, pucuk pepohonan, lalu terbang lebih tinggi menembus awan dan akhirnya melompat masuk ke dalam lingkaran hitam aneh yang mengisap paksa jiwanya.

Lalu tahu-tahu dia sudah berada di sana. Dia berpikir lingkaran itu pastilah portal waktu. Sebab waktu dan tempat saat ini dia berada sama persis dengan masa itu. Sekitar tiga belas tahun yang silam. Saat gadis itu masih berusia 12 tahun ketika dia menculiknya di jalan pulang sekolah.

Kala itu gerimis awal musim hujan turun pertama kali. Dia membiusnya dan meletakkan tubuh mungilnya di dalam bagasi. Lalu bergegas pergi jauh ke sebuah tempat di pinggiran kota. Menjauhkan gadis itu dari seluruh berita dan kabar tentang dirinya.

Ya, begitu kira-kira kejadiannya. Potongan ingatan yang berlangsung cepat. Sampai akhirnya dia terjatuh ke belakang, masuk ke lubang hitam itu lalu kembali ke tubuhnya lagi dan terkejut, sontak meneteskan air mata ketika sipir berkulit hitam itu memberitahu bahwa gadis bernama Samara tersebut telah tewas bunuh diri. Menabrakkan dirinya ke kereta api yang sedang meluncur cepat menuju kota di mana dirinya berasal, ketika para petugas yang menangani gadis itu hendak mengantarnya pulang.

“Dengar, kau harus bersiap dengan seluruh tuntutan dan menerima segalanya dengan hati terbuka,” sipir itu berbisik kepadanya lalu pergi. Menyisakan rasa nyeri yang luar biasa di dadanya.

***

Satu langkah pertama dia memasuki ruang sidang, kedua telinganya langsung dihujani umpatan, makian, dan sumpah serapah kasar. Semua orang tampak mengerikan. Menjelma monster-monster yang di masing-masing tangannya membawa palu besar berduri, gergaji, dan pedang tajam berlumur darah. Siap untuk mencincang tubuhnya. Maka untuk mengurangi ketegangan yang menghunus dadanya, dia pilih menunduk ketika seorang polisi pendamping mendorong punggungnya sebagai perintah agar dia berjalan lebih cepat ke depan.

Akan tetapi baru saja dia duduk, seorang pria bertubuh besar di belakangnya langsung berlari dan melayangkan dua bogem mentah kepadanya. Satu tinjuan ke pipi kiri dan satu lagi ke punggung sisi kanan. Pria besar itu lantas berteriak garang seperti raksasa yang sedang mengamuk disusul makian orang-orang yang barangkali memiliki amuk yang sama.

“Pergi kau ke neraka jahanam, keparat!”

“Kau binatang terkutuk! Kau harus menerima balasan yang setimpal!”

Seketika itu juga dia kesakitan. Dadanya sesak, kepalanya sangat pusing. Sampai membuatnya ingin muntah namun sekuat tenaga ditahannya agar tak terlihat lemah. Hanya saja pipinya mulai lebam bersemu merah.

Dia sadar betul, ledakan emosi pria itu bukan sebuah kesalahan. Wajar bila dia mendapat perlakuan seperti itu mengingat kejahatan yang telah dia lakukan. Namun hakim tidak ingin sidang berlangsung kacau. Maka hakim itu memukul keras palunya berkali-kali dibantu oleh para petugas keamanan sidang untuk meredakan kebisingan. Sebagai tanda bahwa sidang harus terlaksana secara khidmat dan fokus terhadap permasalahan. Dilarang membuat kekacauan yang justru mempersulit jalannya persidangan. Hakim itu bahkan menegaskan, siapa saja yang mengacau akan dijerat pasal-pasal hukum yang berlaku. Membuat semua yang hadir langsung bungkam dan berusaha menahan emosinya masing-masing. Menyisakan bisik-bisik penuh kebencian.

Kemudian persidangan pun dimulai. Hakim mengajukan sejumlah pertanyaan kepadanya. Dia berusaha mengatakan seluruh yang terjadi tanpa sedikit pun membantah untuk membela diri. Dia membenarkan semua tuntutan. Bahkan mendengar pengakuannya sendiri pun dia sampai meneteskan air mata. Membuat peserta sidang saling pandang curiga.

“Ya, benar. Semua itu benar.” Dia menegakkan bahunya. “Aku menculiknya. Samara anak yang baik sebetulnya. Dia periang. Aku ingin membunuhnya kala itu ketika aku gagal mendapatkan uang yang seharusnya aku terima. Itu pertama kalinya. Aku datang dari jauh, menculik anak kecil secara acak. Lalu coba menanyainya nomor ponsel ayah-ibunya atau siapa saja anggota keluarganya. Namun sayang, anak itu malah menggeleng berjam-jam. Bahkan dia tetap menggeleng dari pagi ke pagi yang lain. Berbulan-bulan. Aku tidak mendapatkan apa-apa kecuali hasrat untuk membunuhnya. Sebab kupikir, membunuhnya akan menyelesaikan persoalan. Misalnya mencincang tubuhnya, membuangnya ke laut, atau menimbunnya jauh ke lubang yang dalam.”

Ketika dia mengakhiri penjelasannya, keriuhan kembali terjadi. Sebagian perempuan yang hadir menutup mulutnya karena merinding mendengar ucapannya. Namun sebagian yang lain tetap dipenuhi amarah. Dia yakin, orang-orang itu pastilah anggota keluarga Samara.

“Baik, semuanya harap tenang kembali.” Hakim menghimbau. Lalu mengajukan pertanyaan lagi sembari melirik kertas berisi informasi tentang dirinya. “Kau menculik seorang anak secara acak. Kau butuh uang untuk melunasi hutang-hutang istrimu yang kabur bersama pria lain. Kau marah kepada perempuan itu, namun kau tidak berdaya sebab kau sendiri seorang pemabuk, bukankah begitu? Lalu kau memutuskan untuk menculik seorang anak. Berharap kau mendapat tebusan yang banyak, cukup untuk melunasi hutang. Namun sayangnya, anak yang kau culik tidak memberimu apa-apa. Kau bertahan cukup lama sampai niat untuk membunuh muncul. Namun, yang jadi pertanyaanku adalah kenapa kau tidak membunuhnya? Kenapa kaubiarkan dia hidup sampai 13 tahun bersamamu? Bahkan anehnya, yang sekarang terjadi adalah anak itu justru membunuh dirinya sendiri karena dirimu. Bisakah kau memberi alasan, Tuan Adam?”

Awalnya dia tampak tak sanggup untuk melanjutkan jawabannya. Kepalanya terasa sakit. Ditambah umpatan-umpatan mulai terlontar lagi dari mulut orang-orang yang meminta agar dirinya dihukum mati saja. Semakin nyeri rasanya. Namun dia bersikeras melawan rasa sakit itu dan menahan genangan air mata di sudut matanya.

“Sederhananya… aku mencintai Samara…”

“Dasar pedofil jahanam! Tai anjing kau!” Tiba-tiba pria besar yang tadi memukulnya mengumpat kasar. Barangkali memang sudah tak bisa lagi menahan emosinya. Terlihat ketika dia hendak melayangkan tinju besarnya sambil berlari ke depan, dua orang polisi langsung menahan dan mengusirnya keluar ruang sidang.

“Teruskan,” kata hakim memintanya untuk kembali menjelaskan “Dan ini peringatan terakhir kepada semuanya untuk tidak membuat kekacauan di sini!”

Dia lantas menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Sejenak dia memandang patung wanita pembawa neraca di sudut ruang sidang. Hatinya menghakimi dirinya sendiri bahwa kejahatannya lebih berat dari kebaikannya, meski dia sudah berusaha melakukan hal-hal baik untuk menebusnya. Dan dia layak mendapatkan hukuman yang berat.

“Aku mencintai Samara,” dia mengulangi jawabannya. “Saat aku memutuskan untuk tidak membunuhnya, saat itu pula aku mulai jatuh cinta padanya. Samara gadis yang cantik. Dia penurut dan suka sekali membantuku membersihkan rumah saat aku pergi keluar. Aku menguncinya di dalam rumah, tidak mengizinkannya keluar. Dia setuju. Padahal Samara bisa saja kabur dengan cara apa saja saat aku tidak di rumah. Tapi dia tidak melakukan itu. Pernah sekali waktu, dia berhasil keluar rumah. Menemui seseorang. Aku sangat cemas. Namun sungguh tak kusangka Samara kembali. Dia bilang padaku bahwa dia hanya ingin bicara kepada orang itu, tidak ingin meninggalkanku. Dari peristiwa itulah aku semakin yakin Samara adalah teman untuk hidupku.”

Suasana ruang sidang benar-benar hening ketika dia menyudahi ceritanya. Barangkali larut dalam kisah ganjil yang dituturkan olehnya hingga menumbuhkan sulur-sulur pertanyaan di kepala setiap orang yang hadir. Bagaimana mungkin korban penculikan justru malah bersedia hidup bersama penculiknya?

“Baik, Tuan Adam. Terima kasih atas jawabanmu. Tapi satu pertanyaan lagi sebelum kita istirahat dari sidang ini. Katakan dengan jujur, apa yang telah kaulakukan pada Samara, hingga dia bersedia hidup bersamamu? Apakah kau melakukan ancaman atau hal lainnya?” Hakim itu menghela napas. Sebutir peluh tampak mengilat di keningnya.

“Aku hanya mengancamnya pada bulan pertama aku membawanya ke rumah. Setelah itu tidak pernah. Seperti yang kukatakan tadi. Samara bisa kabur dengan cara apa pun. Tapi dia tidak melakukan itu.  Bahkan ketika dia sudah dewasa, berumur 25 tahun dia tetap berada di rumah. Menemani aku yang kemudian beralih pekerjaan sebagai buruh pabrik. Bukankah mudah bagi Samara untuk membalas dendam? Coba pikirkan baik-baik.” Dia lantas memandang berkeliling ruang sidang. Mengamati setiap wajah yang mengerutkan dahi kepadanya. Lalu melanjutkan ceritanya. “Hanya saja aku memang tidak ingin mengembalikan dia kepada orang tuanya. Bukan karena aku takut masuk penjara dan dihukum berat. Tidak seperti itu. Entahlah, hal itu terasa begitu sulit. Aku tahu itu sebuah kesalahan. Namun, aku takut kehilangan Samara. Aku… mencintainya.”

Dia tak sanggup lagi menahan kesedihan. Air matanya mengalir hingga jatuh ke tangannya. Semua orang masih diam. Kemudian dia kembali menegakkan kepalanya dan mulai bercerita lagi.

“Namun aku harus memberi Samara masa depan. Dia berhak untuk itu. Kasihan jika dia harus terus hidup bersamaku. Itu sebabnya akhirnya kuputuskan untuk menyerahkan diriku ke kantor polisi. Meminta kepolisian mengantar Samara pulang ke rumahnya dan aku siap untuk menerima risikonya. Aku siap dengan segala tuntutan dan aku…..”

“Cukup. Cukup.” Hakim tiba-tiba memintanya untuk berhenti. Sembari membetulkan kacamatanya yang sedikit melorot, hakim itu memandang lekat-lekat ke arahnya lalu mengedarkan pandangan kepada orang-orang yang merasa bingung. Bahkan keluarga Samara pun yang awalnya tampak begitu emosional mulai berubah menjadi bingung juga.

“Baiklah. Terima kasih, Tuan Adam,” kata hakim itu lagi. “Sebelum sidang hari ini ditutup, aku akan membacakan sebuah catatan cukup panjang yang ditulis oleh Samara. Catatan ini masih baru. Ditulis olehnya sehari sebelum dia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Ditemukan petugas dalam saku jaket Samara. Kupikir ini sebuah memori panjang yang diringkas secara padat untuk memberitahu kita semua apa yang terjadi.  Tapi, sekali lagi aku menyayangkan perbuatan Samara.”

Kemudian hakim itu mulai membaca catatan dalam selembar kertas yang dipegangnya.

Andai aku diizinkan masuk mobil jemputan, aku tidak akan pernah diculik. Mungkin aku masih sekolah dan bertemu teman-teman baru. Namun ayah-ibuku tidak pernah membolehkan aku masuk. Mereka hanya mengizinkan Rissa dan Alex masuk. Mereka adikku. Rissa membenciku, tapi Alex tidak. Dia menyayangiku. Aku dibiarkan pergi dan pulang sekolah berjalan kaki dan harus pulang tepat waktu. Aku tidak pernah tahu kenapa aku diperlakukan demikian. Namun Tuhan menjawab doaku. Pada suatu hari yang kelam, aku tahu kenapa aku tidak pernah mendapat kasih sayang penuh di keluarga. Aku adalah anak pungut, begitu singkatnya. Hatiku kala itu sangat hancur. Bagaimana tidak, aku harus terus berpura-pura hidup sebagai anak kandung sementara sebagian besar anggota keluarga itu tidak menyukai keberadaanku.

Sampai pada suatu hari yang gerimis di perjalanan pulang sekolah, seseorang yang tidak kukenal mendekat. Tanpa banyak basa-basi dia membuatku pingsan dan terbangun di sebuah rumah yang asing. Saat itu aku sangat ketakutan dan ingin pulang. Namun pria penculik itu tidak peduli. Dia memaksaku, meminta nomor ponsel kedua orang tuaku. Aku tidak memberitahunya karena aku memang tidak pernah tahu. Penculik itu kesal. Dia memaki dan mengancamku dengan kasar. Akan tetapi itu hanya berlaku sebulan. Sepertinya penculik itu mulai peduli padaku. Dia mengajakku bercerita persoalan hidupnya. Aku tersentuh dan membalas kepeduliannya. Sejak itulah aku mulai merasa senang ada orang lain yang jauh lebih peduli ketimbang orang tua angkatku yang penuh kepalsuan.

Pria penculik itu adalah Tuan Adam. Barangkali orang-orang mengira dia sangat jahat kepadaku. Namun sesungguhnya tidak. Sepanjang hidupku dia adalah orang baik yang pernah kukenal. Aku tidak mempermasalahkan caranya mengunciku seharian di dalam rumah, melarangku bertemu orang-orang. Sebab dia tidak pernah melarangku mengerjakan apa pun yang aku suka. Membuatku semakin menyayanginya dan berjanji tidak akan pernah pergi. Bagiku dia adalah pahlawan yang menyelamatkanku dari kejahatan orangtua angkatku.

Oleh sebab itu, kumohon pada kalian semua untuk berhenti bertanya dan menghakimi hal-hal yang tidak kalian tahu. Ketika Tuan Adam memutuskan untuk menyerahkan dirinya ke polisi, itu adalah hal berat yang harus kuhadapi. Aku seperti kehilangan seorang ayah. Sosok yang tidak pernah kumiliki sebelumnya. Aku takut, berpisah dengannya adalah penderitaan yang panjang. Maka kuputuskan dengan sangat sadar, bila aku tak pernah lagi melihat Tuan Adam. Lebih baik semua orang tak perlu melihatku lagi. Selamanya. Tolong sampaikan pada Tuan Adam. Aku mencintainya, seumur hidupku.”

Semua orang tercengang mendengar isi catatan itu. Mereka merinding. Atmosfer ruang siding beralih mendung. Bisik-bisik kebencian surut. Sementara keluarga Samara kehabisan kata-kata. Pria besar yang tadi memukulnya menitikkan air mata di pintu masuk. Pria itu adalah Alex, adik Samara.

Sementara Adam hanya terdiam sambil memegangi dadanya. Mulai merasakan rindu yang dalam kepada gadis yang dia culik 13 tahun yang silam itu.

***

Terinspirasi Sindrom Stockholm dan Sindrom Lima









===========
M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam banyak antologi puisi bersama dan telah tersiar di berbagai media seperti Pikiran Rakyat, Haluan Padang, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, kompas.id, ide.ide.id, bacapetra.co, magrib.id, dll. Sudah menerbitkan novel remaja berjudul Fiasko (2018, AT Press), Kumpulan Puisi Cara Kerja Perasaan (2022, Penerbit Epigraf), dan Kumpulan Cerpen Sebuah Tempat di Tepi Lelap (2022, Hyang Pustaka). Bergabung dengan  komunitas menulis Kelas Puisi Alit (Kepul) dan Genitri, dan COMPETER. Instagram: ruangcerita_mz.billal, dan pembaca di kanal YouTube: Tukang Baca Indonesia

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *