MALAM INI tepat seratus hari Prabu Amangkurat mangkat. Sang putra mahkota Adipati Anom mengambil alih seluruh kedudukan ayahandanya yang ditinggalkan—termasuk pengaruh politiknya. Pekerjaan berat kini di atas pundaknya. Selama berbulan-bulan ia menemani ayahandanya dalam pelarian menuju Batavia untuk meminta bantuan VOC setelah kerajaannya di porak-porandakan Raden Trunojoyo dari Madura.
Atas saran para penasihat yang masih setia padanya, Adipati Anom mengumpulkan semua adipati pantai pesisir di Pendapa Kadipaten Banyumas. Hampir semua adipati dari pesisir utara pantai Jawa hadir, kecuali Adipati Tegal, Tumenggung Martoloyo. Pemimpin Tegal yang terkenal sakti mandraguna itu memilih mengirim orang kepercayaannya, Gendowor, untuk mewakili dirinya menghadiri undangan junjungannya itu.
Ketidakhadiran Tumenggung Martoloyo menjadi buah bibir malam itu. Tanpa tedeng aling-aling, di hadapan para adipati, Pangeran Adipati Anom mengungkapkan keinginannya untuk merebut kembali Mataram dari tangan Raden Trunojoyo. Ia meminta para adipati berkenan untuk membantu perjuangannya merebut kembali haknya sebagai putra pewaris takhta Kerajaan Mataram dari cengkeraman Raden Trunojoyo yang telah memorak-porandakan istananya.
“Ampun, Pangeran. Lalu apa yang Pangeran tunggu, kami bersiap membatu Pangeran merebut kembali Mataram dari para pemberontak dan mengembalikan kejayaan Mataram,” kata Adipati Banyumas dengan bahasa ngapak.
“Pasukan Raden Trunojoyo terlalu kuat. Kita butuh kekuatan yang besar untuk menghancurkannya. Sayangnya aku tidak melihat kekompakan para adipati di pesisir utara Jawa ini,” balas Pangeran Adipati Anom sambil mengepalkan tangannya. “Pantaskah seorang pengurus kuda menggantikan seorang adipati untuk menghadiri pertemuan penting ini?” ujarnya lagi dengan nada tinggi.
Semua diam.
“Gendowor?”
“Hamba, Pangeran.”
“Ke mana Paman Tumenggung Martoloyo, mengapa tidak hadir malan ini?”
Gendowor diam.
“Ampun, Pangeran, jika diizinkan biar aku yang menjawabnya,” potong Tumenggung Martopuro.
“Silakan, Paman.”
“Ketidakhadiran Kakang Tumenggung Martoloyo adalah suatu sikap yang jelas, Pangeran.”
“Sikap apa?”
“Aku sangat memahami wataknya. Ia orang yang teguh dalam memegang pendiriannya. Semua orang tahu, jika Kakang Martoloyo tidak sejalan dengan niat Pangeran Adipati Anom yang hendak meminta bantuan VOC untuk menghancurkan Raden Trunojoyo. Itu sebabnya, Kakang Martoloyo enggan untuk hadir dalam pertemuan malam ini.”
“Apakah dengan memamerkan tindak tanduknya yang kurang ajar kepada seorang pangeran?”
“Ampun, Pangeran,” kata Gendowor, “Tumenggung Martoloyo adalah seorang yang jujur baik dalam tutur maupun tindakan. Jika ia tidak suka atau tidak sependapat, maka ia akan menunjukkan ketidaksukaannya secara terang benderang. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tidak ada puisi dalam politik.”
Pangeran Adipati Anom memegang keningnya. Ia begitu kecewa dengan salah satu adipatinya yang mbalelo terhadap dirinya. Di hadapan para pejabat Mataram harga diri Pangeran Adipati Anom seperti dibanting sekeras-kerasnya. Tetapi ia tidak bisa berbuat banyak, ia membutuhkan dukungan dari penguasa pesisir pulau Jawa untuk merebut kembali singgasananya.
“Aku akan tetap pada pendirianku meminta bantuan dari orang-orang kulit putih. Hanya dengan itu kita akan berhasil menghancurkan pasukan Trunojoyo. Setelah bala tentara VOC datang kita serbu Trunojoyo dan pasukannya dengan atau tanpa Tumenggung Martoloyo,” kata Pangeran Adipati Anom mengeluarkan titah pertamanya sebagai putra mahkota.
“Sendiko, Pangeran…” jawab para adipati berjamaah.
*
Di Pendapa Tegal, Tumenggung Martoloyo sedang duduk termenung. Sejak dari petang ia belum beranjak dari kursi kesayangannya. Keresahan hatinya tampak dari raut wajahnya yang ditekuk.
“Ada apa, Kang Mas?” tanya istrinya setelah duduk di sebelahnya.
Martoloyo hanya menggeleng.
“Sudah puluhan tahun kita menikah, pahit kecutnya penghidupan sudah kita rasakan bersama-sama. Kita tidak hanya menari di taman yang indah, tetapi juga tersesat di belantara hutan, di jalan yang berliku curam dan tajam. Selama itu pula kita tetap bergandengan tangan. Selama itu tidak ada yang Kang Mas tutup-tutupi. Bicaralah biar hati Kang Mas sedikit lega.”
“Aku tidak ingin melibatkanmu dalam perkara ini, Dimas. Ini urusan politik. Setiap pilihan ada risikonya. Ada getahnya. Biarlah aku tanggung seorang diri.”
“Setidaknya dengan bercerita beban yang Kang Mas pikul sedikit menjadi ringan. “
Martoloyo diam.
“Apakah perihal Prabu Amangkurat? Bukankah Kang Mas seharusnya tidak risau setelah Prabu Amangkurat mangkat di Tegalarum.”
“Ya,” balas Tumenggung Martoloyo usai menggenggam jemari istrinya. “Seharusnya aku senang, paling tidak keinginan Prabu Amangkurat meminta bala bantuan ke VOC di Batavia tidak terjadi. Sayangnya itu hanya berumur sebentar. Keinginan Prabu Amangkurat bekerja sama dengan kompeni kembali dilanjutkan oleh Pangeran Adipati Anom.”
“Dan Kang Mas tetap tidak setuju?”
“Baik ayah maupun anak, keduanya sama-sama bersekutu mengkhianati leluhurnya, Sultan Agung. Cita-cita mulia Sultan Agung yang ingin mempersatukan tanah Jawa, justru dikhianati oleh anak cucunya. Aku menyaksikan sendiri betapa kejamnya, brutalnya, mencekiknya para kompeni kepada rakyat. Aku tidak rela rakyat Tegal diperlakukan seperti itu. Aku tidak rela orang-orang VOC menginjakkan kakinya di tanah Tegal. Aku tahu sifat licik para kompeni.”
Ketika keduanya sedang asyik berbincang, tiba-tiba Gendowor datang bersama Pangeran Adipati Anom dan Tumenggung Martopuro. Kedatangan sang putra mahkota mengejutkan Tumenggung Martoloyo beserta istrinya.
“Pangeran,” ujar Tumenggung Martoloyo memberi sembah.
“Aku terima hormatmu. Aku juga percaya ketulusanmu mengabdi pada negara. Sebagaimana aku percaya dengan kesetiaanmu kepada Mataram,” kata Pangeran Adipati Anom.
Tumenggung Martoloyo memejamkan matanya mendengar ucapan junjungannya.
“Gendowor, mengapa kamu tidak memberitahu terlebih dahulu jika Pangeran Adipati Anom akan berkunjung ke pendapa?” tanyanya kepada orang kepercayaannya itu.
“Jangan salahkan Gendowor, sebab aku yang memintanya sendiri.”
Tumenggung Martoloyo diam setelah mempersilakan Pangeran Adipati Anom duduk.
“Kadipaten Tegal makin maju. Pelabuhan Tegal sangat mengagumkan, Paman”
“Terima kasih, Pangeran. Aku berjuang keras untuk menyejahterakan rakyat Tegal.”
“Bagus. Itu tugas pemimpin. Tetapi jangan lupa, seorang adipati adalah tangan kepanjangan rajanya. Ia kaki yang menopang tegaknya kerajaan. Jika tangan dan kakinya buntung, ambruklah kerajaan itu. Dan itu yang terjadi pada Mataram saat ini. Seharusnya Paman tahu tanpa perlu aku kasih tahu apa yang harus dilakukan tanpa menunggu perintah dariku.”
“Nyuwun sewu, Pangeran. Aku telah melakukan kewajiban sebagai seorang adipati kepada junjungannya. Tetapi Prabu Amangkurat enggan mendengar saranku waktu itu.”
“Apa yang kamu inginkan dan apa yang Ayahanda Prabu mau, Paman? Hingga pendapat kalian tidak didengarnya.”
“Ampun, Pangeran… Waktu itu aku meminta izin kepada Prabu Amangkurat untuk menyerang balik Raden Trunojoyo tanpa perlu meminta bala bantuan VOC. Tetapi Prabu Amangkurat menolak keinginanku.”
“Mengapa Paman tidak mau bekerja sama dengan VOC untuk menumpas pemberontakan Raden Trunojoyo yang kini menguasai kota Plered?”
“Selama Tumenggung Martoloyo masih tegak berdiri, Pangeran, kita tidak perlu mengemis di hadapan orang asing yang hanya ingin menguasai tanah kita. Tumenggung Martoloyo sanggup memadamkan api yang dinyalakan Raden Trunojoyo di Mataram!”
Pangeran Adipati Anom bangkit dari tempat duduknya kemudian berujar dengan geram, “Silakan Paman. Jika Paman yakin keris Paman lebih sakti dari senjata Trunojoyo dana bala pasukannya. Buktikan ucapan Paman.”
“Baik, Pangeran.”
“Aku tunggu di Jepara. Aku tunggu kabar baik dari Paman.”
Itulah ucapan terakhir Pangeran Adipati Anom sebelum pergi meninggalkan Pendapa Tegal. Ia beserta pengawalnya kembali melanjutkan perjalanannya untuk menemui petinggi VOC di Batavia tanpa sepengetahuan Tumenggung Martoloyo.
“Apa Kang Mas tidak salah ucap?” Martopuro akhirnya mengajukan tanya setelah dari tadi hanya menjadi pendengar yang penurut.
“Mengapa, Dimas? Tidak ada yang Martoloyo takuti!” balasnya. “Besok pagi kita berangkat ke Mataram.”
“Tanpa persiapan yang matang, Kakang?”
“Sudah aku persiapkan sangat matang. Bahkan ketika Prabu Amangkurat masih hidup.”
“Aku ikuti saja kemauan Kakang sebagai orang yang dituakan di sini.”
“Gendowor, siapkan prajurit Tegal yang tangkas. Besok kita serbu Raden Trunojoyo.”
*
Sudah hampir satu bulan penuh Tumenggung Martoloyo dan adik seperguruannya, Martopuro, dan bala prajuritnya mengepung benteng pertahanan Raden Trunojoyo di kota Plered. Kedua tumenggung yang disegani rakyat Tegal itu bahu membahu menghancurkan pasukan Raden Trunojoyo.
Mayat bergelimpangan di jalan, sungai, hutan, rumah-rumah warga saat perang berkecamuk.
Prajurit dari Tegal yang dikenal pantang menyerah sebelum napasnya habis dan darahnya mengering, mereka akan terus menggempur sampai mendapatkan tujuannya. Suara pekikan, erangan kematian, rintihan, maupun tangisan menggema siang dan malam mengiring jalannya pertempuran yang begitu sengit.
Raden Trunojoyo tidak menyangka pasukan dari Tegal sanggup mengucar-kacirkan pasukannya yang telah menguasai keraton Mataram seutuhnya. Berulang kali pemimpin dari Madura itu membujuk Tumenggung Martoloyo akan bersedia berunding, berulang kali pula Adipati Tegal itu dengan tegas menolaknya. Baginya, menarik diri dari pertempuran sama saja menyerah—kalah.
Kehebatannya di medan pertempuran memang tidak ada yang meragukan Tumenggung Martoloyo. Entah berapa banyak kepala lawannya yang ia pisahkan dari tubuhnya. Bersama pasukannya ia menyerang dari sisi kir benteng pertahanan Raden Trunojoyo. Sedangkan Tumenggung Martopuro mencoba menembus dari sisi kanan benteng musuh.
Dan malam itu kedua tumenggung baru saja kembali ke tenda peristirahatannya untuk menyusun rencana penyerbuan selanjutnya. Darah belum kering dari tangan keduanya saat bertemu di dalam tenda.
“Besok kita gabungkan pasukan untuk menghancurkan benteng terakhir Raden Trunojoyo sekali lagi. Apa pasukanmu sudah siap?” tanya Tumenggung Martoloyo sambil melirik Martopuro yang sedang sibuk dengan kerisnya.
“Ada dua kabar buruk, Kakang,” balas adik seperguruannya itu usai membersihkan kerisnya yang berlumur darah.
“Kabar apa, Dimas?”
Sambil menghela napas Martopuro menjawab, “Bala bantuan dari Madura besok dipastikan akan tiba lebih cepat untuk membantu Raden Trunojoyo.”
“Lalu?”
“Pangeran Adipati Anom mengirim surat untuk Kakang.”
Setelah membaca surat dari Pangeran Adipati Anom betapa terkejutnya Tumenggung Martoloyo. Dalam surat itu dijelaskan jika Pangeran Adipati Anom memerintahkan Tumenggung Martoloyo untuk menghentikan penyerang dan menarik semua bala prajuritnya untuk kembali ke Jepara. Orang nomor satu di Kadipaten Tegal itu marah membaca sepucuk surat dari Pangeran Adipati Anom. Kemarahannya itu pun ia luapkan kepada Martopuro yang menyetujui permintaan Pangeran Adipati Anom.
Kedua tumenggung pilih tanding itu pun pecah kongsi. Perselisihan di antara keduanya membuat suasana menjadi panas. Tegang.
Tumenggung Martoloyo bahkan tidak segan menuduh Martopuro hanya dijadikan keset oleh Pangeran Adipati Anom. Sifat membangkang dan keras kepala Tumenggung Martoloyo pun dibalas oleh Martopuro. Katanya, Tumenggung Martoloyo hanya percaya kepada dirinya sendiri tanpa mau mendengar pendapat dari orang lain. Ia tidak peduli dengan banyaknya korban dari pihak Tegal yang berjatuhan akibat penyerangan siang dan malam. Menurutnya, menarik mundur pasukan adalah keputusan yang tepat.
Ucapan dari Martopuro membuat Tumenggung Martoloyo tertegun. Hatinya tersentuh.
“Ampun, Kakang. Aku hanyalah seorang adik yang mesti menuruti perintah orang yang lebih tua. Tetapi perintah penarikan pasukan ibarat permintaan yang datang dari orang tua kita. Mana yang harus aku turuti, Kakang atau orang tua kita? Kita juga tidak tahu apa yang sebenarnya Pangeran Adipati Anom inginkan. Tetapi surat yang dialamatkan kepada Kakang pasti sangat penting dan mendesak. Kedudukan Kakang Tumenggung Martoloyo sebagai Adipati Tegal sangat diperhitungkan. Suksesi Mataram dimulai dari Tegal yang letaknya strategis sebagai wilayah penghubung. Jarak Batavia dan Mataram sama jauhnya dan sama dekatnya dari Tegal. “
Saran dari Martopuro akhirnya diterima Tumenggung Martoloyo meski dengan perasaan jengkel. Keduanya menarik mundur pasukannya dan segera bergegas menuju Jepara.
Mundurnya pasukan Tegal disambut gembira Raden Trunojoyo dan bala tentaranya. Mereka kembali menginjakkan kedua kakinya di tanah Mataram setelah hampir terjungkal dari serangan Tumenggung Martoloyo dan pasukannya.
Di Pendapa Jepara Pangeran Adipati Anom beserta para tumenggung sudah berhari-berhari menunggu kedatangan tamu undangannya. Kedatangan Tumenggung Martoloyo ke Jepara tidak disambut dengan semestinya, padahal ia dan pasukannya hampir mengalahkan Raden Trunojoyo.
“Apa yang sebenarnya Pangeran Adipati Anom inginkan?” tanya Tumenggung Martoloyo kepada Gendowor yang setia menemaninya.
“Entah, Tumenggung. Aku juga tidak tahu apa yang sedang direncanakannya.”
Hari sudah bernama sore saat Pangeran Adipati Anom mengumpulkan para adipati, senapati, dan kesatrianya berkumpul di ruangan Pendapa. Dan tamu agung yang sudah ditunggu berhari-hari akhirnya tiba: Cornelis Janzoon Speelman.
Kedatangan petinggi VOC itu disambut meriah dengan tarian dan nyanyian. Penari sinden lenggak-lenggok menari menyambutnya dengan senyum ramah tamah. Musik gamelan melengkapi kemeriahan penyambutan petinggi VOC sore itu.
Melihat semua itu, Tumenggung Martoloyo geram. Kemarahannya tak dapat ia sembunyikan saat mengetahui Pangeran Adipati Anom menyepakati perjanjian dengan VOC. Tumenggung Martoloyo berdiri menentang perjanjian yang isinya menyerahkan daerah di pantai utara Jawa ke VOC jika pemberontakan Raden Trunojoyo berhasil dipadamkan.
“Padahal, Tumenggung Martoloyo masih berdiri tegak berdiri bagai karang yang menjulang. Aku tidak bisa menerima orang-orang VOC mengambil tanah kami,” ujarnya yang membuat suasana pertemuan menjadi panas.
“Jadi Paman menentang keputusanku sebagai seorang putra mahkota?”
“Ampun, Pangeran. Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada hidup menjadi babu yang diinjak-injak.”
“Apa Paman tahu hukuman bagi pembangkang?”
“Aku siap menanggung hukumannya, Pangeran.”
“Aku berikan kesempatan sekali lagi padamu, Paman.”
“Akan aku pegang teguh pendirianku meski harus tumbang. Kebencianku kepada VOC yang telah membuat rakyat Jawa menderita telah mendarah daging. Menyerap masuk ke dalam kulit dan darahku, bahkan sampai ke tulang-tulangku.”
“Paman!” bentak Pangeran Adipati Anom.
“Lebih baik aku mundur daripada menjadi saksi perjanjian yang akan diingat oleh anak cucu sebagai pengkhianatan.”
“Pergilah, Paman. Aku tidak lagi sudi melihatmu di sini…”
Tumenggung Martoloyo pun bergegas pergi tanpa meninggalkan salam penghormatan kepada Pangeran Adipati Anom sebagai sikap ketidaksetujuannya bekerja sama dengan VOC.
Adipati Tegal itu lantas memerintahkan Gendowor untuk menarik semua prajurit Tegal dari Jepara dan memerintahkannya kembali ke Kadipaten Tegal.
Kepulangan Tumenggung Martoloyo dan pasukannya disambut meriah warga Tegal. Haru isak tangis warga pecah saat tidak menjumpai orang tercintanya. Di atas kudanya Tumenggung Martoloyo berkaca-kaca melihat pemandangan yang membuat hatinya pilu itu.
“Kematian anak-anak kalian, suami-suami kalian, kerabat-kerabat kalian bukanlah kematian yang sia-sia. Mereka mati dengan terhormat demi membela tanah tumpah darahnya. Membela negerinya. Mereka mati dengan meninggalkan satu kebanggaan yang kelak akan dikenang oleh anak cucunya sebagai pahlawan sejati,” kata Tumenggung Martoloyo di atas kudanya kemudian memerintahkan Gendowor untuk memberikan santunan kepada perempuan-perempuan yang menjadi janda, anak-anak yang menjadi yatim, para orang tua yang kehilangan putranya, dan gadis-gadis yang kehilangan kekasihnya. Pujaan hatinya.
*
Semenjak meninggalkan Jepara hati Tumenggung Martoloyo tidak tenang. Ia gerah seperti dipayungi awan mendung. Belum genap seminggu ia tinggal di pendapanya saat Martopuro dan pasukan dari VOC datang menemuinya.
Kedatangan Martopuro dan pasukan VOC tertahan di alun-alun. Gendowor memimpin pasukannya mencegat kedatangan Martopuro.
“Apa yang kamu lakukan Gendowor. Minggir! Jangan halangi jalanku.”
“Ampun, Tumenggung Martopuro, aku mencium gelagat Tumenggung yang lain dari biasanya, terlebih pasukan asing yang Tumenggung bawa.”
Kedatangan Martopuro bersama prajurit VOC akhirnya terdengar ke telinga Tumenggung Martoloyo. Meski dicegah oleh istrinya, ia tetap bersikukuh untuk menemui adik seperguruannya itu.
“Ada apa, Dimas, dan apa yang kau bawa itu?” Tumenggung Martoloyo sudah tiba lengkap dengan baju perangnya.
“Ampun beribu ampun, Kakang,” balas Martopuro.
“Katakan ada perlu apa?”
“Aku diminta Pangeran Adipati Anom untuk membawa kembali Kakang Martoloyo ke Jepara.”
“Untuk apalagi? Keputusanku sudah bulat melekat di dadaku. Tidak sudi aku bekerja sama dengan orang yang akan menjarah sumber bumi kita.”
“Aku hanya menjalankan tugas Kakang.”
“Kalau begitu kembalilah.”
“Aku tidak bisa kembali tanpa Kakang.”
“Kau berani memaksaku Dimas?”
Hening.
“Sekali lagi aku perintahkan pergi kau dari hadapanku!”
“Jangan paksa aku untuk melawanmu, Kakang. Aku tidak bisa pergi tanpa membawa Kakang Martoloyo ke hadapan Pangeran Adipati Anom.”
“Jika kau sanggup menggeser gunung Slamet aku akan menuruti kemauanmu.”
“Kalau Kakang tetap menolak, maka dengan sangat terpaksa aku harus mencabut kerisku.”
“Aku juga mempunyai keris. Sudah lama kita tidak beradu keris semenjak guru kita mangkat dengan tenang. Mari kita jajal keris siapa yang lebih sakti di antara kita.”
Pertarungan Tumenggung Martoloyo dengan Martopuro tidak terhindarkan. Kedua pendekar satu guru satu ilmu itu bertarung sama kuatnya. Percikan api yang keluar dari gesekan keris Tumenggung Martoloyo dan Martopuro bagai kelap-kelip bintang di langit malam. Begitu dahsyatnya pertarungan keduanya sampai tidak terlihat oleh mata telanjang.
Gendowor tidak menyia-nyiakan kesempatan saat melihat prajurit VOC yang lengah karena kelelahan. Gendowor bersama pasukannya berhasil memukul mundur bala prajurit VOC. Alun-alun Tegal siang itu dipenuhi mayat bergelimpangan.
Sedangkan Tumenggung Martoloyo masih bertarung sama kuatnya dengan Martopuro hingga malam menjelang. Dan barulah saat fajar menyingsing dari Timur langit Tegal, keris Tumenggung Martoloyo tergeletak tidak jauh dari keris Martopuro. Kedua keris sakti itu dipenuhi darah yang sudah mengering saat ditemukan oleh Gendowor.
Dipeluk keris junjungannya yang berlumur darah. Seketika itu juga Gendowor berteriak sekeras-kerasnya, “Tumenggung Martoloyo…!”
=========
Ade Mulyono, lahir di Tegal. Tulisannya dimuat di sejumlah media. Novelnya “Jingga” dan “Namaku Bunga” akan terbit tahun 2022.