SAYUP-SAYUP terdengar tangisan tamu yang bermalam di rumahku. Hanya sekadar menceritakan sebuah kisah yang membuatku sanggup merelakan hampir seluruh kebahagiaanku. Kisah perempuan bernama Amira yang sepatutnya tak pernah kukenal, apalagi tahu sampai ke akar-akarnya. Gadis rumahan yang terkenal akan tutur lembut lisannya, cerdas pikirannya, lembut hati dan wajahnya, juga berpegang teguh pada pendiriannya.
Amira tidak menjadi satu-satunya siswa yang pintar saat sekolah. Selalu ada dua atau tiga orang di atasnya. Dia menjadi bagian organisasi rohani islam. Bukan OSIS yang bisa membangkitkan citranya sebagai perempuan cantik dan rupawan. Tidak sedikit teman prianya yang mencuri pandang di sekolah. Pula tak sedikit yang berhasil mengutarakan cintanya pada Amira agar menjadi kekasih sekolahnya. Tetapi Amira menolak mereka mentah-mentah dengan susunan kata yang sama sekali tak melukai hati para lelaki. Meski sebuah penolakan memang selalu menyakitkan bagaimana pun caranya.
Setelah lulus SMA, Amira melanjutkan ke sebuah Universitas di Bandung –kota kelahirannya. Tak peduli dengan beberapa temannya yang merantau ke Jakarta. Orangtuanya pernah menyuruhnya untuk tinggal di Jakarta. Ada kerabat yang tinggal di sana, yang menginginkan Amira untuk berpindah kota. Namun Amira menolak, dengan alasan Bandung masih nyaman untuk ditinggali. Orangtuanya tak pernah memaksa kehendak sang putri satu-satunya. Sebab keputusan yang Amira buat tidak pernah salah. Mereka tidak ingin menuntut ini dan itu padanya.
Semester demi semester berlalu. Imron –kakak lelaki Amira– menikah lebih dulu saat sidang tesisnya dinyatakan lulus. Saat itu Amira menginjak semester empat. Mereka hanya berjarak lima tahun. Dengan sederhana, pernikahan pun berlangsung. Sumringah di bibir kedua orangtua Amira tampak jelas. Pernikahan itu akan menjadi yang pertama di keluarga mereka. Dan akan menjadi pernikahan yang terakhir oleh Amira nantinya.
“Lihat kakakmu, Nak! Senyumnya bahagia sekali,” kata ibunya saat berdiri di sisi Amira.
“Bapak harap kamu juga akan segera merasakan kebahagiaan seperti kakakmu, Mira.” Sambung bapak sambil menyentuh bahu Amira.
Saat itu tak ada senyuman yang bersemayam di wajah Amira. Bukannya ia tak senang kakak lelakinya menikah dan meninggalkannya di rumah, tentu ia senang. Tapi sesuatu yang mencekik dadanya kembali terasa. Ia tak pernah menceritakan kondisi hatinya pada siapa pun. Sebab tak ada yang pernah menanyainya soal itu. Amira merasa hanya dirinya yang bertanggungjawab atas hatinya.
Dua tahun berlalu, hingga hari kelulusan sarjana Amira pun tiba. Seorang lelaki dari kerabat ibunya datang berbondong-bondong membawa keluarganya. Tentu sang bapak senang bukan kepalang. Waktu Imron lulus S2, dia langsung menikah. Sekarang giliran anak keduanya, yang juga dilamar tepat kelulusan S1-nya. Sebagai keluarga yang terdidik dengan nuansa islami, orangtua Amira melarang anak-anak mereka untuk berpacaran. Sebab satu-satunya cara cinta bekerja adalah sebuah pernikahan yang sebelumnya dilalui ta’aruf*. Amira tahu betul soal itu. Dia menaati perintah orangtuanya yang juga menjadi perintah Tuhannya. Maka itu, Amira duduk tenang di hadapan keluarga sang lelaki.
“Maaf, tetapi saya memiliki persyaratan sebelum kamu melamar saya. Jika kamu berhasil menunaikan syarat ini, maka otomatis saya terima lamaranmu.” Amira berkata selembut mungkin. Membuat para hadirin yang ada di rumahnya terkesan dengan tutur bicaranya.
“Katakan, apa itu, Amira?” Lelaki itu bertanya.
Seminggu setelah kedatangan rombongan lelaki itu, mereka tak lagi datang ke rumah Amira. Semuanya tahu betul bahwa syarat yang diajukan Amira tak masuk akal. Rendra adalah seorang TNI yang sudah memiliki persiapan pernikahan dari segala aspek. Mulai dari finansial hingga mental. Tetapi syarat bisa menghafal seluruh ayat di dalam Al-Qur’an terlalu berat baginya. Maka itu, melalui orangtua Rendra, menghubungi bapak Amira untuk membatalkan lamaran dengan alasan tidak sanggup memenuhi persyaratan Amira.
Kesedihan bertahan dua minggu di rumah Amira. Tidak ingin berlarut-larut, sang Bapak akhirnya bertanya pada Amira, “Apakah kamu memiliki lelaki lain yang kamu sukai?”
Terkejut karena ini adalah pertama kalinya bapaknya menanyakan hal itu, Amira pun menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Amira belum menemukan lelaki yang Amira suka.” Jawabannya selalu sama hingga dua sampai tiga tahun berlalu.
Sekarang Amira sudah bekerja menjadi pengajar di sebuah Sekolah Islam di Bandung. Dia tidak melanjutkan pendidikannya. Kesehariannya juga semakin terlihat tak memiliki tujuan. Orangtuanya memperhatikan tingkah laku putrinya yang hampir menginjak usia kepala tiga. Mereka kebingungan, setiap lelaki yang datang melamar Amira, selalu diberi persyaratan yang sama. Sehingga mereka tidak mampu dan memilih mundur. Karena sudah tak tahan lagi melihat kondisi putrinya yang hanya mementingkan pekerjaannya sebagai pengajar, sang bapak akhirnya melangsungkan obrolan penting pada Amira.
“Bapak tahu, kamu memberi syarat sulit itu karena kamu tidak menyukai mereka, bukan?”
Seperti anak panah yang tepat sasaran pada titik merah lingkaran. Amira tahu orangtuanya bisa merasakan apa yang ia rasakan. Dengan malu, dia menjatuhkan pandangannya dan tak menjawab apapun.
“Pernikahan itu memang sunah Rasul. Pernikahan juga menjadi ibadah yang paling berat dan terlama di dunia. Selain kami sebagai orangtuamu senang merasakan anaknya menikah, kamu juga dapat pahala yang besar dari Allah.”
“Coba katakan, apa yang sebenarnya kamu alami? Kenapa kamu menolak para lelaki itu?”
“Amira tidak tahu, Pak.”
“Kamu … menyukai lelaki lain?”
Pertanyaan Bapak menggantung cukup lama. Sebelum akhirnya Amira menggeleng untuk kesekian kalinya. Orangtua Amira menyerah. Mereka tidak tahu kondisi apa yang tengah dilalui putrinya itu sehingga selalu menolak tiap lamaran yang datang.
Malam berikutnya, Amira jatuh sakit. Awalnya orangtuanya mengira karena Amira terlalu memikirkan obrolan dengan bapaknya kemarin. Ibu mendatanginya ke kamar dan melihat kondisi Amira yang semakin parah. Dibawalah Amira ke Rumah Sakit, dan dari sana Dokter menjelaskan jika jantung Amira bermasalah. Malam itu, cahaya bulan tak terlihat. Bintang pun malu untuk keluar. Hanya ada suara gemuruh yang menggema di malam hari. Imron datang bersama istri dan anaknya. Menjenguk Amira yang kondisinya sudah tak sadarkan diri. Tak terhitung seberapa banyak selang yang terhubung pada tubuh Amira.
“Mungkinkah ini alasan Amira tak kunjung menikah? Ternyata dia memiliki penyakit di dalam dirinya?” tanya Bapak yang duduk di bangku panjang bersama istrinya.
“Entahlah, Ibu juga tidak tahu, Pak.”
Dua hari setelahnya, kondisi Amira sedikit membaik. Berkat perawatan Dokter dan mustajab doa keluarganya, akhirnya Amira kembali sadar. Dikelilingilah Amira oleh orangtuanya dan juga Imron, yang saat itu tak membawa keluarga kecilnya.
“Bagaimana kondisimu? Sudah merasa lebih baik?” tanya Ibu.
Amira hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. “Maafin Amira karena telah membuat Ayah, Ibu, juga Bang Imron, cemas.”
“Tidak, jangan minta maaf, Amira. Kami yang tidak terlalu baik untuk tahu kondisi kesehatanmu. Jadi, inilah sebab kenapa kamu tidak mau menerima lamaran? Jika iya, Bapak tidak akan memaksamu untuk menikah.”
Amira menggeleng cepat. “Bukan itu, Pak. Sebenarnya … ada lelaki lain yang sudah mengambil hati Amira.”
Ketiganya tercengang mendengar pernyataan Amira. Selama ini Amira tak pernah memberitahu jika ia benar-benar menyukai pria lain. Semalaman panjang itu, akhirnya dia bercerita sejujur-jujurnya dan sedetail-detailnya.
Seorang pria bernama Alfath telah berhasil menarik perhatiannya sejak duduk di bangku kelas sepuluh. Bukan karena tampang rupawannya Amira menyukainya, sikap dan kelembutan tutur kata Alfath yang berhasil membuat jantung Amira lemah dibuatnya. Tetapi dia ingat pesan orangtuanya untuk tidak menatap teman prianya lebih dari tiga detik.
Tahun-tahun sekolahnya berlalu hingga akhirnya ia menginjak kelas dua belas. Alfath adalah salah satu dari beberapa teman pria yang mengutarakan cintanya pada Amira. Saat hatinya bergejolak, tetapi bibirnya mengatakan sebaliknya. Amira menolak Alfath dengan alasan yang tidak jelas. Begitulah awal perpisahan mereka hingga tahun-tahun berikutnya.
Amira menunggu Alfath untuk datang ke rumahnya, menanyakan kembali tentang perasaan yang pernah ia utarakan sewaktu sekolah. Namun sayangnya itu tak pernah terjadi. Sampai sebuah undangan pernikahan Alfath datang ke rumah Amira saat kuliahnya di semester enam.
Lelaki itulah yang kini menjadi suamiku. Alfath Yusuf.
Orangtua Amira datang ke rumahku di malam yang sudah hampir larut. Meminta tolong untuk menikahkan putrinya dengan suamiku yang sedang dinas keluar kota Bandung. Sebagai perempuan yang tengah merasakan kehidupan pernikahan di tahun kedelapan, bukanlah hal yang mudah untuk mengatakan setuju. Rumah tangga kami masih utuh meski beberapa cobaan datang bergiliran. Kami masih bertahan dan terus akan bertahan hingga maut memisahkan.
“Dokter memberitahu kami, jika umur Amira tidak lama lagi. Tolong berikan Amira kesempatan untuk merasakan kebahagiaan sepertimu,” kata Ibunya sambil menangis.
Setelah bertempur cukup lama di dalam pikiran, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar sebentar. Menghubungi suamiku yang mungkin sudah terlelap tidur. Kuceritakan semua sesuai apa yang kudengar. Lagi-lagi, Alfath membalikkan semua keputusannya kepadaku. Entah kenapa suaranya terdengar jika dia masih memiliki rasa pada Amira.
Kembalinya aku ke ruang tamu, kudapati orangtua Amira yang masih bertekuk lutut di karpet yang kugelar. Meski terdapat sofa-sofa panjang yang seharusnya mereka duduki, tapi mereka memohon dengan linangan air mata padaku, agar merelakan suamiku menikahi putrinya.
Setetes, dua tetes air mata akhirnya turun. “Baiklah, aku akan izinkan suamiku untuk menikah lagi. Menikahi Amira.”
Sejak saat itu, senyumku tak pernah lagi setulus biasanya pada Alfath. Dia paham dan merasakan betul perubahan yang terjadi padaku.
Pernikahan dilangsungkan di Rumah Sakit setelah kepulangan dinas Alfath. Dengan kondisi Amira yang terbaring. Dia menggenggam tanganku saat suamiku mengucapkan ijab qabul. Setelah itu, Amira sah menjadi istri kedua suamiku. Ciuman Alfath di kening Amira begitu menyayat hati. Bagai pisau yang membelah-belah dadaku. Pandangan Amira berlari ke arahku. Aku mendekatinya dan menyalaminya atas pernikahannya bersama Alfath.
“Terima kasih,” tutur Amira saat menggenggam tanganku, dan sebelum akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya. Rasa sakit yang kualami mungkin hanya sebentar, tapi Alfath akan menderita sepanjang pernikahan kami karena telah kehilangan cinta pertamanya.
==========
Putri Oktaviani, kelahiran tahun 2000 dan bermukim di Tangsel. Novel-novelnya terbit ekslusif di platform digital; terbaru berjudul Five Eternal Rings (Fizzo, 2022). Cerpennya dimuat di media online; terbaru berjudul Lelaki Berpayung Putih (Takanta, 2023). Peminat bacaan fiksi genre thriller & misteri. Selain literasi, ia juga berkiprah di bidang akuntansi.