HAMPIR empat tahun lalu, pidato Greta Thunberg yang berapi-api tentang kerusakan alam menggema di forum PBB. Remaja asal Swedia tersebut mengajukan kritik terhadap para pemimpin dunia terkait persoalan kerusakan alam. Sebuah fakta menyentuh tatkala seorang remaja peka akan kelestarian alam. Berkaca pada Greta Thunberg, bagaimana dunia sastra modern menyikapi isu kerusakan alam? Bila kita kerucutkan lagi, bagaimana tingkat kepedulian para sastrawan Tanah Air terhadap isu kerusakan alam?
Sebelum membahas dua topik utama tersebut, alangkah baiknya kita melacak keterkaitan lingkungan alam dan dunia sastra. Sebuah kajian yang menghubungkan antara lingkungan alam dengan dunia sastra sering disebut ekologi sastra. Kuswadi (2019) menyatakan, “Kajian ekologi terhadap karya sastra mempertemukan ekologi dengan karya sastra. Paradigma ekologi terhadap kajian sastra berarti menerapkan pendekatan ekologi untuk mendekati karya sastra”. Definisi ini memberikan pemahaman bahwa paradigma pendekatan lingkungan dapat diterapkan dalam dunia sastra. Artinya, sudut pandang ekologi dapat digunakan para pelaku dunia sastra.
Sebutan lain yang mentautkan antara lingkungan dan dunia sastra yaitu ekokritik. Love (dalam Sulthoni, 2019) menyatakan “ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi”. Konsep ini selaras dengan pandangan ekologi sastra. Bahkan, menempatkan karya sastra sebagai alat untuk memotret kondisi lingkungan alam di sekitar kita. Lebih-lebih, memotret persoalan yang berkaitan dengan keseimbangan lingkungan alam.
Keterkaitan antara lingkungan alam dan dunia sastra (khususnya sastra kontemporer) merupakan sebuah paradigma menarik untuk dikembangkan terus menerus dalam dunia sastra modern. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan alam yang terancam kelestariannya. Melansir World Economic Forum (WEF), dunia tengah dalam acaman pemanasan global dan gangguan ekologis dalam sepuluh tahun ke depan. Pernyataan WEF ini menjadi sinyal perlu adanya perhatian serius terhadap keseimbangan alam semesta termasuk dunia sastra modern. Perhatian terhadap kelestarian semesta patut digaungkan lewat karya sastra, kritik sastra, dan dikampanyekan oleh organisasi kelembagaan sastra.
Bila kita menengok dunia sastra modern secara global, sudah banyak para seniman dan sastrawan internasional menyerukan kelestarian alam semesta lewat beragam karya sastra. Misalnya, film-film yang berisi refleksi tentang bencana alam dan kehancuran bumi seperti 2012 (2009), The Day After Tommorow (2014), The Wave (2015) semuanya menceritakan tentang bencana alam dan kehancuran dunia. Beberapa novel seperti Uninhabitable (2019) yang mengisahkan kekosongan bumi dan mengupas hancurnya lingkungan juga mendapatkan banyak apresiasi. Bahkan, novel klasik Silent Spring (1962) sudah menceritakan kerusakan lingkungan akibat pestisida. Upaya semacam ini sangat positif membangun kesadaran akan kelestarian lingkungan alam. Namun, upaya ini perlu dilakukan terus menerus.
Dunia sastra global telah menyuarakan keprihatinan mengenai isu lingkungan alam. Bagaimana dengan sastra Tanah Air? Sudahkah menempatkan isu lingkungan sebagai hal yang digaungkan konsisten? Menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat sejarah sastra Indonesia dan mengulik tema-tema pembicaraan yang muncul. Erawati dan Bahtiar (2011:15) menyatakan bahwa problem dalam periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut:
1850—1933: degresi dan kawin paksa
1933—1942: kehidupan kota, emansipasi, idealisme, cita-cita kebangsaan
1942—1945: propaganda politik
1945—1961: masalah kemanusiaan, humanisme
1961—1971: masalah kemasyarakatan, budaya Indonesia
1971—1998: sosial, kemiskinan, pengangguran
1998—sekarang: masalah sosial, politik, reformasi
Bila kita cermati pada tiap periode sastra beserta persoalannya, tema lingkungan alam belum seutuhnya dijamah. Meski demikian, bukan berarti tidak ada sastrawan yang meperbincangkan masalah lingkungan. Banyak sastrawan Tanah Air yang menyuarakan lingkungan alam entah dalam konteks mengangkat keindahan alam Indonesia entah dalam konteks kritik terhadap kehancuran lingkungan alam. Misalnya, Andrea Hirata yang banyak mengangkat keindahan dan kondisi alam Belitung. Ada juga penyair seperti Eka Budianta yang dalam puisinya mengangkat kritik kerusakan lingkungan dalam puisi berjudul Pohon-Pohonku Jangan Menangis dan masih banyak lagi. Hanya saja, isu kelestarian alam perlu ditempatkan secara lebih serius khususnya dalam konteks periode sastra kontemporer.
Alam Indonesia merupakan sebuah hal yang amat kaya. Tercatat, luas hutan Indonesia menyentuh 99.659.996 Ha, potensi kekayaan laut mencapai hampir 20.000 ribu triliun. Belum lagi, potensi-potensi tambang dan pariwisata yang melimpah ruah. Akan tetapi, banyak catatan minor yang mengancam kelestarian lingkungan alam Tanah Air. Kerusakan hutan yang masih marak terjadi, pencemaran laut dan belum tumbuhnya kesadaran utuh merawat lingkungan masih perlu disuarakan. Sastra mempunyai peranan sebagai katarsis. Para pelaku sastra Indonesia perlu ambil bagian dalam pembaharuan kesadaran akan lingkungan alam. Mari kita tempatkan kelestarian lingkungan alam sebagai kesadaran bersastra, baik dalam sajak, prosa, maupun beragam karya lainnya.
Daftar Referensi:
Erawati , R., & Bahtiar, A. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: LP UIN Syarif Hidayatullah.
Erawati, R., & Bahtiar, A. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Kuswadi. (2019). PARADIGMA EKOLOGI DALAM KAJIAN SASTRA. Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma.
Sulthoni, A. (2020). Kritik Ekologis dalam Buku Puisi Air Mata Manggar Karya Arif Hidayat. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia , 6-10.